Mohon tunggu...
Yulia Yuli
Yulia Yuli Mohon Tunggu... Blogger -

Simple life @Julayjo

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Bulan Kolaborasi RTC] Di Mal Mewah Ada Aku

16 April 2016   05:12 Diperbarui: 16 April 2016   15:17 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar dari [http://kaca-buku.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html]"][/caption]

“Bertahun yang lalu aku berkata “pertahankan!

Bertahun yang lalu sengaja kau seret bilik-bilik bambu kami

Bertahun yang lalu diantara batu nisan tempatku berceloteh bisu

Bercengkrama dengan angin sunyi dan bau amis darah beku”     

 

Terang menyilaukan, bahkan membakar jiwa tergelap.

“Bukan jiwaku kan?”

“Kau terpilih semesta. Semua inderamu rasakan keberadaan kami. Diantara sekat waktu, tempat dan ruang.”

“Aku tak punya pilihan,” kedikkan bahu, sepenuhnya setujui pernyataan itu.

Lalu lalang rupa-rupa manusia lintasi tubuhku. Trans Studio Supermall tak pernah benar-benar sepi. Gerak mulutku terabaikan mereka, tak ada headset, pun jam digital terhubung gawai super pintar.

“Cahaya, sampaikan pada anakku, cintaku kubawa sampai mati. Meski tak bersama di surga, bekunya alam tengah tak matikan cintaku.”

 

"air mata pun tak sanggup mengalir nyata 

perisai raga mulai memuai termakan udara hampa

diantara fana, uluran tangan ini tetap berharap doa"

 

Lelaki paruh baya, dua pasang kakinya hancur dengan darah kental menetes. Wajahnya bergurat kelelahan lakoni hidup berat. Bau amis kental cairan otaknya yang meleleh di belakang kepala tak jenakkan langkahku. Seperti yang sudah-sudah, tubuh nyataku serupa angin, berlalu tanpa satu pun dari kami harus berpindah tempat. Kecuali langkahku yang menjauh.

Sosok itu satu dari ribuan pekerja yang membangun mall mewah ini.Terjatuh 20 meter, kepalanya menghempas keras terlebih dahulu sebelum reruntuhan beton berikutnya lumatkan dua tungkainya. Tak sempat mengaduh.

 

“Telaga hitam dan pepohonan beradu

Jiwa-jiwa kami semerbak menebar diantara waktu

Raut wajah ini tertunduk dalam lingkaran sembilu

Raga tak tergapai, jiwa yang dicapai , sisa nyata tangisan berderai”

 

Dekat di kepalaku, melayang seorang wanita. Kecuali wajahnya yang seputih kapas dan geraknya yang ringan serupa dandelion kering hanyut pada arus angin, kecantikannya serupa puluhan perempuan lain yang berseliweran. Ia lah yang ungkapkan kalimat itu. Sejuta satu pengulangan dari mahluk-mahluk sepertinya.

 

“Kirimi kami setangkai kalimat dari sang pencipta

Biarkan ruh ini menyatu dengan tenang dan damai

Jangan hiraukan lelehan tubuh yang mengering dan senyap

Kain kafan ini saatnya beralih pada kalian, kelak…” 

*************

Bandung - Selong

Tulisan ini diikut sertakan dalam event Bulan Kolaborasi Puisi dan Prosa RTC

dari kami : Yuli Yulia - Muslifa Aseani

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun