Mohon tunggu...
Julianda
Julianda Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN RMS SURAKARTA/MAHASISWA

tenis meja

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku "Menapak Jejak Poligami Nabi SAW" Karya Abdul Mutakabbir

14 Maret 2024   11:10 Diperbarui: 14 Maret 2024   11:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Review Book "Menapak Jejak Poligami Nabi SAW"

By : Abdul Mutakabbir  

Julianda

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract: 

Penulis, Abdul Mutakabbir, membahas praktik poligami dalam Islam dengan fokus pada pandangan dan praktek Nabi Muhammad SAW. Melalui analisis mendalam terhadap sejarah dan konteks sosial pada masa Nabi, buku ini mencoba memberikan pemahaman yang lebih baik tentang poligami dalam Islam. Konteks di mana Nabi melakukan poligami, menyoroti aspek-aspek seperti perlakuan yang adil terhadap istri-istri, tanggung jawab sebagai pemimpin, dan implikasi sosial dari praktik poligami. Bukan hanya sekadar kajian akademis, tetapi juga sebuah upaya untuk merenungkan secara mendalam tentang prinsip-prinsip Islam yang terkait dengan hubungan antara suami dan istri, serta nilai-nilai yang terkandung dalam poligami sesuai dengan pandangan Islam yang murni dan penuh hikmah.

Keywords: Nabi Muhammad SAW; Poligami; Istri

Introduction

Dalam pengenalan awal buku ini, penulis membawa pembaca ke dalam kompleksitas dan ketidakjelasan yang sering kali menyertai topik poligami dalam Islam. Poligami, sebagai praktik yang telah lama diperdebatkan dan dipahami dengan beragam interpretasi, menjadi subjek yang menarik perhatian banyak orang. Penulis mengakui bahwa poligami bukanlah topik yang mudah dibahas. Ia mengakui adanya berbagai pandangan, prasangka, dan stereotip yang melekat pada praktik ini. Namun, penulis menegaskan bahwa untuk memahami poligami dengan benar, kita perlu melihatnya melalui lensa sejarah dan konteks sosialnya, terutama dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tujuan utama buku ini adalah untuk membawa pembaca dalam perjalanan yang mendalam melalui jejak poligami Nabi SAW. Penulis berusaha untuk mengungkap lapisan-lapisan kompleksitas yang terkait dengan praktik ini, serta merenungkan nilai-nilai, tujuan, dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Pengenalan awal buku ini juga menawarkan pembaca sebuah gambaran tentang isi buku, termasuk topik-topik yang akan dibahas, pendekatan penelitian yang digunakan, dan harapan penulis terhadap pembaca. Dengan demikian, pembaca diharapkan akan merasa tertarik untuk menjelajahi lebih dalam tentang poligami dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad SAW melalui bimbingan yang disajikan dalam buku ini.

Result and Discussion

Sekilas dan Sejarah Tentang Poligami 

Poligami adalah istilah yang berasal dari dua kata Yunani yang diduga merupakan saduran, yaitu poli (polus) yang berarti banyak, dan gamein (gamos) yang artinya perkawinan. Ketika kata-kata ini digabungkan, poligami (poligamein) merujuk pada perkawinan yang melibatkan lebih dari satu pasangan. Selain itu, poligami juga dianggap sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris "polygamy", yang memiliki dua makna. Pertama, merujuk pada seseorang yang memiliki lebih dari satu pasangan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Kedua, mengacu pada laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Adapun dalam konteks hukum Islam, poligami merujuk pada praktik seorang laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan, dengan batasan tertentu yang diperbolehkan hingga maksimal empat istri. Dengan demikian, poligami adalah sistem pernikahan yang memungkinkan seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri, namun dibatasi oleh syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama (Al-Qur'an) dan hukum negara.

Secara umum, poligami diyakini telah ada sejak awal kehadiran manusia di bumi, atau lebih tepatnya sejak masyarakat mengenal peradaban. Meskipun tidak ada catatan pasti tentang kapan dan di mana praktik poligami dimulai, namun penelusuran sejarah menunjukkan bahwa poligami bukanlah fenomena baru dan telah menjadi bagian dari berbagai tradisi peradaban kuno. Salah satu bentuk peradaban kuno yang mempraktikkan poligami adalah peradaban patriarkis di wilayah seperti jazirah Arab. Dalam peradaban ini, laki-laki mendominasi sebagai pengambil keputusan dalam berbagai aspek kehidupan, dan poligami menjadi salah satu tradisi yang diterima secara luas. Poligami bukanlah hal yang eksklusif bagi peradaban Arab, melainkan merupakan warisan dari berbagai peradaban masa lampau di berbagai wilayah. Banyak negara pada masa lalu telah mengamalkan poligami, termasuk negara-negara di Timur dan Barat. Meskipun sulit untuk memberikan paparan yang terperinci tentang sejarah poligami dari berbagai bangsa dan peristiwa kecil yang terkait, namun dapat disimpulkan bahwa praktik poligami telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak zaman purba. Praktik ini umumnya terjadi di kalangan elit masyarakat, termasuk di antaranya nabi, rohaniawan, raja, politikus, perwira militer, dan bangsawan.

Dalam catatan sejarah kenabian sekitar abad kelima belas sebelum masehi, diyakini bahwa Nabi Ibrahim (AS) hidup pada masa tersebut. Menurut narasi tersebut, Nabi Ibrahim (AS) telah melakukan poligami dengan mengawini Sarah dan Hajar. Awalnya, Nabi Ibrahim (AS) hanya menikahi Sarah, yang merupakan keturunan bangsawan dan putri dari Haran. Setelah menjadi suami istri yang sah, Nabi Ibrahim (AS) membawa Sarah ke Mesir. Ketika mereka tiba di Mesir, sang Raja terpesona oleh kecantikan Sarah dan ingin menyentuhnya. Namun, Allah melindunginya dengan membuat tangan dan kaki sang raja menjadi kaku. Sang Raja kemudian meminta Sarah untuk memohon pada Tuhan agar tangan dan kakinya dapat kembali normal, dan doanya dikabulkan. Sebagai imbalannya, sang Raja memberikan Hajar kepada Nabi Ibrahim (AS) dan Sarah. Itulah bagian dari narasi yang terdapat dalam sejarah kenabian tentang Nabi Ibrahim (AS) dan peristiwa yang terjadi saat ia dan Sarah berada di Mesir.

Dalam beberapa karya sastra, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim (AS) memiliki tiga atau bahkan empat istri. Salah satu istri ketiga yang disebutkan adalah Qanturah bin Yaqtan, yang melahirkan enam orang anak. Sementara itu, istri keempat yang disebutkan bernama Hajun, yang melahirkan lima orang anak. Namun, pendapat tentang status istri keempat masih diperdebatkan, karena sebagian sejarawan menganggapnya sebagai budak perempuan. Dalam bahasa Al-Qur'an, istilah yang digunakan adalah "ma malakat aimanihim".

Adapun kaum Quraisy yang memiliki banyak istri ketika masuk Islam, mereka diperintahkan untuk menceraikan istri-istri mereka, menyisakan hanya empat orang. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengatur poligami, yang membatasi jumlah istri maksimum menjadi empat, dengan syarat adil dalam memperlakukan mereka. Pernikahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berbeda dengan para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW diberikan kelonggaran khusus untuk memiliki lebih dari empat istri, karena faktor-faktor seperti kebutuhan kemanusiaan, strategi dakwah Islam, dan juga sebagai bagian dari khususiyah (keistimewaan) baginda sebagai Nabi. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW selalu memperlakukan istri-istrinya dengan adil dan bijaksana. Para sahabat lainnya, di sisi lain, hanya diizinkan memiliki maksimal empat istri, seperti kasus Umar ibn Khattab yang memiliki 10 istri. Ketika kasus semacam itu terjadi, Nabi Muhammad SAW memberikan perintah untuk menceraikan istri yang melebihi jumlah yang diizinkan, agar mereka dapat mematuhi aturan Islam.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Pertama : Khadijah Binti Khuwailid 

            Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah telah menikah dua kali. Suami pertamanya adalah Abu Halah al-Tamimi, yang meninggal dunia meninggalkan kekayaan dan jaringan dagang yang luas. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan 'Atiq ibn 'Aiz ibn Makhzum. Ada dua versi mengenai pernikahan Khadijah dengan 'Atiq. Versi pertama menyatakan bahwa Khadijah menjadi janda setelah kematian 'Atiq, dan ia mewarisi harta dan perniagaan seperti yang ia dapatkan dari suaminya sebelumnya. Hal ini membuat kekayaan Khadijah bertambah besar. Meskipun demikian, sepanjang hidupnya, Khadijah telah dikenal sebagai wanita terhormat, kaya, dan memiliki akhlak yang mulia. Versi kedua menyatakan bahwa pernikahan Khadijah dengan 'Atiq tidak berlangsung lama.

            Khadijah mendengar kabar tentang seorang pemuda yang sangat jujur, amanah, dan dipercayai oleh seluruh masyarakat Arab Quraisy. Ia berniat untuk mengundangnya dan memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengurus barang dagang dengan didampingi oleh Maisarah. Dalam waktu singkat, Muhammad muda mulai bekerja untuk Khadijah. Dalam catatan lain disebutkan bahwa Abu Thalib menganjurkan kepada keponakannya untuk bergabung dengan kafilah dagang Khadijah. Suatu hari, Muhammad muda berangkat bersama Maisarah untuk menjajakan barang dagangan Khadijah. Selama perjalanan, Maisarah melihat sifat terpuji sekaligus beberapa keanehan yang terjadi pada diri Muhammad, seperti kejujurannya dalam perdagangan, keuntungan yang berlipat ganda, dan gulungan awan yang menyertainya dalam perjalanan, seolah-olah melindungi Muhammad.

            Setalah melakukan pendekatan yang signifikan pernikahan antara Khadijah dan Muhammad adalah persatuan dua individu yang paling mulia, yang bersama-sama bekerja keras untuk menyebarkan kedamaian dan kebenaran, serta menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya ilahi. Khadijah, sebagai mitra hidupnya, adalah penolong, pelayan, dan rekan dalam menjalankan tugas kenabian yang diembannya. Mereka menjalani rumah tangga monogamis selama dua puluh lima tahun dengan kebahagiaan, kasih sayang, dan harmoni di bawah lindungan rahmat ilahi hingga wafatnya Khadijah pada tahun kesepuluh masa kenabian. Khadijah adalah sosok yang sempurna dalam kehidupan Nabi, memberikan dukungan, kasih sayang, dan perhatian yang luar biasa. Setelah kepergiannya, Nabi menikahi Saudah atas prakarsa Khaulah ibn Hakim, dan kemudian beberapa wanita lainnya atas berbagai alasan, termasuk misi dakwah, pertimbangan sosial, kemanusiaan, dan penyempurnaan akhlak. Meskipun terdapat berbagai versi dari para pakar sejarah dan ulama tentang jumlah wanita yang pernah dinikahi oleh Nabi.

Diantara lima belas wanita yang pernah dinikahi oleh Nabi Muhammad saw., termasuk:

1. Khadijah bint Khuwailid

2. Saudah binti Zum'ah

3. 'Aisyah binti Abi Bakr

4. Hafsah bint 'Umar al-Khattab

5. Zainab bint Khuzaimah

6. Zainab bint Jahsy

7. Hind bint Suhail (Umm Salamah)

8. Ramlah bint Abi Sufyan (Umm Habibah)

9. Juwairiyah bint al-Haris

10. Safiyyah bint Huyay ibn Akhtab

11. Maria al-Qibti

12. Maimunah bint al-Haris al-Hilaliyah

13. Syah bint Rafa'ah

14. Asma' bint al-Nu'man

15. Al-'Aliyah bint Zabyan

            Dari lima belas perempuan tersebut, hanya sebelas orang yang pernah menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Hal ini karena Sayyidah Khadijah, yang wafat terlebih dahulu, tidak dibahas dalam konteks poligami Nabi SAW. Oleh karena itu, jumlah istri Nabi SAW yang tersisa adalah sebelas orang. Tiga nama terakhir dari istri Nabi SAW (urutan ke-13, 14, dan 15) diceraikan sesuai dengan tuntunan syariat dan tidak disebut sebagai Ummahat al-Mu'minin.

            Dengan mempertimbangkan peran kenabian yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW, terdapat dugaan yang kuat bahkan dapat dipastikan bahwa Maria bukanlah seorang budak, melainkan istri yang telah dimerdekakan dengan status yang sama dengan istri-istri Nabi SAW yang lain. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Maria adalah istri Nabi SAW adalah kelahiran seorang bayi laki-laki bernama Ibrahim bin Muhammad SAW dari rahimnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Maria al-Qibti adalah istri sah Nabi Muhammad SAW yang memiliki status Ummahat al-Mu'minin seperti istri-istri yang lainnya.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kedua : Saudah Binti Zum'ah 

            Nama lengkap Saudah bint Zum'ah ibn 'Abd al-Syams ibn Abdud dari suku Quraisy Amiriyah. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki otak cemerlang dan pandangan luas. Adapun suami pertamanya adalah Sakran ibn 'Amr, termasuk orang pertama kali menerima hidayah ilahi. Sakran memeluk Islam bersama kelompok dari Bani Qais ibn 'Abd al-Syams. Pada tahun ke sepuluh masa kenabian, yang dikenal sebagai 'am al-huzn atau tahun kesedihan, dalam perjalanan dakwah dan penyebaran Islam, Nabi Muhammad SAW mengalami kehilangan dua sosok yang sangat dicintainya dan menjadi pelindung dalam mengembangkan agama Allah SWT, yaitu Abdul Muttalib dan Sayyidah Khadijah. Kehilangan keduanya membuat tahun tersebut dikenal sebagai 'am al-huzn. Dalam suasana berkabung, Nabi Muhammad SAW mempertimbangkan untuk kembali ke Taif dengan harapan dapat diterima dan dibantu oleh penduduknya dalam menjalankan misi dakwah. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah penolakan dan penganiayaan yang sangat tidak manusiawi terhadap beliau. Setelah mengalami serangkaian peristiwa tersebut, Allah SWT bermaksud untuk menghibur Nabi Muhammad SAW. Meskipun Nabi Muhammad SAW menikahi Saudah untuk melindunginya dari siksaan yang dialami oleh kaum Quraisy, termasuk keluarganya, serta untuk memuliakan kedudukannya, seiring berjalannya waktu, Saudah merasa bahwa dirinya menjadi beban bagi Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Saudah meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk tetap tinggal di rumahnya sendiri dan melepaskan diri dari hak dan kewajibannya sebagai istri Nabi Muhammad SAW.

Saudah merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk terus mendampingi Nabi Muhammad SAW. Namun, penting untuk dicatat bahwa permintaan Saudah tersebut tidak berarti bahwa ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Saudah masih ingin tetap menyandang status sebagai Istri Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menikahi Saudah binti Zum'ah atas alasan lain juga, yaitu untuk menyelamatkan hidupnya dari ancaman musuh-musuh yang bisa mengancamnya. Karena keluarganya masih memeluk agama musyrik dan kafir, Nabi Muhammad SAW khawatir bahwa jika Saudah kembali kepada keluarganya setelah wafatnya suaminya, Saudah akan menghadapi siksaan yang bisa menggoyahkan keyakinannya. Selain itu, dengan menikahi Saudah, Nabi Muhammad SAW juga ingin menciptakan lingkungan keluarga yang stabil dan memberikan panutan bagi anak-anaknya, sehingga Saudah juga berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak Nabi Muhammad SAW.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Ketiga : Aisyah Ibn Abu Bakar 

            Aisyah adalah anak dari Abu Bakr al-Siddiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling dekat. Ibunya, menurut beberapa pendapat, adalah Umm Ruman bint 'Amir ibn 'Uwaimir, meskipun ada yang berpendapat bahwa ibunya adalah Wa'id bint 'Amir ibn 'Uwaimir. Ia lahir sekitar tahun ke tujuh atau delapan sebelum Hijrah. Aisyah dikenal karena kecerdasannya yang luar biasa, kedalaman ilmunya, dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Dia sering digambarkan sebagai sumber pengetahuan yang luas, dan hafalannya kuat terhadap ajaran Islam dan hadis Nabi Muhammad SAW. Sebagai salah satu istri Nabi, Aisyah memainkan peran penting dalam menyampaikan dan menjaga tradisi Islam.

            Aisyah memainkan peran penting dalam mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, terutama dalam bidang fiqih yang berkaitan dengan perempuan, keluarga, dan hal-hal sensitif lainnya. Kehadirannya di rumah Nabi Muhammad SAW memberikan kontribusi besar dalam menyebarkan pengetahuan dan ajaran Islam. Banyak hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, seringkali oleh para sahabat yang lebih senior darinya, menunjukkan kepercayaan dan penghormatan terhadap pengetahuannya. Aisyah menjadi tempat bertanya dan mencari solusi atas berbagai permasalahan yang berkaitan dengan rumah tangga, terutama masalah-masalah yang bersifat privat atau hal-hal yang terjadi di dalam kamar, khususnya bagi kaum perempuan. Keterlibatannya dalam memberikan penjelasan dan panduan terhadap berbagai masalah ini memperkuat posisinya sebagai seorang figur yang disegani dan dihormati dalam masyarakat Muslim pada masa itu.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Keempat : Hafsah Binti Umar 

            Hafsah adalah salah satu dari generasi yang dilahirkan pada saat peristiwa bersejarah bagi umat manusia, terutama kaum Quraisy, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka'bah direnovasi akibat roboh karena banjir besar di wilayah tersebut. Kelahirannya bersamaan dengan kelahiran Fatimah al-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW. Hafsah memiliki nama lengkap Hafsah binti 'Umar ibn Khattab ibn Naf'al ibn 'Abd al-'Uzza ibn Riyah ibn 'Abdullah ibn Qurt ibn Rajah ibn 'Adi ibn Luay, berasal dari suku Arab Adawiyah. Ibunya bernama Zainab binti Ma'sum ibn Hubaib ibn Wahab ibn Huzaifah. Hafsah dibesarkan dalam naungan seorang sahabat yang mulia dan dihormati, yaitu ayahnya sendiri, 'Umar ibn Khattab. Pendidikan dan pengaruh dari ayahnya serta lingkungan yang religius membentuk karakter dan kepribadiannya sejak masa kecil.

            Hafsah tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang awalnya masuk Islam. Pada awal penyebaran agama Islam, ayahnya, Umar ibn Khattab, masih menjadi musuh kaum Muslimin. Namun, suatu hari, Allah SWT memberikan hidayah kepadanya melalui bantuan saudara perempuannya, Fatimah, dan suaminya, Sa'id ibn Zaid. Suami Hafsah adalah Khunais ibn Huzaifah al-Sahami, yang aktif sebagai mujahid dalam Perang Badar. Meskipun kaum Muslimin meraih kemenangan dalam pertempuran itu, Khunais terluka parah oleh sabetan pedang. Setelah pulang dari pertempuran, luka-luka tersebut sangat mengganggu, dan Hafsah, sebagai istri yang setia, selalu berada di sisi suaminya, merawatnya sebaik mungkin, dan mendoakannya dengan tekun. Meskipun Hafsah berharap dan berusaha sebaik mungkin, takdir Allah SWT berlainan, dan suaminya, Khunais, kembali ke hadirat Ilahi sebagai seorang syahid. Akibatnya, Hafsah menjadi janda pada usia yang masih sangat muda, 18 tahun. Kesedihan melanda Hafsah, namun dia berusaha untuk tetap tegar dan sabar menghadapi cobaan tersebut. Ayahnya, 'Umar, merasa prihatin melihat keadaan putrinya yang masih muda dan janda. Dia meminta Abu Bakr dan Usman untuk menikahi Hafsah, namun keduanya menolak.

Melihat penolakan tersebut, 'Umar merasa kecewa dan mengadukan masalahnya kepada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah memberikan jawaban yang menghibur, menyatakan bahwa orang yang akan menikahi Hafsah akan lebih baik daripada kedua sahabat mulia tersebut. Jawaban yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW membuat 'Umar memahami alasan penolakan yang dilakukan oleh kedua sahabatnya. Akhirnya, Nabi SAW menikahi Hafsah ketika dia berusia sekitar 20 atau 21 tahun, pada tahun ke-3 setelah hijrah. Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Hafsah bertujuan untuk menghilangkan kesedihan yang menimpanya, sebagai bentuk penghormatan kepada orang tuanya, dan yang terpenting adalah untuk memuliakan serta meningkatkan kedudukan kaum perempuan. Hal ini juga merupakan bentuk penghormatan khusus kepada para janda syuhada yang sangat terpukul oleh peristiwa yang menimpa mereka.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kelima : Zainab Binti Khuzaimah 

            Zainab binti Khuzaimah ibn Haris ibn 'Abdillah ibn 'Amr ibn 'Abd Manaf ibn Hilal ibn 'Amir ibn Sa'ah al-Hilaliyah, yang ibunya bernama Hind bint 'Auf ibn Haris ibn Hamatah. Dia lahir sekitar tiga belas tahun sebelum kenabian (13 SH). Zainab dibesarkan dalam keluarga yang terhormat dan dihormati, dan dia dikenal sebagai individu yang cerdas serta peduli terhadap masalah sosial di sekitarnya, terutama terhadap anak yatim dan orang miskin. Dia juga terkenal sebagai seorang wanita yang memiliki mobilitas sosial yang tinggi pada zamannya, melebihi banyak wanita lainnya.

            Salah satu pendapat yang paling diterima adalah bahwa suami pertama Zainab adalah Tufail ibn Haris ibn 'Abd al-Muttalib, yang kemudian menceraikannya karena dianggap mandul. Kemudian, 'Ubaidah ibn Haris, adik kandung Tufail, menjadi suaminya, tetapi ia wafat dalam perjalanan rumah tangganya. Setelah kematian 'Ubaidah, Nabi Muhammad SAW menikahinya sebagai tanda prihatin atas nasib yang menimpanya, yaitu sebagai seorang perempuan yang dikenal sejak kecil karena sifat baik dan kelembutan hatinya terhadap semua orang, terutama kaum miskin. Selain alasan yang telah disebutkan, pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zainab bint Khuzaimah juga bertujuan untuk memberikan motivasi, memajukan, dan memberikan peran kepada kaum perempuan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, terutama di tengah masyarakat yang dipenuhi oleh pandangan patriarki yang meremehkan peran kaum perempuan, memandang mereka hanya sebagai pelengkap hidup tanpa nilai yang penting, bahkan kelahirannya sering dianggap sebagai aib bagi keluarga. Zainab bint Khuzaimah, yang disebut sebagai umm al-masakin (ibu kaum miskin), adalah seorang yang terhormat di kalangan Quraisy, yang selalu memberikan perhatian kepada anak yatim dan orang miskin.

Jika pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Zainab bint Khuzaimah dilihat dari konteks saat ini, tujuannya sebenarnya sejalan dengan upaya emansipasi wanita (gender) seperti yang ditekankan oleh sebagian kalangan dewasa saat ini. Konsep emansipasi wanita sudah ada sejak awal perkembangan Islam, yang memberikan kehidupan yang lebih baik kepada kaum perempuan, membebaskan mereka dari perbudakan, serta memberikan kesempatan untuk berkembang dan berkreasi sesuai dengan fungsi dan kemampuan mereka sebagai perempuan.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Keenam : Zainab Binti Jahsy

            Zainab lahir di Mekah dua puluh tahun sebelum kenabian (21 SH). Ayahnya, Jahsy ibn Ri'ab, adalah seorang pembesar Quraisy yang dermawan dan memiliki akhlak mulia. Dalam lingkungan keluarga yang terhormat, Zainab tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, namanya adalah Barrah, namun setelah menikah, namanya diganti menjadi Zainab. Nama lengkapnya adalah Zainab bint Jahsy ibn Ri'ab ibn Ya'mar ibn Sarah ibn Murrah ibn Kabir ibn Gham ibn Dauran ibn Asad ibn Khuzaimah. Zainab awalnya menolak untuk menikahi Zaid setelah pernikahan pertamanya yang bahagia dengan dia. Namun, instruksi dari Nabi Muhammad, yang dianggap sebagai wahyu dari Tuhan, membuatnya mempertimbangkan kembali. Zainab akhirnya setuju untuk menikahi Zaid sebagai bentuk patuh terhadap petunjuk Tuhan, meskipun awalnya menentangnya. Pernikahan ini disampaikan kepada masyarakat sebagai pesan bahwa di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan antara individu berdasarkan latar belakang atau status sosial mereka, yang penting adalah takwa kepada-Nya.

            Setelah beberapa waktu bersama, Zaid dan Zainab menyadari ketidakcocokan di antara mereka yang tidak dapat mereka atasi, sehingga mereka memutuskan untuk berpisah secara damai. Beberapa waktu setelah perpisahan mereka, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menikahi Zainab, sebagai bagian dari pembatalan praktik yang berlaku di zaman Jahiliyah yang memperlakukan anak adopsi sebagaimana anak kandung dalam semua hal. Islam menganggap anak adopsi berbeda dari anak kandung, karena mereka tidak memiliki hubungan darah atau nasab yang sama. Oleh karena itu, warisan dan pernikahan antara mereka tidak diperbolehkan. Tindakan Nabi Muhammad menikahi Zainab, yang sebelumnya telah menikah dengan Zaid, menegaskan bahwa dalam Islam, hukum melarang seorang ayah (biologis) untuk menikahi mantan istri anaknya, karena mantan istri anak dianggap sebagai bagian dari keluarga dengan ikatan pernikahan yang sama.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Ketujuh : Umm Salamah

            Umm Salamah lahir pada tahun kedua puluh empat sebelum dimulainya kenabian Nabi Muhammad (24 Sebelum Hijriah). Dia dibesarkan dalam lingkungan bangsawan suku Quraisy, dengan ayahnya bernama Suhail ibn Mugirah ibn Makhzum. Suhail terkenal sebagai orang yang dermawan dan sering menerima tamu serta musafir dengan baik. Salamah menikah pertama kali dengan Abdullah ibn Abd al-Asad, yang dikenal dengan nama Abu Salamah. Abdullah merupakan seorang pemberani, ahli berkuda yang ulung, dan dihormati sebagai salah satu tokoh utama suku Quraisy. Beberapa waktu kemudian, Nabi Muhammad mendengar bahwa Bani Asad berencana menyerang umat Muslim. Sebagai tindakan pencegahan, Nabi memilih kembali Abu Salamah sebagai komandan untuk menghadapi serangan tersebut. Dengan kepemimpinan Abu Salamah, pasukan Muslim berhasil meraih kemenangan gemilang dan mengalahkan Bani Asad.

            Alasan Nabi menikahi Umm Salamah adalah untuk membantu dan meningkatkan nasib seorang janda yang lemah dan memiliki banyak anak kecil, serta untuk mencegahnya terjerumus dalam kemiskinan. Selain itu, pernikahan ini dimaksudkan untuk memberikan tempat tinggal yang aman bagi Umm Salamah dan agar ia tidak merasa sendirian setelah kepergian suaminya yang gugur dalam perang Uhud. Nabi juga menganggap sebagai tanggung jawabnya untuk menanggung penderitaan semua keluarga para syahid.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kedelapan : Ramlah Binti Abu Sufyan

            Ramlah Binti Abu Sufyan atau lebih dikenal sebagai Umm Habibah, yang memiliki latar belakang sebagai anggota terhormat suku Quraisy, memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakatnya. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kedudukan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh penting di suku Quraisy. Namun, ketika Nabi Muhammad menikahinya, pernikahan itu tidak hanya berdampak pada hubungan peribadi mereka, tetapi juga memiliki implikasi politis yang besar. Nabi Muhammad berhasil melunakkan hati Abu Sufyan, ayah Umm Habibah, yang sebelumnya keras menentang ajaran Nabi. Pernikahan ini tidak hanya membuat Abu Sufyan memeluk Islam, tetapi juga menginspirasi orang-orang di sekitarnya, bahkan memimpin mereka dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam. Dengan demikian, pernikahan ini tidak hanya merupakan keberhasilan politik dalam menyebarkan pesan tauhid di seluruh dunia, tetapi juga mencerminkan tujuan spiritual yang mendasari pernikahan dalam Islam, yaitu atas dasar keimanan kepada Allah dan kasih sayang kepada sesama manusia.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kesembilan : Juwairiyah Binti Al-Haris

            Juwairiyah lahir empat belas tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Namanya semula adalah Burrah, tetapi kemudian Nabi mengubahnya menjadi Juwairiyah. Juwairiyah memiliki nama lengkap Juwairiah bint al-Haris ibn Abi Dirar ibn Habib ibn 'Aid ibn Malik ibn Juzaimah ibn Mustaliq ibn Khuza'ah. Ayahnya adalah al-Haris ibn Abi Dirar, seorang pemimpin dari suku Bani Mustaliq yang beragama berhala. Juwairiyah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang masih memeluk agama musyrik. Ketika mendapat kabar tentang kekalahan kaum Quraisy dalam pertempuran melawan umat Muslim, mereka berencana untuk menyerang umat Muslim dengan harapan merebut kembali wilayah yang telah lama dikuasai oleh kaum Quraisy dan saat itu dikuasai oleh umat Islam. Namun, sebelum mereka dapat melaksanakan rencana itu, Nabi Muhammad dan kaum Muslim telah mendengar kabar tersebut dan melancarkan serangan terlebih dahulu, menyebabkan keadaan menjadi kacau balau. Ayah Juwairiyah, al-Haris, melarikan diri, sementara suaminya meninggal dalam pertempuran tersebut.

            Dalam insiden tersebut, Juwairiyah, yang pada awalnya ditahan oleh seorang lelaki bernama Sabit bin Qais dari suku Bani Mustaliq, menghadap kepada Nabi Muhammad untuk mengonfirmasi perjanjian pembebasannya serta membicarakan tarif yang ditetapkan oleh Sabit untuk pembebasannya, yaitu sembilan keping emas.Nabi Muhammad kemudian menebus Juwairiyah dari Sabit dengan membayar jumlah yang telah ditetapkan. Setelah itu, beliau memberikan pilihan kepada Juwairiyah, yaitu untuk memeluk agama Islam dan menikahinya atau untuk kembali ke suku asalnya. Juwairiyah memilih untuk memeluk Islam dan hidup bersama Nabi Muhammad sebagai istri. Tindakan pembebasan Juwairiyah oleh Nabi Muhammad menginspirasi semua sahabat yang memiliki budak dari suku Bani Mustaliq untuk secara spontan memerdekakan mereka, sebagai bentuk kegembiraan dan penghargaan terhadap tindakan beliau serta sebagai contoh kebaikan dan keadilan yang harus diikuti.

            Dalam konteks ini, pernikahan Nabi Muhammad dengan Juwairiyah memiliki tujuan yang lebih luas daripada sekadar pernikahan biasa. Tujuan dari pernikahan tersebut adalah untuk menyebarkan dakwah Islam serta menghapus praktik perbudakan dan penindasan manusia. Pada saat itu, Juwairiyah dan kaumnya telah kalah dalam peperangan dengan kaum Muslimin, sehingga mereka menjadi tawanan perang yang berpotensi menjadi budak atau diusir dari tempat tinggal mereka. Nabi Muhammad menikahi Juwairiyah sebagai langkah untuk melindungi dirinya dan kaumnya dari penindasan dan siksaan yang mungkin terjadi, terutama dalam konteks perbudakan. Setelah Juwairiyah memeluk Islam dan menikah dengan Nabi Muhammad , semua anggota kaumnya dimerdekakan dan secara sukarela mengikuti ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan tersebut tidak hanya menyelamatkan Juwairiyah secara individual, tetapi juga membawa pembebasan bagi seluruh kaumnya serta membawa mereka kepada jalan kebenaran dan kebebasan.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kesepuluh : Safiyyah Binti Huyay
            Safiyyah, yang lahir sebelas tahun sebelum Hijrah atau sekitar dua tahun setelah masa kenabian, memiliki nama lengkap Safiyyah bint Huyay ibn Akhtab ibn Sa'yah ibn 'Amir ibn 'Ubaid ibn Ka'ab ibn al-Khazraj ibn Habib ibn Nadir ibn al-Kham ibn Yakhum. Dia adalah keturunan dari Harun ibn 'Imran. Ayahnya adalah pemimpin suku Bani Nadir, sementara ibunya bernama Barrah bint Samaual dari Bani Quraidah. Sejak kecil, Safiyyah memiliki ketertarikan yang besar pada ilmu pengetahuan. Dia rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Safiyyah juga gemar membaca kitab Taurat, dan dari pembacaannya, dia menemukan prediksi tentang kedatangan seorang nabi dari Jazirah Arab sebagai penutup semua nabi.

            Beberapa waktu kemudian, pada bulan Muharram, terjadi pertempuran antara kaum Muslimin dengan Yahudi Bani Quraidah. Bani Quraidah dan Bani Nadir dianggap sebagai golongan penghianat dan munafik, hal ini disaksikan dan diutarakan langsung oleh Safiyyah karena ia menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan oleh ayah dan kaumnya terhadap perjanjian dengan kaum Muslimin. Perang terjadi karena pengkhianatan terhadap perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Bani Quraidah, serta persiapan mereka untuk menyerang kaum Muslimin. Pertempuran berlangsung selama beberapa hari dan dimenangkan oleh umat Islam. Semua benteng pertahanan yang telah dibangun hancur, dan banyak yang gugur dalam pertempuran, termasuk suami Safiyyah. Oleh karena itu, harta mereka menjadi rampasan perang dan kaum wanitanya menjadi tahanan perang, termasuk Safiyyah. Setelah Bani Quraidah ditaklukkan, Bilal membawa Safiyyah dan sepupunya untuk menghadap Nabi Muhammad , melewati mayat-mayat yang bergelimpangan, termasuk mayat suaminya. Nabi Muhammad melihat kesedihan di wajah keduanya. Namun, Safiyyah tetap diam dan sabar dalam kesedihannya, sementara sepupunya meronta-ronta seolah tidak menerima semua yang dialami.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kesebelas : Maria Al-Qibti
            Maria bint Syama'un lahir di daerah dataran tinggi Mesir yang dikenal sebagai Hafn. Dia berasal dari suku Qibti. Ketika dia dan saudara perempuannya dewasa, mereka dipekerjakan oleh Raja Muqauqis, penguasa di Alexandria dan Mesir. Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad SAW mengirim surat melalui Hatib ibn Balta'ah kepadanya, mengundangnya untuk memeluk agama Islam. Namun, Raja Muqauqis menolak dengan cara yang sopan dan bijaksana. Sebagai gantinya, dia mengirim beberapa hadiah kerajinan tangan dan budak kepada Nabi Muhammad SAW, termasuk Maria. Ketika dalam perjalanan dari Mesir ke Madinah, Hatib melihat kesedihan para budak yang dikirim oleh Raja Mesir sebagai hadiah kepada Nabi Muhammad SAW. Hatib berusaha menghibur mereka dengan menceritakan tentang Islam dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Dia kemudian mengajak mereka untuk memeluk Islam, dan mereka menerimanya dengan senang hati. Sebelum para hadiah itu sampai di Madinah, penolakan Raja Mesir telah diketahui oleh Nabi Muhammad SAW.

            Kehidupan awal Maria di Madinah diwarnai oleh kesedihan, perasaan asing, dan merasa terpinggirkan dalam masyarakat. Dia merasa tidak memiliki kenalan dan masih dianggap sebagai seorang budak biasa. Namun, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk menikahinya untuk meningkatkan statusnya dan menghapus kesedihan serta perasaan keterasingannya di tengah-tengah masyarakat Madinah.mPernikahan Maria dengan Nabi Muhammad SAW membawa sebuah amanah, yaitu seorang anak laki-laki. Namun, anak tersebut meninggal dunia pada usia sekitar sembilan belas bulan karena sakit. Ada perdebatan tentang status Maria, apakah dia istri atau budak (selir) Nabi Muhammad SAW. Banyak yang berpendapat bahwa Maria adalah budak, namun penulis tidak setuju dengan pandangan ini karena bertentangan dengan ajaran kenabian dan keilahian yang menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan.

Maria adalah istri Nabi Muhammad SAW, bukan budak atau selir. Dia termasuk dalam Ummahat al-Mu'minin, bahkan memiliki kedudukan yang lebih mulia karena dipercayakan oleh Allah SWT untuk melahirkan seorang anak dari Nabi Muhammad SAW. Salah satu alasan Nabi Muhammad SAW menikahi Maria adalah untuk menghapus perbudakan dan membuktikan bahwa di hadapan Allah, tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal kebaikan. Pernikahan ini juga bertujuan untuk menegaskan bahwa Islam tidak memandang status, suku, ras, atau bangsa. Ini dibuktikan dengan pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Maria, yang kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim bin Muhammad SAW.

Rumah Tangga Monogamis 

Isteri Kedua belas : Maimunah Binti Al-Haris

            Maimunah, yang nama aslinya adalah Barrah bint al-Haris, adalah istri Nabi Muhammad . Dia dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian. Nama lengkapnya adalah Barrah bint al-Haris ibn Hazm ibn Bujair ibn Hazm ibn Rabi'ah ibn 'Abdillah ibn Hilal ibn 'Amir ibn Sa'sa'ah, dan Ibunya bernama Hindun bint 'Aus ibn Zubai ibn Haris ibn Hamatah ibn Jarsy. Setelah menikah dengan Nabi Muhammad , nama Barrah diganti menjadi Maimunah. Maimunah adalah salah satu dari istri-istri terakhir Nabi Muhammad dan dia juga dikenal karena kebaikan dan kedermawaannya. Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad , terdapat berbagai versi mengenai suami Maimunah. Beberapa versi menyatakan bahwa Maimunah hanya menikah satu kali, sementara yang lain mengatakan bahwa dia telah menikah dua kali. Begitu juga mengenai perpisahannya dengan suaminya, ada yang mengatakan bahwa suaminya meninggal, sementara versi lain menyatakan bahwa keduanya bercerai.

Setelah berpisah dengan suaminya, Maimunah merasa terlepas dari kungkungan kemusyrikan. Dia kemudian dengan sukarela menyatakan keislamannya kepada Nabi Muhammad . Setelah memeluk Islam, dia mengungkapkan niatnya kepada saudaranya, Umm Fadl, untuk menyerahkan dirinya kepada Nabi Muhammad . Pesan ini kemudian disampaikan oleh saudaranya kepada Abbas ibn Abd al-Muttalib, suami Umm Fadl, dan Abbas meneruskannya kepada Nabi Muhammad . Nabi pun menyetujui niat baik Maimunah untuk menikahinya. Pernikahan Maimunah dengan Nabi Muhammad dilakukan atas dasar untuk memenuhi keinginan Maimunah dan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dalam menjalankan syariat-Nya. Pernikahan ini juga dimaksudkan sebagai pembelajaran praktis bagi umat, sesuai dengan yang disebutkan dalam Surah Al-Ahzab (33:50).

Alasan Poligami Nabi SAW

            Alasan di balik praktik poligami Nabi Muhammad bisa dipahami dengan merujuk pada alasan beliau mempersunting beberapa perempuan setelah wafatnya Sayyidah Khadijah, sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya. Menurut Muhammad Rasyid Rida, terdapat tiga alasan utama di balik praktik poligami Nabi Muhammad . Pertama, alasan sosial dan kemanusiaan, yang meliputi kebutuhan untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada perempuan yang menjadi janda atau tidak memiliki pelindung. Kedua, alasan pendidikan dan pembelajaran, di mana poligami bisa menjadi contoh praktek bagi umat Islam tentang bagaimana memperlakukan istri-istri dengan adil dan merata. Ketiga, alasan politis, yang bisa termasuk dalam menjalin atau memperkuat hubungan dengan suku-suku atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat pada saat itu.

Beberapa poin yang menjadi alasan Nabi SAW melakukan poligami ialah sebagai berikut :

  • Sosial dan Kemanusian
  • Pendidikan
  • Politik
  • Sebagai Landasan atau Penentapan Hukum

Poligami Masa Kini 

            Poligami dapat dipahami melalui dua pendekatan, yaitu melalui penelitian langsung atau melalui telaah terhadap penelitian yang telah ada, serta mengamati situasi dan kondisi keluarga yang menjalankan praktik poligami. Dalam tulisan ini, lebih banyak merujuk pada penelitian yang sudah ada, meskipun kadang-kadang menggunakan pengamatan atau interaksi langsung dengan keluarga yang menerapkan poligami.

  • Gambaran Poligami Masa Kini 

Topik poligami memiliki beragam sumber pembahasan, termasuk buku, jurnal, dan penelitian dengan judul-judul yang bervariasi. Buku ini secara terbatas menyoroti penelitian terbaru yang didukung oleh pengamatan tentang rumah tangga monogamis. Menurut Zulkakrnain, praktik poligami yang terjadi di masyarakat Riau dianggap menyimpang dari tujuan pernikahan. Poligami tersebut menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan, dengan istri-istri saling cemburu dan menyebabkan kekacauan yang tak berujung dalam rumah tangga. Sementara itu, Abdillah Mustari berpendapat bahwa praktik poligami dapat menyebabkan kegaduhan dalam masyarakat, bahkan dapat menciptakan sekat antar masyarakat karena perbedaan pemahaman, terutama jika pelaku poligami merupakan idola atau publik figur.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Yulianti dan rekan-rekannya konsisten dengan penelitian dua peneliti sebelumnya. Mereka menemukan bahwa keluarga yang menerapkan poligami memiliki risiko yang sangat tinggi. Suami yang memiliki lebih dari satu istri cenderung tidak adil terhadap istri pertamanya dalam berbagai aspek, sehingga menyebabkan penderitaan secara fisik dan mental terutama pada anak-anak yang lahir dan besar dalam poligami ketika mereka mencapai usia lima tahun atau lebih. Dari sudut pandang pengamatan, terlihat adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga poligamis pada pandangan pertama. Hal ini terbukti dengan ketidakakuran antara istri pertama, kedua, dan seterusnya. Tekanan psikologis muncul, bersama dengan prasangka buruk di antara mereka, meskipun terdapat rumah tangga poligamis di mana semua istri terlihat akur. Namun, pengamatan ini tidak dapat dijadikan sebagai patokan utama karena tingkat validitasnya masih di bawah standar yang diinginkan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian dan pengamatan lebih lanjut untuk menyajikan data yang lebih valid.

  • Syarat Diperbolehkan Poligami 
  • Sebagian besar literatur mengharuskan adanya keadilan sebagai prasyarat utama dalam praktik poligami. Namun, jika kita mengkaji secara seksama teks agama, akan ditemukan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh ketiga belah pihak: suami, istri pertama, dan istri-istri selanjutnya. Berikut poin yang menjadi syarat diperbolehkannya poligami :
  • Berilmu
  • Sehat
  • Mapan
  • Adil
  • Plus dan Minus Poligami 
  • Seperti halnya dalam praktik poligami, terdapat dua sisi yang berbeda. Jika praktik tersebut dilakukan oleh individu yang memenuhi syarat dan dalam situasi yang memungkinkan, maka dapat membawa manfaat. Namun, jika praktik tersebut dijalankan oleh individu yang tidak memenuhi syarat, akan membawa berbagai masalah dan bahkan dapat mencapai tingkat kezaliman.
  • Manfaat

Secara umum, terdapat beberapa manfaat poligami dari sudut pandang sosiologis, antara lain:

  • a) Memberikan kesempatan bagi suami yang subur untuk memiliki keturunan meskipun istri pertamanya mandul.
  • b) Mempertahankan keutuhan rumah tangga tanpa perlu bercerai, bahkan jika istri tidak mampu menjalankan perannya secara sempurna.
  • c) Mencegah suami dari perilaku hiperseksual dan masalah moral lainnya seperti perselingkuhan dan seks bebas.
  • d) Memberikan perlindungan bagi wanita yang kurang beruntung, terutama di daerah konflik seperti Irak dan negara-negara lain di mana kekurangan pria dapat terjadi.

  • Mudarat
  • Secara umum, terdapat beberapa dampak negatif yang disebabkan oleh poligami, meskipun hal serupa juga dapat terjadi dalam keluarga monogamis. Dampak-dampak tersebut antara lain adalah adanya rasa cemburu antara istri, terutama dari istri pertama terhadap istri yang lebih muda, ketidakadilan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, bahkan bisa sampai pada tingkat kezaliman di antara mereka, termasuk terhadap diri para suami poligamis sendiri.

  • Oleh karena itu, penting untuk berpikir secara matang sebelum memutuskan untuk menjalani poligami agar dapat mencegah terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan. Namun, jika seseorang memilih untuk melakukan poligami, harus memastikan untuk memenuhi semua syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan.[1] 

 

Conclusion

 

            Melakukan poligami bukanlah tentang keegoisan atau sekadar memenuhi nafsu semata, begitu juga jika disebut sebagai mengikuti sunnah. Oleh karena itu, semoga tulisan ini bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang memutuskan untuk berpoligami atas dasar mengikuti sunnah, maka seharusnya dia memperhatikan semua aspek yang terkait dengan praktik poligami yang dilakukan oleh Nabi SAW, dari awal hingga akhir. Beberapa orang berpendapat bahwa jika seseorang ingin melakukan poligami, dia harus mengikuti contoh yang diberikan oleh Nabi SAW.

 

            Jika alasan di balik poligami sejalan dengan prinsip-prinsip yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka ada kemungkinan bagi seseorang untuk diberi kesempatan, terutama jika itu berhubungan dengan aspek kemanusiaan dan pendidikan. Ini berarti bahwa pernikahan kedua atau selanjutnya dapat dimaksudkan untuk membebaskan perempuan dari beban ekonomi dan kebodohan, sehingga mereka dapat lebih mudah mencapai tujuan agama dan negara dengan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan tingkat pendidikan. Namun, jika salah satu dari aspek tersebut tidak terpenuhi, maka pada dasarnya tindakan tersebut hanya akan menimbulkan masalah bagi individu, keluarga, dan masyarakat, serta melanggar nilai-nilai bangsa dan agama.

 

Bibliography

 

Mutakabbir, Abdul. Menapak Jejak Poligami Nabi Saw, 2019.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun