[caption caption="sumber gambar dari [http://kaca-buku.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html]"][/caption]
“Bertahun yang lalu aku berkata “pertahankan!
Bertahun yang lalu sengaja kau seret bilik-bilik bambu kami
Bertahun yang lalu diantara batu nisan tempatku berceloteh bisu
Bercengkrama dengan angin sunyi dan bau amis darah beku”
Terang menyilaukan, bahkan membakar jiwa tergelap.
“Bukan jiwaku kan?”
“Kau terpilih semesta. Semua inderamu rasakan keberadaan kami. Diantara sekat waktu, tempat dan ruang.”
“Aku tak punya pilihan,” kedikkan bahu, sepenuhnya setujui pernyataan itu.
Lalu lalang rupa-rupa manusia lintasi tubuhku. Trans Studio Supermall tak pernah benar-benar sepi. Gerak mulutku terabaikan mereka, tak ada headset, pun jam digital terhubung gawai super pintar.
“Cahaya, sampaikan pada anakku, cintaku kubawa sampai mati. Meski tak bersama di surga, bekunya alam tengah tak matikan cintaku.”
"air mata pun tak sanggup mengalir nyata
perisai raga mulai memuai termakan udara hampa
diantara fana, uluran tangan ini tetap berharap doa"
Lelaki paruh baya, dua pasang kakinya hancur dengan darah kental menetes. Wajahnya bergurat kelelahan lakoni hidup berat. Bau amis kental cairan otaknya yang meleleh di belakang kepala tak jenakkan langkahku. Seperti yang sudah-sudah, tubuh nyataku serupa angin, berlalu tanpa satu pun dari kami harus berpindah tempat. Kecuali langkahku yang menjauh.
Sosok itu satu dari ribuan pekerja yang membangun mall mewah ini.Terjatuh 20 meter, kepalanya menghempas keras terlebih dahulu sebelum reruntuhan beton berikutnya lumatkan dua tungkainya. Tak sempat mengaduh.
“Telaga hitam dan pepohonan beradu
Jiwa-jiwa kami semerbak menebar diantara waktu
Raut wajah ini tertunduk dalam lingkaran sembilu
Raga tak tergapai, jiwa yang dicapai , sisa nyata tangisan berderai”
Dekat di kepalaku, melayang seorang wanita. Kecuali wajahnya yang seputih kapas dan geraknya yang ringan serupa dandelion kering hanyut pada arus angin, kecantikannya serupa puluhan perempuan lain yang berseliweran. Ia lah yang ungkapkan kalimat itu. Sejuta satu pengulangan dari mahluk-mahluk sepertinya.
“Kirimi kami setangkai kalimat dari sang pencipta
Biarkan ruh ini menyatu dengan tenang dan damai
Jangan hiraukan lelehan tubuh yang mengering dan senyap
Kain kafan ini saatnya beralih pada kalian, kelak…”
*************
Bandung - Selong
Tulisan ini diikut sertakan dalam event Bulan Kolaborasi Puisi dan Prosa RTC
dari kami : Yuli Yulia - Muslifa Aseani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H