Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya mentarget angka kesembuhan dengan menghalalkan segala cara. Melacak diagnosis mengandalkan aneka pemeriksaan laboratorium yang merajalela tak berguna, padahal hanya demam dan varicella biasa. Justru pasien malah merasa bangga, dokternya memeriksa banyak parameter laboratorium karena teliti. Karena teliti atau tidak terampil memeriksa dan takut salah diagnosis? defensive medicine berkembang mengikuti pola di Amerika. Lagipula, dokter cenderung TAKUT PASIEN TIDAK MERASA SEMBUH DAN TIDAK KEMBALI, sehingga membombardir dengan segepok obat plus antibiotik, padahal jelas-jelas infeksi viral. Ketahuilah juga bahwa 90% penyakit selesai di level dokter keluarga, hanya dengan sedikit obat simptomatik ringan, ramah tamah komunikasi-edukasi, dan rawat rumah dengan istirahat-nutrisi yang cukup! -- menurut pendapat saya termasuk kecurigaan demam pada Ibu Prita Mulyasari (ilustrasi pendekatan berdasar surat pembaca beliau yg dimuat).
Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya mencari untung sebesar-besarnya. Berapa banyak dari anda yang setiap kali ke dokter selalu diberikan obat bermerek nan mahal? atau justru anda yg meminta karena menurut anda yg bermerek dan mahal itu lebih baik? tentu saja anda akan membuat para dokter, termasuk saya, sangaat-sangaaat berbahagia! karena bila kami menjual obat paten banyaak, maka fee-peresepan dari perusahaan itu juga banyaak! bahagialah kami. Berapa banyak kerabat anda bangga ketika dilakukan operasi? atau justru minta dioperasi ketika patah tulang? padahal biaya pembelian plate/pen platina kami lipatkan 4x dari harga distributor, plus kami mendapat uang jasa medik operasi, padahal patah tulang tersebut sebenarnya cukup direposisi dan immobilisasi dengan plaster-cast (gips) sederhana?. Berapa banyak kerabat anda yang merasa telah menjalani operasi pengangkatan appendiks (usus buntu) dengan sukses? padahal berdasar hasil pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan usus buntu tersebut ternyata hanya radang ringan biasa, yang tidak butuh dioperasi?
--- anda hanya tidak tahu saja, seandainya kami membukukan berbagai jenis kecurangan dapat yang kami lakukan pada anda, mungkin akan lebih tebal daripada kamus besar Bahasa Indonesia; karena kebanyakan dari anda justru bangga ketika kami curangi --- canda :)
Lihatlah bagaimana Pemerintah memperlakukan dokter dan pasien layaknya konsumen dan produsen?. Dokter dicetak sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas, semata demi mengejar rasio jumlah dokter dengan jumlah penduduk. Pendidikan kedokteran beralih dari institusi suci pendidik menjadi lahan bisnis. Cobalah anda bertanya, lebih mudah mana sekarang masuk ke Fakultas Kedokteran dengan ujian atau membayar sumbangan? ketahuilah, lebih mudah untuk menjadi dokter bila orangtua anda kaya. IDI mencoba memberlakukan Surat Tanda Registrasi dan kewajiban ujian untuk menyaring kualitas lulusan dokter yang tercetak; tapi apa yang terjadi -- soal ujian yang terlalu gampang dengan passing grade yang terlalu rendah untuk mengakomodir "mereka yang masuk Fakultas Kedokteran bukan karena kepandaian otak!". Bullshit! (maaf) makin banyak dokter goblok berkeliaran. Dapatkah anda wahai para pasien membedakan mana dokter penjahat dan mana dokter yg lurus benar?
BAGAIMANAKAH POSISI DOKTER-PASIEN YANG DIAJARKAN (setidaknya kepada saya)
Saya bukanlah dokter yang merasa paling suci dan paling benar, saya telah banyak melakukan kesalahan. Saya juga dokter yang bodoh, bukanlah dokter dengan IP cumlaude untuk mengingat secara detil kuliah etika kedokteran yang diajarkan sejak semester satu dan selalu diulang-ulang hingga saya lulus. Setidaknya yang saya ingat akan saya gambarkan sebagai ilustrasi gampang berikut:
Adakah teman sepermainan anda sejak SD yang menjadi dokter? bilamana anda bertemu dengannya? Ya, hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan sahabat. Sahabat yang sedang sakit meminta tolong sahabat lain yang dapat mengobati sakitnya. Hubungannya adalah SAKRAL, dimana sang sakit menyerahkan segenap raganya untuk diperlakukan sedemikian rupa oleh penyembuh. SAKRAL karena sang sakit dengan sendirinya MEMILIH kepada siapa raganya DIPERCAYAKAN. SAKRAL karena sang penyembuh MAU DAN MAMPU menerima kepercayaan dari sang sakit.
Atas landasan itikad percaya satu sama lain, dokter dan pasien menjalin hubungan. Bukan berdasar atas siapa melayani siapa, siapa pembeli dan siapa penjual. Dengan adopsi pola hubungan konsumen-penyedia jasa tersebut, menurut etika kedokteran, justru merendahkan martabat pasien sebagai obyek, sebagai benda, sebagai motor bila itu bengkel.
Kesepakatan untuk mengobati HANYA BOLEH DILAKUKAN bila dokter dan pasien sudah terikat percaya satu sama lain. Oleh karena itu, jalinan komunikasi harus terbentuk SEBELUM proses pemeriksaan dan terapi dilakukan. Maka dari itu, kenalilah doktermu terlebih dahulu (bagi pasien) dan kenalilah dulu pasienmu (bagi dokter), lalu jalinlah hubungan, jalin kepercayaan. Kesepakatan-kepercayaan inilah dasar vital bagi berlangsungnya etika kedokteran dengan baik. Kenyataannya di lapangan? sudahkah anda melakukannya? ini adalah dasar lhoo... kok mau-maunya anda menyerahkan hidup anda pada orang yang anda tidak percaya? bahkan anda tidak kenal? bagaimana kalau ternyata yang anda berikan kepercayaan hidup anda itu maling pemburu harta belaka? bagaimana anda tahu dia maling? cuma gara-gara RS megah dan canggih ala negara tetangga lalu anda percaya mereka bukan maling? konon maling sekarang perlente lhoo... mau-maunya ditipu.
Itikad kepercayaan dan etika kedokteran, sebenarnya sudah ada jauuh sebelum UU Praktek Kedokteran kita disahkan. Pada hakikatnya, ia seharusnya sudah lebur ke dalam jiwa setiap penyelia jasa kemanusiaan. Ketika ijab-kabul kepercayaan itu terjadi, etika kedokteran jauh lebih dapat dilaksanakan daripada berdasar tansaksi jual-beli, karena pelaksanaan etika kedokteran yang benar butuh hubungan sangat mendalam antara dokter pasien. Coba lihat cuplikan populer mengenai etika medis yang penjelasan panjangnya anda dapat temukan dengan mudahnya di situs terkenal http://en.wikipedia.org/wiki/Medical_ethics
* Autonomy - the patient has the right to refuse or choose their treatment. (Voluntas aegroti suprema lex.)
* Beneficence - a practitioner should act in the best interest of the patient. (Salus aegroti suprema lex.)
* Non-maleficence - "first, do no harm" (primum non nocere).
* Justice - concerns the distribution of scarce health resources, and the decision of who gets what treatment (fairness and equality).
* Dignity - the patient (and the person treating the patient) have the right to dignity.
* Truthfulness and honesty - the concept of informed consent