Mohon tunggu...
Julianda Boangmanalu
Julianda Boangmanalu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Suka pada dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Epistemologi Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Part 1)

4 Juli 2022   17:01 Diperbarui: 4 Juli 2022   17:08 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (bangazul.com)

Tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan (TSLP)  atau sering dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan komitmen perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perusahaan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Menurut Pasal 74 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TSLP. 

TSLP merupakan kewajiban perusahaan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.  

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (Permen BUMN 5/2007.

Permen BUMN ini menyebutkan istilah TSLP dengan "Program Kemitraan dan Bina Lingkungan". Berdasarkan Pasal 2 Permen BUMN 5/2007, persero dan perum wajib melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. 

Sedangkan Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan dengan berpedoman pada Permen BUMN 5/2007 yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.

Selain itu, dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) menyebutkan  bahwa  setiap  penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahan, yang melalui penjelasan Pasal 15 huruf b mendefinisikan CSR sebagai "tanggung jawab  yang  melekat  pada  setiap  perusahaan  untuk  tetap  menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan  budaya  masyarakat  setempat."  

Disamping  itu,  Pasal  16  huruf  d  dan  huruf e UUPM  juga  menjelaskan  bahwa  setiap  penanam  modal  bertanggung  jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup; menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja.

Seiring dengan itu, setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa perusahaan harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan, yaitu: Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat, oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif. 

Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan.

Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.

Pariodisasi dan Latar Belakang Lahirnya Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Sejak awal dekade 1930-an telah muncul pemikiran mengenai korporasi yang beradab. Tahun 1933, A. Berle dan G. Means meluncurkan sebuah buku the Modern Corporations and Private Property. Buku ini menyatakan bahwa seharusnya korporasi modern mentransformasi diri menjadi institusi sosial dari pada institusi ekonomi yang semata-mata hanya bertujuan untuk memaksimalkan laba. 

Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F. Druker pada tahun 1946 melalui buku yang ditulisnya " the Concept of Corporations", yang menyatakan secara tegas, bahwa manajemen harus memiliki tanggung jawab terhadap profesinya, perusahaan dan karyawan serta tanggung jawab terhadap ekonomi dan masyarakatnya. 

Pada tahun 1962 seorang ibu rumah tangga bernama Rachel Carson mengagetkan dunia dengan buku legendaris berjudul Silent Spring. Buku ini menunjukan bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Buku ini menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum semuanya mengalami kehancuran.

Dekade 1970-an dapat dikatakan sebagai dekade tarik menarik seputar social responsibility dari sebuah entitas bisnis, yaitu korporasi. Pada awal dekade ini seorang ekomom terkemuka, Milton Friedman menyatakan pernyataan yang cukup kontroversial pada saat itu, yaitu "there is one only one social responsibility in business, to use its resources and angage in activities designed to increase its profits". 

Pernyataan ini sangat kontroversial sebab tugas untuk sosial dan lingkungan pada hakekatnya merupakan amanat milik pemerintah. Pernyataan itu seperti menantang kalangan yang mulai resah dengan sepak terjang  korporasi yang semata-mata hanya memburu keuntungan. 

Pada tahun 1972, para cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club Of Rome meluncurkan buku the Limits to Growth, yang mengingatkan bahwa disatu sisi bumi memiliki keterbatasan daya dukung, sementara pada sisi lain manusia bertumbuh secara eksponensial, sehingga eksploitasi terhadap alam harus dilakukan dengan cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan.

Hingga dekade 1980-1990, perbincangan mengenai konsep Corporate Social Responsibility terus berlangsung. Pada dekade ini aktivitas kedermawanan perusahaan berjalan dengan istilah filantropis dan Community Development.

Pada tahun 1992 diadakan KTT bumi di Rio, Pertemuan ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainability Development) sebagai konsep yang harus diperhatikan oleh negara dan juga kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya semakin meluas.

Tekanan dari organisasi-organisasi pada tingkat global agar kelestarian lingkungan, pemberantasan kemiskinan, serta upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dunia dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mendorong berbagai elemen untuk ikut berperan serta, termasuk sektor swasta dalam hal ini adalah pelaku bisnis. 

Hal tersebut dapat kita lihat pada komitmen dari beberapa kali Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang membahas tentang lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim. Semua pembahasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan latar "tanggung jawab sosial" suatu perusahaan. 

Konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 yang membentuk badan khusus PBB untuk masalah lingkungan yaitu United Nations Environmental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya. PBB juga membentuk World Commission on Environmental and Development (WCED) atas kesadaran akan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan  selama ini. 

Pada tahun 1987 komisi ini menerbitkan laporannya "Our Common Future" dengan tema pembangunan berkelanjutan. Dalam laporan tersebut pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu upaya yang mendorong  tercapainya kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang  untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial.

Atas dasar Our Common Future tersebut, diadakanlah berbagai konferensi internasional yang membahas tentang konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, mulai dari KTT Bumi (Earth Summith) di Rio de Jenerio, Brasil pada tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit On Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Dari konferensi tersebut disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan didasarkan atas tiga pilar utama yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Sebelum KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg  diadakan, PBB juga mengadakan COP 3 yang menghasilkan Protokol Kyoto pada Desember 1997 dan KTT Millennium di New York pada bulan September 2000. Protokol Kyoto berkaitan dengan peran menjaga laju pemanasan global sebagai akibat  peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) atau Green House Gases (GHGs) tersebut disepakati dengan prinsip "Common but Differentiated Responsibilities."

Sejumlah inisiatif tentang implementasi CSR juga diusulkan oleh organisasi internasional independen seperti Global Reporting Initiative (GRI), International Standard Organization (ISO) sebagai induk organisasi standarisasi internasional yang menggagas panduan dan standarisasi CSR dengan nama ISO 26.000; Guidance standard on social responsibility, lembaga pemerintah seperti Organisation for Economic Cooperations and Development (OECD).

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat global menjadikan alasan yang paling rasional  dicarinya alternatif-alternatif tata kelola perusahaan yang baik, bertanggung jawab dan berlandaskan prinsip etis dalam bisnis oleh berbagai kalangan, termasuk organisasi-organisasi perusahaan itu sendiri. 

Tata kelola yang berlandaskan prinsip keberlanjutan (sustainability) mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat disekitar perusahaan dalam mengelola lingkungannya. kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya dalam operasionalisasi perusahaan tersebut.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun