Pertama, UN adalah sekedar nama saja, namun pada dasarnya berfungsi sama sebagai alat evaluasi hasil belajar. Oleh karena itu, penggunaan istilah UN dapat saja digunakan kembali. Yang menjadi fokus penting sebetulnya adalah bagaimana implementasi dari 'UN versi baru' dan apa manfaat atau kegunaannya.
Menurut penulis, 'UN versi baru' hendaknya hanya berbentuk evaluasi hasil belajar di tingkat sekolah saja atau Ujian Sekolah (US). Â Ini berarti, apabila sebuah sekolah sudah menyelenggarakan ujian sekolah, maka ujian nasional tidak lagi perlu dilakukan. Ujian nasional versi UN Kurikulum K-13, menurut penulis, hanyalah pemborosan apabila fungsinya hanya untuk mengukur kemampuan siswa. Maka, untuk yang akan datang, evaluasi hasil belajar cukup dilaksanakan dalam bentuk Ujian Sekolah.
Dari sisi manfaat suatu evaluasi belajar, UN versi lama merupakan penentu kelulusan. Hal ini telah banyak mengundang protes dari para pakar karena kelulusan siswa semestinya tidak diukur dari hasil ujian yang hanya beberapa hari. Sehubungan hal itu, di kurikulum berikut ini, penentuan kelulusan siswa cukup hanya lewat ujian sekolah.
Terkait dengan penjenjangan, penulis berpendapat bahwa hasil belajar siswa di suatu tingkat pendidikan tidak boleh menjadi faktor mutlak penentuan layak tidaknya siswa diterima di suatu sekolah atau perguruan tinggi. Penulis mengusulkan agar setiap jenjang menyiapkan ujian tersendiri (Placement Test) yang dapat disiapkan secara nasional, regional, bahkan lokal sesuai kesepakatan bersama di tingkat daerah. Sementara, untuk perguruan tinggi, tes yang selama ini diadakan secara mandiri oleh masing-masing perguruan tinggi sudah cukup layak. Mungkin, untuk lebih menggambarkan kemampuan kesiapan siswa, jenis tes dalam bentuk Tes Potensi Akademik sudah mulai diterapkan (bukan tes belajar dari materi di SMA).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H