Ketiga, saat si bungsu lahir konflik kami berbeda. Saya lebih kasar dengan yang si bungsu. Istri saya lebih lembut. Saya tidak setuju, saya merasa mendidik anak bungsu kami harus keras. Istri saya justru memilih sikap berbeda dengan saya.
Karena perasaan gagal mengasuh anak pertama, saya sempat keluar dari pekerjaan pada tahun 96. Saya memutuskan kuliah di bidang konseling. Saya juga menjumpai dua konselor saya secara rutin selama satu tahun untuk membenahi diri saya. Belajar khususnya konseling keluarga ini ternyata sangat membantu meski prosesnyab panjang.
Belajar Ulang Jadi Ayah
Pohon keluarga saya dan istri berbeda. Pola asuh Ayah mertua saya memang lembut, ramah dan demokratis. Saya dibesarkan ayah seorang polisi yang suka minum alkohol. Cenderung keras, kasar dan otoriter. Ternyata emosi saya sebagai Ayah tanpa sadar telah “terkontaminasi” emosi ayah saya. Bawaan saya juga keras dan cenderung kasar dengan si bungsu. Lewat kuliah saya sadar bahwa saya miskin teladan keayahan dari Ayah kandung.
Kegagalan saya sebagai ayah di tahun awal usia anak kami, saya memilih belajar ulang bagaimana menjadi seorang Ayah. Selain membaca dan ikut kuliah konseling berbasis keluarga, saya mencari teladan dari seorang Ayah. Ada tiga figur ayah menjadi teladan bagi saya:
Pertama, Tanpa bermaksud membesarkan Ayah mertua, saya memang mendapat teladan yang baik dari Ayah mertua saya. Dia adalah figur ayah yang lembut, tidak banyak bicara tapi sangat demokratis dengan anak-anak. Rela berkorban bagi ketujuh anaknya, dan sebagainya.
Kedua, Saya juga belajar dari seorang sahabat saya, seorang insinyur ahli gempa. Super sibuk, pandai dan kaya. Namun dia sangat pedulubdengan anak-anak, perangainya menampakkan seorang Ayah yang bertanggungjawab pada keluarga. Sikapnya kepada istri juga mempengaruhi saya, dia suami teladan.
Ketiga, saya terinspirasi sikap salah satu dosen saya seorang Guru Besar di bidang pendidikan. Meski seorang profesor terkenal, dia dosen yang terkenal ramah dan kebapakan. Dia sangat peduli dengan mahasiswa. Berusaha menyapa kami dengan penuh perhatian, dan tak jarang mengundang kami makan malam bersama di rumahnya. Kesempatan bercakap-cakap, menanyakan kondisi kami sesungguhnya. Jika mahasiswa benar benar butuh bantuan uang, tak segan dia membayarkan uang kuliah, dsb.
Semua proses belajar kepada seorang ayah di atas kami sebut dengan reparenting.
Penutup
Menjadi Ayah sungguh istimewa, tapi tak mudah. Tidak ada sekolah khusus menjadi Ayah. Sesungguhnya sekolah Ayah itu di rumah. Gunakanlah kesempatan ini melatih anak-anak dengan memberi teladan atau figur Ayah yang baik. Sebab mereka akan tiru dan teruskan pada cucu-cucu kita.
Jika dulu kita tidak mendapatkan teladan baik dari ayah kandung kita, berusahalah belajar ulang. Selain dengan membaca dan hadir di seminar, berusahalan bergaul dengan beberapa pria dewasa yang terbukti menjadi Ayah yang baik bagi anaknya. Lihat dan teladani. Tidak ada yang terlambat, selama kita mau belajar. Karena salah satu yang kita wariskan pada anak anak adalah: teladan menjadi ayah.