Mohon tunggu...
Julian Savero P.S
Julian Savero P.S Mohon Tunggu... Lainnya - Asisten Peneliti di Amanat Institute

Tertarik dalam mengamati dan menulis berbagai hal seputar kebijakan publik, politik demokrasi dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menuju 2024 dan 2025, antara Transisi Politik dan Transisi Energi

20 September 2021   16:35 Diperbarui: 20 September 2021   16:52 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan ini gelanggang perpolitikan tanah air semakin memanas. Mulai dari banyaknya rilis survei yang menilai kinerja pemerintah, elektabilitas parpol dan figur, wacana perubahan konstitusi, hingga usaha konkrit meluaskan pengaruh melalui iklan baliho politisi.

Publik memang bisa menunggu, tapi tidak dengan para politisi. Politisi tidak akan pernah lelah, karena memang investasi untuk berkontestasi di tahun 2024 harus dimulai sejak dini. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atas republik, rakyat tentu berharap adanya transisi kekuasaan harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan.

Sama halnya seperti politisi, perubahan iklim tidak bisa menunggu. Untungnya, para politisi tingkat global turut menangkap fenomena itu. Melaui Paris Agreement 2015, masyarakat dunia sepakat untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih ambisius untuk memperlambat dampak perubahan iklim. Salah satu kebijakan yang terlihat adalah dengan cara transisi energi.

Pentingnya Transisi

Gelanggang perpolitikan tanah air akan terus memanas menjelang 2024, begitu juga dengan suhu bumi yang akan terus memanas dan naik 1,5C. Dampak nyata yang akan dirasakan dari peningkatan suhu bumi bagi Indonesia adalah kenaikan permukaan laut yang diprediksi dalam berbagai penelitian akan menenggelamkan sebagian Jakarta dan beberapa pulau kecil di Indonesia.

Apakah transisi energi sepenting itu? sebagai negara kepulauan, dampak dari perubahan iklim akan begitu nyata bagi Indonesia. Hal tersebut semestinya bisa menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih ambisius dalam mengeluarkan kebijakan untuk memperlambat efek brutal perubahan iklim.

Untuk mengatasinya, Indonesia sudah memiliki target, yaitu melalui target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dan pengurangan konsumsi energi fosil. Komitmen Indonesia dalam Paris Agreement 2015 untuk tahun 2025 adalah mencapai bauran EBT di angka 23%, penggunaan gas bumi di angka 22%, minyak bumi di angka 25%, dan batubara di angka 30%.

Namun dalam data terakhir, capaian Indonesia di akhir tahun 2020 dengan bauran EBT di angka 11,20%, penggunaan gas bumi di angka 19,16%, minyak bumi di angka 31,60%, dan batubara di angka 38,04%. Secara tidak langsung angka tersebut berkata bahwa pembuangan emisi yang menghasilkan jejak karbon di Indonesia masih tinggi, dan masih berkontribusi pada perubahan iklim global.

Ibarat energi yang penggunaannya harus dibatasi. Praktik dalam politik seyogyanya juga bisa dan bahkan harus dibatasi untuk kebaikan bersama. Jika dalam energi kita mencoba untuk membatasi penggunaan energi fosil agar bisa memperlambat perubahan iklim, dalam politik hal yang dirasa perlu dibatasi adalah praktik politik transaksional. Memang utopis, namun upaya tersebut dirasa rasional untuk memutus perlahan rantai korupsi.

Status Quo

Penggunan energi Indonesia saat ini dirasa masih belum ramah lingkungan. Dari hal yang paling sederhana seperti penggunaan energi fosil berupa batubara, negara kita masih bergantung pada komoditas tambang tersebut. Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 38,84 miliar ton yang bisa mencukupi hingga 65 tahun ke depan.

Padahal, konsumsi batubara menjadi salah satu kontributor utama bauran emisi karbon global. Konsumsi listrik Indonesia yang terbanyak hingga saat ini masih berasal dari PLTU dengan bahan dasar energi batubara. Dalam laporan Global Electricity Review 2021, ketergantungan PLTU batubara yang mulanya di angka 53% di tahun 2015 meningkat menjadi 60% di tahun 2019, adanya peningkatan itu memperihatinkan saat dunia tengah berusaha mengurangi emisi karbon.

Dalam catatan, dari tahun 2006-2020 terdapat 171 PLTU energi batubara yang beroperasi di Indonesia dengan kapasitas 32.373 MW (MegaWatt). Hingga Desember 2021, jenis PLTU dengan sumber batubara masih mendominasi dengan kontribusi 50% dari total jenis pembangkit listrik di Indonesia.

Di tengah masih tingginya kondisi tersebut, Indonesia sebenarnya menyimpan banyak sumber energi alternatif mulai dari panas bumi/geothermal sebesar 29,5 GW hingga energi surya di angka 207,9 GW sebagai alternatif dalam Energi Baru Terbarukan (EBT). Dari potensi tersebut, Bappenas pun dengan percaya diri menilai bahwa Indonesia bisa mencapai bauran EBT di angka 70% pada tahun 2050.

Energi Politik Terbarukan

Jika agenda 2025 dan 2050 sudah jelas di depan mata, bahwa Indonesia telah memiliki strategi untuk menuju EBT, dalam konteks politik sepertinya tidak memiliki semangat serta rancangan agenda sejelas agenda transisi energi.

Batubara selama ini sudah berada di zona nyaman, namun perlahan harus ditinggalkan karena bisa berdampak buruk bagi lingkungan. Sama halnya dengan praktik politik transaksional, yang saat ini sudah menjadi rahasia umum hingga diwajari, namun perlahan harus ditinggalkan karena tidak baik bagi politik dan demokrasi negeri ini.

Memang tidak ada ukuran pasti berapa biaya keseluruhan yang dikeluarkan dalam praktik politik transaksional di negeri ini. Namun setidaknya kita bisa menilai dengan objektif bahwa maraknya praktik korupsi yang menyeret kepala daerah dan para pejabat pilihan rakyat adalah efek dari biaya politik yang tinggi.

Politik yang berbiaya tinggi adalah umpan jitu praktik korupsi. Para politisi berusaha untuk mencari pembiayaan baik itu pada masa pra hingga pasca kontestasi. Hingga Maret 2021 dalam catatan KPK, sudah ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terciduk karena korupsi. Jumlah tersebut belum termasuk para wakil rakyat (DPR dan DPRD) yang juga terciduk karena kasus serupa.

Belanja kampanye tanpa limitasi berdampak pada tidak adanya mekanisme pencegahan bagi para kandidat politik untuk mengeluarkan dana yang fantastis. Alhasil, perburuan rente menjadi jalan pintas sekaligus rahasia publik sebagai cara politisi untuk mengembalikan modal pra dan pasca kontestasi. Dari segi kebijakan, banyak cara yang berusaha ditempuh untuk menghentikan praktik politik transaksional. Mulai dari semangat menyebarkan propaganda anti korupsi, hingga sisi regulatif melalui pembatasan dana kampanye melalui peraturan perundang-undangan.

Menuju Indonesia Terbarukan

Indonesia saat ini sedang menuju transisi Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun, term 'Politik Terbarukan' dirasa perlu digaungkan. Transisi menuju energi baru terbarukan pada prinsipnya adalah berusaha meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi bersih salah satunya dengan meninggalkan penggunaan batubara.

Begitupula dengan transisi menuju politik terbarukan. Pada prinsipnya berusaha meninggalkan praktik-praktik buruk dari demokrasi prosedural salah satunya seperti politik transaksional, sehingga bisa menghasilkan demokrasi yang berkualitas.

Dalam skenario terbaik, di tahun 2025 Indonesia bisa mencapai bauran EBT di angka 23% yang disokong dengan mengurangi penggunaan energi fosil dan memperbanyak sumber energi alternatif. Kemudian pada Pemilu 2024, praktik politik transaksional mulai ditinggalkan dengan dengan salah satu caranya membatasi dana kampanye. Sehingga di tahun 2050 Indonesia sudah mencapai bauran EBT di angka 70% dengan kasus korupsi yang perlahan lenyap.

Bumi memang semakin panas, dan masyarakat global telah berusaha memperlambatnya. Politik dalam negeri selalu panas, dan sebagai warga negara kita harus mendukung upaya cooling down tensi politik yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun