Mohon tunggu...
Julianda Boangmanalu
Julianda Boangmanalu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk memahami dan suka pada literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

My Mother Is a Wonder Woman

16 November 2020   15:47 Diperbarui: 16 November 2020   16:14 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang sewaktu Bapak dalam kondisi sangat parah dan harus segera dibawa berobat ke Pak Mantri, jangankan rumah sakit, Puskesmas saja waktu itu tidak ada, Ibu harus berusaha mencoba meminjam uang ke Saudara, ke tetangga ataupun kepada siapa saja yang mungkin berbaik hati untuk membantu. Namun, lagi-lagi Ibu harus berlapang dada karena tak satupun yang mau membantu. Padahal, kondisi Bapak sungguh sangat parah sekali. Sehingga Ibu panik, tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Ia hanya bisa pasrah dan meminta pertolongan Allah sang Maha Kaya.

Menjelang waktu Zuhur tiba, Ibu bergegas akan pergi ke Kamar Mandi umum yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah untuk membersihkan diri dan sembari membawa air bersih untuk kebutuhan masak. Saat itu, ketersediaan air memang sangat sulit karena kemarau panjang.

Menuju pulang ke rumah, di tengah perjalanan tiba-tiba saja Ibu menemukan sebuah anting emas sekitar 1 gram. Awalnya Ia tidak menyangka bahwa itu adalah emas, tapi karena penasaran Ibu mengambilnya dan memastikannya, ternyata memang emas.

Hati Ibu berkecamuk antara senang dan cemas. Senang karena dengan menjualnya bisa saja membantu membiayai pengobatan Bapak. Cemas karena Ibu masih ragu, bila saja orang yang kehilangan anting tersebut masih mencari-carinya.

Lama Ibu menimang-nimangkannya. Sembari melangkah pulang, batin Ibu bergejolak. Apa yang harus Ia lakukan. Apakah menjualnya atau menunggu sampai ada orang yang barangkali mencari dan menanyakan padanya. Akhirnya, Ibu menunggu sampai tiga hari. "Bila tidak ada orang yang mencari dalam tiga hari ini, maka ia akan menjualnya", begitu suara hati Ibu.

Tiga hari berlalu, tidak ada yang mencari dan menanyakannya, akhirnya Ibu menjualnya dan uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk biaya pengobatan Bapak. Ibu masih bingung saat itu, apakah halal ataukah tidak uang hasil penjualan anting tersebut.

****
Setelah sembuh, Bapak mulai mencari cara untuk bisa menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan keluarga. Bapak mencoba menjadi tengkulak dengan modal yang dipinjam dari rentenir. Terpaksa Ia lakukan karena mengharap untung dari penjualan Cabe Rawit dan Biji Kopi. Walau sedikit namun Bapak tetap optimis bisa mengumpulkan sedikit rupiah untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

Ibu juga tidak tinggal diam, Ia mulai menanam padi darat dari tanah yang ia pinjam dari pemiliknya yang sudah lama telantar. Untung saja pemilik tanah tidak memungut sewa atas tanah tersebut, mungkin Ia berpikir bahwa dengan dipinjamkannya tanah tersebut ke Ibu tentu saja tanah miliknya akan bersih dan tidak menjadi semak belukar.

Ibu bekerja sendiri, hanya pada saat pembukaan lahan itu saja dibantu oleh Bapak karena cukup berat dilakukan sendiri. Mulai dari menanam, merawat, sampai memanen Ibu sendiri yang bekerja, kami hanya bisa membantu saat sekolah lagi libur. Sedangkan Bapak juga sibuk dengan usahanya sendiri. Ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaan yang Ia lakoni saat ini. Wajah semangat yang selalu Ia tampakkan pada kami anak-anaknya.

Bertahun-tahun kondisi ini dilalui, sampai akhirnya aku menamatkan pendidikan SMA dan akan melanjutkan kuliah. Awalnya, aku ragu untuk kuliah dengan keterbatasan kondisi perekonomian keluarga kami. Namun, tekadku untuk bisa merubah nasib agar aku setidaknya bisa meningkat sedikit dibandingkan keadaan keluarga kami saat ini. Kami yang sudah 7 bersaudara, hanya aku yang bisa kuliah. Sedangkan kakak-kakak ku tidak mau untuk kuliah dengan alasa keterbatasan biaya tentunya. Ketiga adikku juga masih kecik-kecil dan masih duduk di bangku Sekolah SMA, SMP, dan SD.

Perjuangan Ibu untuk bisa menabung dan membantu biaya kuliahku juga sangat berat. Metode bertanam padi darat yang Ia lakoni selama ini masih menggunakan sistem berpindah-pindah, dari satu pemilik lahan ke pemilik lahan lainnya. Karena selama ini semua lahan yang diusahakan dari hasil meminjam dari pemilik lahan yang berbaik hati mau membantu kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun