dapatkah mereka terlaksana tanpa hubungan saling percaya yang harmonis antara dokter dengan pasien?
Hubungan dokter dan pasien hanya dan hanya akan tercipta bila 6 asas tersebut terpenuhi. Bila satu saja dari asas tersebut tidak terlaksana, maka yg pasti hubungan tersebut tidak layak disebut sebagai hubungan antara dokter dan pasien. Sebagai contoh, dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, sudahkah 6 asas tersebut terlaksana? sudahkah hubungan antara dokter dgn Ibu Prita layak disebut hubungan dokter pasien? adakah diawali dengan deal saling percaya antara dokter dan pasien? (yang ada adalah Ibu Prita menduga bahwa RS ybs "tampaknya" layak dipercaya, sedangkan RS tersebut menerima pasien "seperti biasa": sebagai pembeli jasa). Dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, kalau boleh saya lancang, saya akan menamakannya hubungan pedagang dengan pembeli (biasanya pembeli yang banyak menuntut ke pedagang, yang ini justru pedagang menuntut pembeli karena pencemaran nama baik, yang dapat mengakibatkan dagangannya mungkin tidak laku), bukan hubungan antara dokter dengan pasien.
Kepercayaan diawali dengan kenal tidaknya kita dengan sesuatu yg akan kita berikan kepercayaan. Kendala yg dihadapi di negara kita adalah pasien sama sekali tidak mengenal siapa yg diberikannya kepercayaan, dunia seperti apa tempat ia sandarkan sepenuhnya dirinya. Pasien yang buta terhadap dunia medis selalu berjumlah jauh lebih banyak daripada yg melek, terlebih di negara kita. Keterbatasan akses informasi, stigma kedewaan dokter dan RS (always work in unknown ways), strata ekonomi yang lemah, kondisi sosial dan budaya, menyebabkan rendahnya pula kesadaran masyarakat untuk mempelajari seluk beluk dunia medis. Ilmu medis dianggap ilmunya dokter saja, si penyembuh serba bisa. Inilah yang menyebabkan msyarakat cenderung "pasrah bongkokan" kepada dokter, menyerahkan nasib sepenuhnya pada siapapun dokternya, apapun RSnya, apapun tindakannya. Inilah penyebab fenomena gunung es "kejahatan dan kesalahan medis" : yang masyarakat tahu dan permasalahkan hanya ujung mungilnya saja, sebagian besarnya yang terletak di bawah permukaan air masyarakat tak pernah tahu, hanya dokter yang tahu. Dan banyak dokter yang bukannya membantu menjadi penyedia akses informasi, namun justru menjadikan keawaman pasien ini sebagai lahan mencari untung. Tahukah anda, 90% kasus ISPA disebabkan karena virus, tidak perlu terapi antibiotik? banyak dokter sengaja memberikan antibiotik bukan atas indikasi namun demi fee-peresepan. Tahukah anda bila dokter SENGAJA melakukan terapi tanpa indikasi ia dapat dituntut malpraktek (pure malpractice)?
Bila tak tahu atau tak mau tahu dengan dunia medis, rasa percayapun tak tersepakati, tentu mustahil untuk mencapai terpenuhinya 6 asas tersebut. Mana mungkin asas autonomy terlaksana bila pasien tak tahu apa yg terjadi pada dirinya dan tindakan medis apa saja yg dpt dilakukan oleh dokter?
Mari kita berandai2, seandainya hubungan antara Ibu Prita dengan dokter dan RS ybs memenuhi 6 asas tersebut. Alangkah mulianya dokter yang memperkenalkan dirinya di depan pasien, mengambil persetujuan pasien atas dirinya sebagai tempat sandaran kepercayaan. Alangkah mulianya seorang dokter yang memberi waktu luang pada orang yang ingin percaya padanya untuk bertanya banyak mengenai kondisi sakitnya. Alangkah mulianya seorang dokter yang menjelaskan segala macam pilihan tindakan dan resikonya sehingga bahkan pasien sendiripun dapat memilih dengan sendirinya tindakan apa yg akan dilakukan pada dirinya. Alangkah mulianya seorang dokter yang jujur memohon maaf dan menjelaskan bahwa diagnosis belum dapat ditegakkan meski segala pemeriksaan telah dilakukan, daripada bersikap maha tahu bagaikan dewa. Alangkah mulianya seorang dokter yang dengan jujur berkata "saya tidak mampu" daripada asal menerka dan beraksi coba-coba. Alangkah mulianya seorang dokter yang tulus memohon maaf karena meskipun telah berusaha dengan segala cara, ia tetap gagal menangani pasiennya. Ya, bagaimanapun dokter adalah manusia, bukanlah sosok sempurna.
... saya pikir, tak perlulah berobat ke RS berlabel Internasional, cukup di Puskesmas desa, bila semua dokter di Indonesia tidak hanya pandai, namun berhati mulia seperti ini. Ya, mungkin menurut anda yang saya ceritakan hanya idealita mimpi, saya juga beranggapan demikian. Namun, apakah anda tidak mau mewujudkan mimpi ini dalam kenyataan? mari kita benahi, mulai dari titik ini, satu hal yang kecil namun berarti: cara pandang kita, mulailah menempatkan dokter dan pasien dalam hakikat posisi yg sebenarnya. Dokter dgn pasien, bukan pedagang dengan pembeli.
KESIMPULAN
Yah, lagi-lagi hanya bisa menyarankan...
Kepada para pasien: hubungan antara dokter dengan pasien bukanlah hubungan jual-beli. Kalau anda beli beras, bolehlah anda cukup amati berasnya saja. Tapi ini masalah nyawa, kenalilah dokter dan sakit anda sebelum menyerahkan raga anda. Peganglah selalu bahwa anda punya hak untuk memilih siapa dokter anda percaya, yang menjunjung tinggi 6 butir asas etika kedokteran diatas. Carilah dokter-dokter yang lurus dan benar, masih banyak dokter seperti itu di Indonesia, banyak dari mereka justru anda dapatkan bukan di RS mewah dan berkelas, hanya praktekan mungil di sudut jalan yang sepi terpencil. Jangan hanya mengamati dari mewah dan canggihnya iklan dan kesan. Pengobatan bukanlah benda yang diperjualbelikan, namun masalah kepercayaan.
Kepada para dokter dan penyedia layanan kesehatan: bertobatlah, kembalilah ke jalan yang benar. Lihatlah quote di baris paling atas -- itu adalah kutipan sumpah anda ketika dilantik menjadi dokter; ingatlah bahwa hidup anda telah anda serahkan untuk kemanusiaan, bukan untuk bisnis atau nyambi bisnis. Kalau mau berbisnis, jadilah pedagang, bukan dokter.
Kepada para pembaca: mohon maaf sebesarnya bila ada salah kata yang meyakiti hati dan menyinggung perasaan. Ini hanya opini, bukan mencoba sok suci, sok idealis, tidak bermaksud menggurui atau menyinggung pihak manapun. Saya hanya dokter yang baru saja menetas, masih tertatih, mencoba untuk berjalan di jalan yang idealis. Mohon bimbingan dan koreksi agar saya tetap di jalan yang lurus dan benar.