Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Reparenting: Belajar Ulang Jadi Ayah

27 Juni 2011   08:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketiga, saat si bungsu lahir konflik kami berbeda. Saya lebih kasar dengan yang si bungsu.  Istri saya lebih lembut. Saya tidak setuju, saya merasa mendidik anak bungsu kami harus keras. Istri saya justru memilih sikap berbeda dengan saya.

Karena perasaan gagal mengasuh anak pertama, saya sempat keluar dari pekerjaan pada tahun 96. Saya memutuskan kuliah di bidang konseling. Saya juga menjumpai dua konselor saya secara rutin selama satu tahun untuk membenahi diri saya. Belajar khususnya konseling keluarga ini ternyata sangat membantu meski prosesnyab panjang.

Belajar Ulang Jadi Ayah

Pohon keluarga saya dan istri berbeda. Pola asuh Ayah mertua saya memang lembut, ramah dan demokratis. Saya dibesarkan ayah seorang polisi yang suka minum alkohol. Cenderung keras, kasar dan otoriter. Ternyata emosi saya sebagai  Ayah tanpa sadar telah “terkontaminasi” emosi ayah saya. Bawaan saya juga  keras dan cenderung kasar dengan si bungsu. Lewat kuliah saya sadar bahwa saya miskin teladan keayahan dari Ayah kandung.

Kegagalan saya sebagai ayah di tahun awal usia anak kami, saya memilih belajar ulang bagaimana menjadi seorang Ayah. Selain membaca dan ikut kuliah konseling berbasis keluarga, saya mencari teladan dari seorang Ayah. Ada tiga figur ayah menjadi teladan bagi saya:

Pertama, Tanpa bermaksud membesarkan Ayah mertua, saya memang mendapat teladan yang baik dari Ayah mertua saya.  Dia adalah figur ayah yang lembut, tidak banyak bicara tapi sangat demokratis dengan anak-anak. Rela berkorban bagi ketujuh anaknya, dan sebagainya.

Kedua, Saya juga belajar dari seorang sahabat saya, seorang insinyur ahli gempa. Super sibuk, pandai dan kaya. Namun dia sangat pedulubdengan anak-anak, perangainya menampakkan seorang Ayah yang bertanggungjawab pada keluarga. Sikapnya kepada istri juga mempengaruhi saya, dia suami teladan.

Ketiga, saya terinspirasi sikap salah satu dosen saya seorang Guru Besar di bidang pendidikan. Meski seorang profesor terkenal, dia dosen yang terkenal ramah dan kebapakan. Dia  sangat peduli dengan mahasiswa. Berusaha menyapa kami dengan penuh perhatian, dan tak jarang mengundang kami makan malam bersama di rumahnya. Kesempatan bercakap-cakap, menanyakan kondisi kami sesungguhnya. Jika mahasiswa benar benar butuh bantuan uang, tak segan dia membayarkan uang kuliah, dsb.

Semua proses belajar kepada seorang ayah di atas kami sebut dengan reparenting.

Penutup

Menjadi Ayah sungguh istimewa, tapi tak mudah. Tidak ada sekolah khusus menjadi Ayah.  Sesungguhnya sekolah Ayah itu di rumah. Gunakanlah kesempatan ini melatih anak-anak dengan memberi teladan atau figur Ayah yang baik. Sebab mereka akan tiru dan teruskan pada  cucu-cucu kita.

Jika dulu kita tidak mendapatkan teladan baik dari ayah kandung kita, berusahalah belajar ulang. Selain dengan membaca dan hadir di seminar, berusahalan bergaul dengan beberapa pria dewasa yang terbukti menjadi Ayah yang baik bagi anaknya. Lihat dan teladani. Tidak ada yang terlambat, selama kita mau belajar. Karena salah satu yang kita wariskan pada anak anak adalah: teladan menjadi ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun