Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Reparenting: Belajar Ulang Jadi Ayah

27 Juni 2011   08:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


[caption id="attachment_116365" align="aligncenter" width="306" caption="Sekolah Menjadi ayah di rumah. Jika Gagal maka lakukan reparenting (Google)"][/caption]

Menjadi dokter dan insinyur ada sekolahnya, tetapi menjadi Ayah yang lebih penting dari dokter tidak ada. 'Sekolah' menjadi Ayah itu  di rumah. Jika kita dapat teladan baik dari Ayah kita, betapa beruntungnya kita - Pelikan

  • Masalah pengasuhan anak dan konflik komunikasi Ayah-Anak bukan disebabkan kita kurang memahami teori menjadi ayah, tetapi karena minimnya teladan baik dari Ayah kandung kita. Juga bukan karena kurangnya perasaan cinta kita sebagai ayah, tetapi karena minimnya skil parenting (ketrampilan keayahan) dalam diri kita.

Takut Jadi Ayah

Anak sulung kami bernama Josephus. Saat Joseph lahir, ada perasaan senang luar biasa  dalam diri saya. Saya sudah menjadi Ayah. Namun…..perasaan senang  itu hanya sekejap. Mendadak muncul rasa takut dan cemas. Muncul satu pertanyaan di pikiran saya yang menggelisahkan:

Apakah saya bisa menjadi Ayah yang baik buat Josephus ini...?”

Saya tidak bisa menjawabnya.  Diam-diam saya menjerit : " Oh, Tuhan tolong saya supaya tidak gagal menjadi Ayah..."

Saya memang merasa tidak yakin bisa jadi ayah yang baik. Saya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan itu. Kenapa?

Sebelum Joseph lahir, saya adalah suami yang buruk bagi mamanya.  Kami sudah menikah dua tahun baru mendapatkan joseph. Dua tahun itu pernikahan kami penuh konflik. Meskipun saya punya teori bagaimana menjadi suami yang baik, tapi dalam praktek saya adalah suami buruk. Saya sering membuat istri susah dan menangis. Saya menjadi kuatir, jangan-jangan saya punya teori tentang menjadi Ayah yang baik, tapi gagal menjadi ayah yang baik buat Joseph.

Ternyata benar. Beberapa tahun awal dari kehidupan anak sulung maupun si bungsu, saya merasa gagal. Miskinnya skil Ayah, membuat saya lebih banyak menyerahkan pengasuhan anak pada istri saya. Jelas saja istri saya keberatan, sebab dia pun bekerja. Sering malam hari saya malas bangun membantu istri mengganti popok bayi Joseph.  Itu baru satu masalah.

Masalah lain adalah, cara saya mendidik cenderung membiarkan, sebab saya tidak tahu cara mendisiplin. Beda dengan istri saya yang biasa dibesarkan mamanya  dengan disiplin. Itu masalah kedua yang membuat kami sering ribut. Istri merasa dirinya benar, saya merasa cara sayalah yang paling benar (padahal… Jangan beritahu nyonyaku ya: caraku itu salah)

Ketiga, saat si bungsu lahir konflik kami berbeda. Saya lebih kasar dengan yang si bungsu.  Istri saya lebih lembut. Saya tidak setuju, saya merasa mendidik anak bungsu kami harus keras. Istri saya justru memilih sikap berbeda dengan saya.

Karena perasaan gagal mengasuh anak pertama, saya sempat keluar dari pekerjaan pada tahun 96. Saya memutuskan kuliah di bidang konseling. Saya juga menjumpai dua konselor saya secara rutin selama satu tahun untuk membenahi diri saya. Belajar khususnya konseling keluarga ini ternyata sangat membantu meski prosesnyab panjang.

Belajar Ulang Jadi Ayah

Pohon keluarga saya dan istri berbeda. Pola asuh Ayah mertua saya memang lembut, ramah dan demokratis. Saya dibesarkan ayah seorang polisi yang suka minum alkohol. Cenderung keras, kasar dan otoriter. Ternyata emosi saya sebagai  Ayah tanpa sadar telah “terkontaminasi” emosi ayah saya. Bawaan saya juga  keras dan cenderung kasar dengan si bungsu. Lewat kuliah saya sadar bahwa saya miskin teladan keayahan dari Ayah kandung.

Kegagalan saya sebagai ayah di tahun awal usia anak kami, saya memilih belajar ulang bagaimana menjadi seorang Ayah. Selain membaca dan ikut kuliah konseling berbasis keluarga, saya mencari teladan dari seorang Ayah. Ada tiga figur ayah menjadi teladan bagi saya:

Pertama, Tanpa bermaksud membesarkan Ayah mertua, saya memang mendapat teladan yang baik dari Ayah mertua saya.  Dia adalah figur ayah yang lembut, tidak banyak bicara tapi sangat demokratis dengan anak-anak. Rela berkorban bagi ketujuh anaknya, dan sebagainya.

Kedua, Saya juga belajar dari seorang sahabat saya, seorang insinyur ahli gempa. Super sibuk, pandai dan kaya. Namun dia sangat pedulubdengan anak-anak, perangainya menampakkan seorang Ayah yang bertanggungjawab pada keluarga. Sikapnya kepada istri juga mempengaruhi saya, dia suami teladan.

Ketiga, saya terinspirasi sikap salah satu dosen saya seorang Guru Besar di bidang pendidikan. Meski seorang profesor terkenal, dia dosen yang terkenal ramah dan kebapakan. Dia  sangat peduli dengan mahasiswa. Berusaha menyapa kami dengan penuh perhatian, dan tak jarang mengundang kami makan malam bersama di rumahnya. Kesempatan bercakap-cakap, menanyakan kondisi kami sesungguhnya. Jika mahasiswa benar benar butuh bantuan uang, tak segan dia membayarkan uang kuliah, dsb.

Semua proses belajar kepada seorang ayah di atas kami sebut dengan reparenting.

Penutup

Menjadi Ayah sungguh istimewa, tapi tak mudah. Tidak ada sekolah khusus menjadi Ayah.  Sesungguhnya sekolah Ayah itu di rumah. Gunakanlah kesempatan ini melatih anak-anak dengan memberi teladan atau figur Ayah yang baik. Sebab mereka akan tiru dan teruskan pada  cucu-cucu kita.

Jika dulu kita tidak mendapatkan teladan baik dari ayah kandung kita, berusahalah belajar ulang. Selain dengan membaca dan hadir di seminar, berusahalan bergaul dengan beberapa pria dewasa yang terbukti menjadi Ayah yang baik bagi anaknya. Lihat dan teladani. Tidak ada yang terlambat, selama kita mau belajar. Karena salah satu yang kita wariskan pada anak anak adalah: teladan menjadi ayah.

Semoga bermanfaat. Silahkan berbagi jika berguna bagi orang yang anda kasihi

Julianto Simanjuntak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun