Di era digital yang serba cepat, berbagi momen kebahagiaan bersama anak di media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang tua. Fenomena yang dikenal sebagai sharenting ini menawarkan platform untuk merayakan pencapaian anak, memperkuat ikatan keluarga, dan membangun komunitas online.Â
Namun, di balik keindahannya, sharenting juga membawa kompleksitas emosi yang seringkali tidak terduga.
Entropi emosi dalam konteks ini merujuk pada ketidakstabilan dan fluktuasi emosi yang dialami orang tua saat berbagi tentang anak di media sosial.Â
Di satu sisi, ada kebanggaan dan kegembiraan melihat respons positif dari teman dan keluarga. Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan privasi anak, perbandingan sosial, dan potensi dampak negatif dari paparan dunia maya.
Emosi-emosi ini seringkali saling bertentangan dan menciptakan ketidakseimbangan dalam diri orang tua. Ketidakpastian tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibagikan, serta tekanan untuk menyajikan citra keluarga yang sempurna, dapat memicu kecemasan, stres, bahkan depresi.
Mengapa Kita Perlu Menjinakkan Entropi Emosi?
Kesejahteraan emosional orang tua adalah fondasi bagi tumbuh kembang anak yang sehat. Ketika orang tua merasa tenang dan bahagia, mereka lebih mampu memberikan perhatian, kasih sayang, dan dukungan yang dibutuhkan anak.Â
Sebaliknya, ketika orang tua diliputi kecemasan atau stres, hal ini dapat memengaruhi kualitas interaksi dengan anak, serta menciptakan lingkungan rumah yang kurang kondusif.Â
Di samping itu, mengelola emosi dengan baik memungkinkan orang tua untuk menjadi role model yang baik bagi anak dalam hal regulasi emosi. Dengan melihat orang tua yang mampu mengelola perasaan mereka dengan sehat, anak-anak akan belajar keterampilan penting ini sejak dini.
Hubungan keluarga adalah salah satu aset paling berharga dalam hidup. Sharenting yang sehat dapat memperkuat ikatan keluarga dan membangun komunikasi yang lebih terbuka. Ketika orang tua berbagi momen-momen berharga dengan anak di media sosial, mereka menciptakan kenangan bersama yang dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.Â
Namun, jika tidak dikelola dengan baik, sharenting dapat menjadi sumber konflik dan merusak hubungan keluarga. Misalnya, jika orang tua terlalu fokus pada citra sempurna yang ingin mereka proyeksikan di media sosial, mereka mungkin mengabaikan kebutuhan emosional anak yang sebenarnya.
Privasi anak adalah hak yang harus dihormati. Setiap anak berhak atas ruang privasi dan perlindungan dari eksploitasi. Membagikan terlalu banyak informasi tentang anak di media sosial dapat membuatnya rentan terhadap berbagai risiko, seperti penculikan, cyberbullying, dan eksploitasi seksual.Â
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk bijaksana dalam memilih apa yang akan dibagikan dan bagaimana cara membagikannya. Dengan melindungi privasi anak, kita membantu mereka tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan mandiri.
Komunitas online memiliki potensi besar untuk menjadi sumber dukungan dan inspirasi bagi orang tua. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, komunitas online juga dapat menjadi tempat penyebaran informasi yang tidak akurat, perbandingan sosial yang tidak sehat, dan bahkan perundungan.Â
Dengan mengelola emosi kita sendiri dan berinteraksi dengan orang lain secara sopan dan santun, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan komunitas online yang positif dan mendukung.
Menuju Sharenting yang Lebih Sehat dan Berdampak
Dari sekadar berbagi momen kebahagiaan, sharenting telah berevolusi menjadi sebuah fenomena sosial yang kompleks. Di tengah gemerlapnya dunia digital, kita perlu menggali lebih dalam makna di balik setiap unggahan foto dan video anak-anak kita.Â
Sharenting yang sehat bukanlah sekadar memamerkan pencapaian, melainkan tentang membangun koneksi yang autentik, melindungi privasi anak, dan menginspirasi komunitas online yang positif.
Salah satu kunci menuju sharenting yang lebih sehat adalah dengan memahami dampak psikologis dari setiap tindakan kita di dunia maya. Setiap like, komentar, atau pesan yang kita terima dapat memicu berbagai emosi, baik positif maupun negatif.Â
Ketika kita terlalu fokus pada pengakuan dan validasi dari orang lain, kita rentan mengalami kecemasan dan perasaan tidak cukup baik. Oleh karena itu, penting untuk membangun rasa percaya diri yang kuat dan tidak menggantungkan kebahagiaan kita pada persetujuan orang lain.
Kemudian, kita juga perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari sharenting terhadap anak-anak kita. Informasi yang kita bagikan di media sosial dapat dengan mudah diakses oleh orang yang tidak kita kenal, dan ini dapat menimbulkan risiko keamanan dan privasi.Â
Oleh karena itu, kita perlu bijaksana dalam memilih konten yang akan kita bagikan dan selalu mengutamakan kepentingan terbaik anak-anak kita.
Dalam membangun komunitas online yang positif, kita dapat berperan sebagai role model bagi orang tua lainnya. Dengan berbagi tips, pengalaman, dan sumber daya yang bermanfaat, kita dapat menciptakan ruang yang aman dan mendukung bagi semua orang.Â
Lalu, kita juga dapat mengajak sesama orang tua untuk lebih kritis dalam mengonsumsi konten di media sosial dan menghindari perbandingan yang tidak sehat.
Kesimpulan
Sharenting adalah fenomena kompleks yang membawa tantangan dan peluang. Dengan memahami dinamika emosi yang terlibat dan menerapkan strategi yang tepat, kita dapat menjinakkan entropi emosi dan mencapai sharenting yang lebih sehat dan berdampak.Â
Dengan demikian, kita dapat menciptakan dunia digital yang lebih positif dan mendukung bagi anak-anak kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI