Coret-coretan bab 10
Lelaki itu sedang melakukan semuanya—mengolesi tanganku dengan salep obat luka bakar dan membalutnya dengan kain kasa. Setelah selesai, ia pergi ke dapur dan membereskan cangkir dan tumpahan kopi yang meluap ke lantai. Aku masih belum pulih dari rasa terkejut. Linnie memberikanku segelas air dan aku meminumnya sampai tandas. Ia bertanya apakah aku baik-baik saja dan kujawab baik. Aku tak ingin Linnie tahu.
Tahu lelaki ini dari masa lalu.
Jantungku belum lagi reda melompat-lompat, saat lelaki itu menyodorkan secangkir teh manis hangat yang dibuatnya dan menyuruhku minum.
“Hati-hati! Itu panas!” katanya mengingatkan. Suara lelaki itu. Entah bagaimana aku tak mengenalinya. Wajahnya juga banyak berubah. Aku sama sekali menemukan sosok yang berbeda dari yang pernah kukenal. Apakah waktu dapat mengikis ingatan sedemikian mudah? Ataukah aku memilih untuk mengingat hal-hal yang kumau saja?
Linnie menerima panggilan masuk di ponselnya dan bergegas pamit pulang. Lelaki itu mengantarkannya turun. Saat mereka pergi aku tertegun dalam kesunyian.
“Nara!” panggil seseorang. Aku menoleh ke samping. Sosok itu. Hanya dia yang masih kuingat dengan jelas dalam ingatan. “Lo lihat, kan! Ini sebuah kejutan yang baik.”
Aku mengangguk pelan.
Sosok itu tersenyum lebar. “Elo seharusnya senang, Ra? Elo bisa tahu kabar Bunda dan Ratih. Mereka semua merindukan elo.”
“Gue tahu.”
“Lantas apalagi?”