"Pagar kayu berwarna cokelat di depan sana, itu rumahku, kak."Â
Perlahan Ia kurangi kecepatan  suzukinya. "Baiklah dek, sampai bertemu kembali, lain kali hati-hati bila berkendara ok."
Sambil menyodorkan tanganku padanya, kuucapkan pula kata terima kasih, dan dia menyambut telapak tanganku dengan balasan tuturan yang,,,,, gilaaaaaa........ aku hampir saja terbang melayang di depannya. Perasaanku sudah tak terkontrol lagi. Aku seperti bertemu dengan pangeran dari kerajaan langot ke tujuh yang hadir tiba-tiba di depanku. Pria itu sudah berlalu bersama temannya yang membantu mengendarai Finoku tadi. Buuussyyyeeeeettt..... Kutarik sedikit kulit lenganku sambil menepuk-nepuk keras pipiku, "Auh,,,,, sakit,,,,, ternyata ini nyata, bukan mimpi."Â
Aku terus saja memandangi jalanan yang lagi ramai dengan bisingnya kendaraan yang lalu lalang tak kunjung henti. Hampir setengah jam aku berdiri terpaku sambil tersenyum di halaman rumahku. Kupukul keningku, "sssstttt..... Endah.... Mengapa kamu lupa meminta nomor handphone-nya. Apa yang sedang kamu pikirkan tadi." sambil terus memukul keningku, aku juga terus menyalahkan diriku sendiri. Masih di halaman rumahku, kurebahkan tubuhku di atas hijaunya rerumputan Jepang yang melata indah membalur sepanjang halaman rumahku. Kutatap langit biru yang sebentar lagi akan berubah warna menjadi merah kemerahan. Aku tak habis berpikir sampai beberapa nadiku hampir saja putus bercerai berai.Â
Kusambut malam dengan hati penuh gelisah, sepertinya malam bagiku saat ini adalah sebuah ancaman kesabaran untukku menanti kehadiran mentari pagi. Kuterus pejamkan mata, tapi tak dapat terlelap. Aku berusaha menghapus bayangannya agar tak terus terbayangkan dalam ingatanku. Semakin aku berusaha menghapus bayangannya, semakin besar pula bayangan itu terus bersemayam.
Jam dinding sudah mengarah ke 12.00 am, belum juga ada hawa ngantuk yang menghampiri. "Ah biarkan saja, kapan matamu sudah capek, pasti akan terlelap dengan sendirinya.
Serasa baru saja aku pejamkan mata, sudah terdengar alunan kaset mengaji dibuka  di masjid beberapa meter dari rumahku. Mataku seakan tak mau diajak kompromi, tetap kupaksa membuka kedua mataku memenuhi panggilanNYA yang sebentar lagi akan dikumandangkan.Â
Kembali kusambut pagi ini dengan wajah yang cerah, secerah sinarnya yang tulus menemaniku setiap harinya. Kujalankan aktifitas seperti biasa dipagi ini sebelum ku persiapkan diriku untuk berangkat ke kantor.Â
Alhamdulillah, kecelakaan kecil kemarin tidak begitu melumpuhkan Finoku. Hari ini aku sungguh berhati-hati bersama Fino. Biasanya kunyanyikan beberapa lagu sebagai teman penghibur dalam perjalanan, namun kali ini tidak lagi, karena dalam hatiku hanya berharap semoga aku dapat bertemu kembali dengan Haikal, pria yang membuatku tak dapat pejamkan mata semalaman suntuk. Hingga sampai di tempat yang kemarin aku melihat Haikal, kini tak ada secuil bayanganpun yang menandakan keberadaannya di tempat itu. Kuhentikan si Fino, agar Ia dapat menemaniku menemukan bayangan itu. Tapi tak nampak sedikitpun. Aku kembali melaju, kali ini tetap dengan kecepatan dibawah rata-rata. Tapi masih saja Haikal tak kelihatan batang hidungnya.
"Apakah kemarin itu hanya kebetulan saja aku bertemu dengannya? Hmmmhhh.... Bisa saja, itu hanya kebetulan." Gumamku.
Aku semakin penasaran, niatku untuk ke kantor seketika hilang, hanya karena aku bersungguh ingin menunggunya di tempat ini. Hampir 1 jam aku menanti bayanganya, tapi sama sekali tak kudapati ciri-ciri orang seperti yang mengantarkanku pulang kemarin.