"I solemnly pledge myself to consecrate my life to the service of humanity"
Sebelumnya, saya sampaikan dukungan sepenuhnya kepada Ibu Prita Mulyasari dan keberadaan Cause ini, semoga dapat memberikan wacana yang menarik perhatian, juga tindakan, dari para pengguna Facebook maupun pihak yang berwenang, terhadap satu dari sekian banyak kasus sengketa yang marak terjadi mengenai layanan kesehatan Indonesia, baik yang mengemuka maupun yang tak terpublikasikan. Perkenankanlah saya sedikit beropini, berdasarkan dari kacamata sempit sebagai seorang dokter yg saya alami.
Saya seorang dokter. Dilantik dan mengucapkan Sumpah Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2007. Baru sepersekian detik memang pengalaman saya bila dibanding ratusan ribu sejawat senior di Indonesia. Dan baru sepersekian detik itu pulalah saya melangkah dalam sebuah hubungan suci antara dokter dengan pasien. Ya, hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan suci antara manusia yang membutuhkan pertolongan dengan manusia pemberi tolong, bukan transaksi ataupun jual beli, itulah setidaknya yang diajarkan kepada saya selama kuliah.
Namun sepersekian detik itulah mata saya terbuka, bahwa dunia layanan kesehatan yang baru saya masuki ini tidaklah seindah teori yg terajarkan. Bilamana masyarakat awam menikmati satu-dua kasus sengketa layanan kesehatan (yg kemudian dgn mudahnya memberikan salah-julukan "malpraktek") melalui publikasi media harian -- kami menghadapi dan berjalan di titian sempitnya puluhan kali dalam sehari. Titian yg kuat lemahnya terbangun saat kami menjalani pendidikan, dan sedikit-demi-sedikit tergerus pengaruh sistem dan lingkungan, juga kebutuhan materi untuk penghidupan.
Pembaca yg terhormat, apa yg anda pikirkan ketika anda sakit dan datang ke dokter? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa dokter adalah layanan penjual jasa? layaknya bengkel, penjual pulsa, penjual gado-gado? dimana anda mengatakan apa yg anda butuhkan, kemudian dokter memberikan apa yg anda butuhkan, kemudian anda membayar, kemudian anda pulang dgn kebutuhan yg telah terpenuhi?
Itulah sistem yg telah terbentuk dan kita jalani saat ini. Sistem telah menempatkan dokter (juga dokter gigi, perawat dkk) sebagai layanan penjual jasa. Jual-Beli! transaksi antara penjual dan pembeli. Berbanggalah, Indonesia hanya satu penjiplak sistem transaksional yg (agak kurang) sukses. Lihatlah negara tetangga kita Singapura yang luar biasa sukses, atau cetak birunya di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Dengan adopsi pola sistem jual-beli jasa kesehatan, maka dokter dicetak sebagai alat penjual jasa (baca= mesin). Penjual jasa yg sukses cenderung dinilai berdasar cakupan konsumen, kepuasan konsumen terhadap layanan, dan tentunya keuntungan yang diterima oleh penjual layanan tersebut. Berapa banyak dari anda yang berpikir bahwa dokter yg bagus adalah dokter yg pasiennya banyak, pasiennya banyak yg sembuh dan pulang dengan bahagia (setimpal dengan bayaran yg diberikan), dan dokternya menghasilkan banyak uang dari apa yg dikerjakannya? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa semakin terkenal dan megah RS semakin baik pula angka kesembuhannya? berapa banyak dari anda yg berpikir bahwa berobat ke RS di negara tetangga lebih menjanjikan kesembuhan, setimpal dengan harganya yang menawan? berapa banyak dari anda yang berpikir bahwa dokter asing lebih berkualitas dari dokter Indonesia (seperti alat elektronik saja ya)? berapa banyak dari anda yang berpikir dokter spesialis lebih pandai dari dokter umum biasa?
Lalu apa yg terjadi bila seandainya layanan itu mengecewakan? tak memberi kesembuhan justru kesakitan? sudah dibayar, bukannya sembuh malah tambah penyakit. Sistem transaksional yg dianut tersebut memberi peluang tuntutan kesalahan yang berujung pada permintaan pemberian ganti rugi materi bukan?. Maaf bila dramatisir dari saya membuat dokter benar-benar mirip bengkel motor, "garansi 3 hari, bila rusak berlanjut kami akan mengganti". Anda tidak salah, pembaca yg budiman. Sistemlah yang cenderung menyusun sudut pandang sebagian dari anda menjadi sudut pandang seorang konsumen. Dan itu dibenarkan dengan hukum dan perundangan yang berlaku.
Rupanya sistem tersebut tidak hanya membentuk pasien menjadi bercara pandang konsumen yang membeli suatu layanan. Sistem layanan penjual jasa kesehatan tersebut juga berpengaruh terhadapi DOKTER dan para pemberi jasa kemanusiaan pula. Sadarilah bahwa dokter dan penyedia layanan kesehatan (klinik, RS) telah memposisikan diri mereka sebagai penjual. Orientasi beranjak dari kemanusiaan menjadi BISNIS.
Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya menjaring pasien sebanyak-banyaknya. Tebar iklan di mana-mana. Seandainya papan nama praktek dokter tak ada aturan ukurannya, pastilah di jalan-jalan kota anda penuh dengan baliho bertulis nama dan alamat dokter seisi kota. Seperti hanya RS-RS di negara tetangga yang jor-joran promosi di kantor-kantor para pengusaha.
Lihatlah berapa banyak dokter, klinik dan RS yang berupaya memberikan layanan luar biasa mewah bagaikan istana, fasilitas hotel bintang lima, memberi nama dengan embel-embel "internasional" yg membahana, melengkapi peralatan penunjang diagnosis dengan kecanggihan luar biasa, agar pasien tertarik untuk periksa di sana. Semakin banyak pasien semakin lancar uang mengalir di bisnis kerumahsakitan.