Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak No. 1 Bukan No. 2

28 Juli 2011   23:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:17 1699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1311898293729747192

[caption id="attachment_121795" align="aligncenter" width="396" caption="Anak adalah Milik Pusaka. (Ill. Google)"][/caption]

by. Julianto Simanjuntak ***

"Anakku itu .....kekayaan bagiku

Meski aku tidak punya penghasilan besar

aku senang anakku tidak kekurangan dan bisa sekolah 'setinggi-tingginya'.

Sbab bagiku anak lebih berharga dari apapun..."

Itulah sekeping lagu (terjemahan bebas) dari lagu "Anak adalah kekayaan bagiku" (Anakhonki do hamoraon di au). Lebih  kurang syairnya mengungkapkan isi hati orangtua akan anaknya. Lagu itu menekankan, anak adalah kekayaan,   kemuliaan dan kebanggaan ortu.

Demi Anak

Dari untaian syair lagu di atas diungkapkan bahwa salah satu wujud kebanggaan orantua adalah menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Ya, 'setinggi' yang bisa dilakukan orangtua. Mereka bekerja keras dari pagi hingga malam. Rela tidak pake perhiasan, dlsb. Prinsipnya rela berhemat,  menyangkal diri dari semua kesenangan, Semua demi anak.

Mengapa mengutamakan (pendidikan) anak, sebab sekolah dianggap sebagai investasi  terbaik bagi masa depan anak. Diyakini menjadi pintu masa depan, dan  menjadi berkat bagi masyarakat.

Filsafat lagu ini  membantu  etos kerja. Kita didorong bekerja dengan  rajin, bersemangat, dan punya tujuan jelas.  Kita  bekerja demi menyiapkan anak anak menyekolahkan mereka semaksimal yang bisa kita usahakan.

Berhutang Pada Anak

Bekerja demi anak dan  demi "anak dari anak-anak"  ( cucu) kita.  Etos hidup yang bercirikan kerja keras,  berkorban dan penuh dedikasi. Bekerja dan mengasuh anak bukan untuk diri kita semata. Bukan  supaya  anak-anak nantinya membalas (jasa) kepada kita. Tidak!  Tapi supaya  anak kita kelak membalas "jasa" kita itu  kepada anak-anaknya, yakni cucu-cucu kita.

Dengan kata lain seperti yang ditegaskan mertua saya Prof. Taliziduhu Ndraha, " Tidak ada anak yg berhutang pada ortu, tapi ortu-lah yang berhutang pada anak". Membalas ke bawah, bukan ke atas.

Mengasuh dan mendidik anak, sekali lagi, bukan demi nama baik kita, bukan sekedar mengumpulkan harta.  Juga  bukan untuk menunjukkan  bahwa kita hebat dan  dihargai banyak orang. Bukan  demi popularitas atau apapun juga.  Tetapi semata demi anak dan keturunan kita *)

Pohon Keluarga

Beberapa survei mengungkapkan  beberapa kita yang dibesarkan tanpa kasih sayang punya masalah saat mengasuh anak kita sendiri. Jika kita miskin hubungan batin dengan ortu, apalagi ada trauma buruk dengan ortu maka itu menjadi memori yang mengganggu (kecuali ada pemulihan). Kita cenderung kurang bergairah mengurus anak.

Jika kita belum bisa mengutamakan anak, dibanding lainnya, maka ada kemungkinan kita punya masalah dengan "pohon keluarga"  kita. Kita sulit mengutamakan (memprioritaskan) mereka. Yang lebih tragis, ada kasus ortu menganiaya anak dan istrinya sendiri (KDRT)

Namun, apapun pengalaman buruk masa lalu (dengan ortu)   jangan  lagi  lihat ke belakang. Kita tidak perlu menyesalkannya. Kita bisa "belajar ulang" (reparenting) menjadi ayah terbaik bagi anak-anak. Ingat,   Kita tidak bisa memperbaiki ke atas (ortu), tapi kita bisa mempengaruhi keturunan kita  (anak)

Anak No. 1

Anak adalah nomor 1. Bukan no. 2, apalagi no 3 dst.  Artinya anak harus mendapatkan prioritas utama (penting) setiap kita. Anak punya tempat istimewa dibandingkan dengan kerja (karir), sahabat, hobby, nama baik, popularitas, jabatan, pangkat dlsb.

Semua hal ini (karir dll)  bisa kita perjuangkan selama itu membangun anak-anak. Jika ternyata pilihan karir merusak anak dan rumah tangga kita, sebaiknya kita pertimbangkan ulang. Intinya anak dan keluarga menjadi poros aktifitas hidup kita. Namun bagaimana hidup dan prioritas menjadi seimbang, setiap kita butuh seni, skil dan juga hikmat dari Atas.

Jangan lupa,  agar  anak berhasil uang bukanlah segalanya. Anak  membutuhkan kasih sayang,   teladan dan kehadiran orangtua. Anak tidak saja butuh waktu yang berkualitas tapi juga kuantias  waktu  yang cukup.

Kalau boleh dibilang, waktu terbaik kita dengan anak hanyalah 17 tahun. Setelah itu anak kebanyakan kuliah, merantau dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman dan kuliahnya. Karena itu mari kita investasikan 17 tahun ini sebaik-baiknya bersama mereka. Menyiapkan mereka menjadi anak panah yang siap diluncurkan dan berguna bagi masyarakat.

Penutup

Tuhan sudah menitipkan warisanNya. Anak adalah milik pusaka. Ya Anak adalah milik pusaka alias  "harta" abadi.  Mari mengasihi mereka, dan merawat mereka dengan rasa tanggung jawab besar kepada Sang Pemberi. Kiranya anak dan keturunan kita ada dalam naungan dan berkahNya.

Semoga opini (sharing) ini bermanfaat, dan terima kasih buat komen dan vote dari teman-teman.

Julianto Simanjuntak

*) Saya mohon maaf  jika ternyata ada pembaca yang belum dikaruniai anak. Hidup tetap bisa berguna dengan membagikan hidup kepada orang lain dengan cara anda masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun