Mohon tunggu...
Julian Savero P.S
Julian Savero P.S Mohon Tunggu... Lainnya - Asisten Peneliti di Amanat Institute

Tertarik dalam mengamati dan menulis berbagai hal seputar kebijakan publik, politik demokrasi dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Validasi Superioritas Tiongkok dan Ujian Bebas Aktif

6 September 2021   11:15 Diperbarui: 6 September 2021   11:24 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemimpin Tertinggi Tiongkok, Xi Jinping yang berhasil mendapatkan glorifikasi. (Sumber: Los Angeles Times)

Saat ini perkembangan situasi global semakin dinamis. Kita bisa melihat berbagai pencapaian dari negeri tirai bambu secara berkala bisa menggeser peta geopolitik dan geostrategi.

Berbagai prestasi Tiongkok setidaknya bisa membuat 'status quo' Amerika Serikat dan sekutunya semakin terancam. Mulai dari Donald Trump hingga Joe Biden, mereka sama-sama memiliki sense of crisis yang serupa akan kehadiran Tiongkok yang dianggap sebagai ancaman dari eksistensi Amerika Serikat di abad ke-21 ini.

Naga Asia yang Terbangun

Keberhasilan Tiongkok dalam mengentaskan kemiskinan terus menjadi perhatian dunia. Tiongkok dan Indonesia adalah negara yang tidak terlalu jauh secara ekonomi, dan itu terjadi pada tahun 1980.

Pada tahun itu PDB per kapita Indonesia berada di angka 491,58 Dolar AS, dan Tiongkok berada di bawah Indonesia dengan angka 194,80 Dolar AS. Namun kondisi berbanding jauh pada tahun 2020 saat PDB per kapita Tiongkok meroket di angka 10.582 Dolar AS dan Indonesia tertinggal di angka 3.870 Dolar AS.

Dengan pencapaian tersebut, pemerintah Tiongkok semakin menegaskan dirinya sebagai negara yang paling berhasil dalam meningkatkan taraf ekonomi masyarakatnya. Awal tahun 2021, pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping mengklaim bahwa sejak tahun 1980an Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah berhasil merubah nasib 100 juta rakyatnya dari jurang kemiskinan.

Pesatnya pencapaian domestik Tiongkok telah berdampak pada satu hal penting, yaitu kepercayaan diri. Mereka saat ini memegang kendali mega proyek One Belt One Road (OBOR) sebagai proyek ambisus yang diprakarsai Tiongkok dan telah disepakati oleh 140 negara.

Tiongkok saat ini berada di atas angin. Mereka tidak segan balik mengancam negara-negara yang selama ini dianggap mengganggu kepentingan mereka di pentas global. Dalam HUT ke-100 tahun PKT pada 1 Juli 2021 lalu, Xi Jinping bahkan memperingatkan kepada dunia bahwa Tiongkok tidak segan akan "membenturkan kepala mereka ke tembok baja yang besar".

Dalam perkembangan global terkini Tiongkok langsung menampilkan diri sebagai negara dengan pengaruh yang besar. Mereka mendekati kelompok Taliban, yang merupakan rival dari Amerika Serikat di Afganistan. Dalam skenario Taliban berhasil mendirikan pemerintahan yang stabil, maka akses ekonomi, akses politik, dan dominasi Tiongkok di Timur-Tengah akan semakin luas dan menjadi 'natural born enemy' dari Amerika Serikat.

Pengakuan Politik Kolektif

Salah satu pengakuan dan bukti dalamnya cengkraman Tiongkok atas negara-negara mitra mereka ditunjukkan Pakistan. Sebenarnya, proyek OBOR bisa memberikan 'akses khusus' Tiongkok ke wilayah Timur-Tengah melalui pelabuhan Gwadar di Pakistan. Pakistan mendapatkan bantuan pembangunan, dan Tiongkok mendapatkan pembelaan dan pembenaran dari mitra kerjanya atas berbagai tindakan yang disoroti oleh masyarakat internasional seperti isu Uighur di Xinjiang.

Pujian bahkan pembelaan tidak hanya dilontarkan oleh politisi luar negeri. Para elit politik nasional Indonesia juga tidak ragu untuk menyanjung berbagai pencapaian Tiongkok. Kita mungkin melihat jajaran pemerintahan seperti Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang paling sering memuji pencapaian Tiongkok.

Validasi yang disampaikan oleh Luhut terlihat beralasan. Dari data BKPM, Tiongkok saat ini menjadi negara ke-3 dengan jumlah investasi asing terbanyak di Indonesia dari tahun 2017-2021, dengan nilai investasi 16,3 miliar USD dan melibatkan 9.514 proyek. Tentu berbagai pujian yang dihaturkan jajaran pemerintah kita bertujuan untuk mempererat hubungan kedua negara dengan salah satu orientasinya yaitu ekonomi.

Bahkan kali ini para elit politik turut 'mengikut' pola dari Menteri Luhut. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga memuji Tiongkok dalam hal penanganan bencana pada akhir Juli 2021 lalu.

Pujian lain hadir dari Ketua Umum PAN sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan yang disampaikan dalam rangkaian acara HUT CSIS ke-50. Zulhas memandang bahwa superioritas Tiongkok saat ini bisa tercapai karena kerja keras mereka. Menurutnya Tiongkok memang memiliki mentalitas yang baik dalam pembangunan nasional.

Sanjungan juga berasal dari Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan RI yaitu Prabowo Subianto. Ia tidak segan menyebut bahwa Indonesia bisa belajar dari Tingkok untuk berbagai masalah pembangunan dan kesejahteraan. Uniknya, pujian yang disampaikannya seolah menafikan sengketa yang tengah berlangsung antara Indonesia-Tiongkok apalagi melibatkan posisinya sebagai Menteri Pertahanan RI dalam isu Laut Tiongkok Selatan atau South China Sea.

Satu hal yang bisa kita simpulkan. Belum ada elit politik nasional yang menunjukkan sikap kritis dan mengakui berbagai rekam buruk Tiongkok dalam isu lainnya.

Menuju Jurang Narsisme Kolektif?

Berbagai sanjungan hingga pengakuan akan superioritas Tiongkok saat ini mengingatkan kita dengan konsepsi narsisme kolektif, terlebih dalam politik. Konsep yang berkembang pada tahun 1930an dan diteliti kembali oleh Aleksandar Cichocka pada 2015 lalu bisa menjelaskan fenomena sanjungan yang disampaikan oleh para elit politik kepada Tiongkok.

Narsisme kolektif bisa diartikan sebagai rasa bangga yang ada dalam internal kelompok. Bahkan dalam hal yang ekstrem bisa menjelma menjadi chauvinisme hingga ultranasionalisme yang terlihat pada fenomena Brexit dan kemenangan Donald Trump. Masyarakat Tiongkok secara umum memang tengah berada dalam gelombang 'rasa bangga' akan pencapaian negara mereka.

Bedanya, sanjungan kepada Tiongkok yang berasal dari para elit politik nasional memperlihatkan pola serupa, yaitu kebanggaan akan pencapaian Tiongkok. Tiongkok memang tengah agresif, dan para elit politik juga tidak mau kalah agresif untuk menyanjung pencapaian Tiongkok. Sanjungan yang marak disampaikan memang politis, tapi bisa membuat kita teralihkan dan lupa akan berbagai jejak buruk Tiongkok. Selain itu, mendorong mereka untuk mendapatkan pembenaran yang lebih luas.


Ujian Bebas Aktif

Netralitas dan tendensi politik Indonesia memang selalu menjadi pertanyaan dalam kerangka 'Bebas Aktif'. Hadirnya fenomena AS -- Tiongkok bisa menjadi warning baru bagi para elit politik untuk terus bersikap netral dan objektif.

Sejumlah rekam jejak buruk Tiongkok seperti dalam hal penegakan HAM, isu lingkungan dan pemanasan global, hingga intervensi militer jangan sampai dibutakan karena glorifikasi pencapaian Tiongkok dalam hal pembangunan.

Banyaknya sanjungan seyogayanya harus diiringi dengan koreksi yang objektif. Tiongkok memang superior untuk saat ini, tapi tidak sepatutnya kita menjadi buta. Isu LTS hingga gelombang kedatangan WNA Tiongkok bisa menjadi trigger bagi bangsa ini untuk tetap menunjukkan taji Garuda atas cengkraman Naga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun