Namun dalam proses pembelajaran, masih terdapat hambatan-hambatan yang sekaligus menjadi tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran online, mengingat pembelajaran secara online merupakan sebuah keharusan agar fungsi pendidikan tetap terselenggara ditengah darurat Covid-19 saat ini. Banyak sekali keluhan yang dirasakan guru, siswa, maupun orangtua dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh baik dari terbatasnya ketersediaan sarana pendukung media pembelajaran, kemampuan pengoperasikan maupun keterbatasan jaringan internet dibeberapa daerah, hingga penerapan kurikulum darurat yang dianggap kurang tegas dan membingungkan guru maupun siswa.
Dalam pendekatan neo-Marxist yang merupakan perspektif yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx, menganggap bahwa kurikulum memiliki kontribusi menciptakan ketimpangan sosial dalam masyarakat kapitalis. Pada saat itu Marx membagi masyarakat kedalam dua kelas, yaitu kelas borjuis (kepemilikan modal) dan kelas proletar (kaum buruh). Kurikulum dan segala hal yang terkait dengan pendidikan merupakan mekanisme untuk menciptakan reproduksi kelas sosial yang timpang. Hal ini dapat kita lihat pada hambatan-hambatan yang terdapat pada kebijakan pembelajaran jarak jauh yang dianggap merugikan masyarakat, terutama pada masyarakat miskin dan daerah tertinggal yang tidak memiliki gadget maupun jaringan yang baik dalam mendukung proses pembelajaran. Hal ini mengakibatkan peserta didik dapat ketinggalan pelajaran atau bahkan tidak menerima pelajaran dengan baik. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan ketimpangan sosial diantara peserta didik yang mampu dengan yang tidak mampu maupun pada daerah yang maju dan daerah yang masih tertinggal.
Teori lain lahir dari gagasan Pierre Bourdieu yaitu teori reproduksi (the reproduction theory), yang menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern sistem pendidikan digunakan hanya untuk “mereproduksi” budaya kelas dominan untuk terus memegang dan melepaskan kekuasaan. Dalam proses pembelajaran jarak jauh, peserta didik dengan tingkat ekonomi yang terbilang cukup baik dapat menerima pelajaran dengan baik pula. Mereka memiliki fasilitas seperti gadget dan internet yang memadai dalam menunjang proses pembelajarannya. Berbeda dengan peserta didik yang miskin, tidak banyak dari mereka yang memiliki gadget dan banyak dari mereka harus bekerja untuk dapat membeli kuota internet. Dengan begitu barulah mereka bisa mengikuti pelajaran secara online.
Marx pada saat itu meramalkan terciptanya masyarakat tanpa kelas. Hal ini tentunya menuai kritik oleh banyak ilmuan sosial, salah satunya adalah Max Weber. Menurut Weber, kelas ditandai oleh beberapa hal. Pertama, kelas merupakan sejumlah orang yang memiliki persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances), dimana peluang untuk hidup tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, maka orang yang berada dikelas yang sama mempunyai persamaan yang dinamakan Weber sebagai situasi kelas (class situation). Menurut Weber (dalam Pengantar Sosiologi, 1993:91), kategori dasar untuk membedakan kelas adalah kekayaan yang dimiliki dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi. Oleh karena itu, di dalam sekolah juga tercipta dan tidak terlepas dari adanya kelas-kelas sosial diantara murid yang kaya dengan murid yang miskin.
Kedua, menurut Weber untuk membedakan anggota masyarakat dapat melalui dimensi kehormatan. Menurut weber, manusia dapat dikelompokkan kedalam kelompok status (status groups), yang peluang hidup atau nasibnya ditentukan oleh ukuran kehormatan tertentu. Misalnya disekolah, terdapat pembedaan antara peserta didik yang berasal dari kalangan bangsawan dengan peserta didik yang berasal dari rakyat biasa. Melalui hal ini dapat kita ketahui bahwa sistem pendidikan juga turut berkontribusi dalam mereproduksi kelas sosial dan menimbulkan ketimpangan sosial didalam masyarakat.
Dunia pendidikan saat ini juga tidak terlepas dari bantuan teknologi. Saat ini pandemi merupakan sebuah tantangan dalam mengembangkan kreativitas dalam menggunakan teknologi, mentransmisi pengetahuan dan digunakan untuk menyampaikan pembelajaran dengan baik. Tantangan ini juga merupakan sebuah kesempatan bagi peserta didik menjadi kompeten dalam abad ke-21 ini, dimana pada abad ini keterampilan yang paling penting adalah self-directed learning atau pembelajaran mandiri sebagai outcome dari edukasi.
Pembelajaran jarak jauh merupakan sebuah tantangan dalam dunia pendidikan dengan banyaknya bahkan ribuan pulau yang ada di Indonesia. Terlebih dimasa pandemi ini, tantangan pemerintah dan masyarakat saat ini adalah bagaimana teknologi dapat digunakan dan bagaimana akses internet dapat sampai pada daerah-daerah terpencil. Melalui perhatian pemerintah terhadap hambatan dan tantangan pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi ini, setiap warga negara dapat setara dalam menerima pendidikan dan melalui pendidikan masyarakat bisa melakukan mobilitas sosial, terutama pada kalangan masyarakat miskin.
Kesimpulan
Pandemi Covid-19 memaksa rakyat Indonesia mengalami banyak perubahan, terutama dalam dunia pendidikan. Sejumlah aturan dan kebijakan ditetapkan oleh pemerintah dalam sektor pendidikan. Pendidikan di Indonesia yang dulunya melakukan proses belajar mengajar secara tatap muka, sekarang harus melakukan penyesuaian dengan beralih pada pembelajaran jarak jauh (PJJ). Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan kurikulum darurat yang bertujuan untuk menyederhanakan kompetensi dasar selama pembelajaran jarak jauh.
Menurut teori Neo-Marxist yang merupakan aliran yang didasarkan oleh pemikiran Marx, beranggapan bahwa sistem pendidikan dan kurikulum ternyata menciptakan ketimpangan sosial didalam masyarakat. Dimana terdapat ketidakseimbangan antara peserta didik yang berasal dari daerah yang maju dengan peserta didik yang berasal dari daerah tertinggal. Hal ini sesuai dengan pendapat Pierre Bourdieu dalam teorinya yaitu teori reproduksi (the reproduction theory), yang menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern sistem pendidikan digunakan hanya untuk “mereproduksi” budaya kelas dominan untuk terus memegang dan melepaskan kekuasaan. Dimana dalam hal ini sekolah nyatanya menciptakan kelas-kelas sosial antara peserta didik yang berasal dari kalangan bangsawan dengan peserta didik yang berasal dari kalangan masyarakat biasa. Ramalan Marx yang mengenai masyarakat tanpa kelas banyak menuai kritik oleh berbagai ilmuan sosial, salah satunya Max weber. Menurut Weber kelas terbentuk berdasarkan kesamaan peluang hidup atau nasib, dimana hal ini terjadi melalui situasi kelas dan juga dimensi kehormatan.
Dalam proses pembelajaran jarak jauh tentunya tidak terlepas dari yang namanya teknologi. Melalui pemanfaatan teknologi terlebih dimasa pandemi ini menjadi sebuah tantangan dalam mengembangkan kreativitas dalam menggunakan teknologi, mentransmisi pengetahuan dan digunakan untuk menyampaikan pembelajaran dengan baik. Tantangan ini juga merupakan sebuah kesempatan bagi peserta didik menjadi kompeten dalam abad ke-21 ini.