Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang dikhususkan untuk barang mewah di awal tahun 2025 menjadi sorotan publik.Â
Kebijakan ini mengundang pertanyaan besar yakni benarkah kenaikan PPN hanya akan berdampak pada kelompok masyarakat atas? Ataukah efek domino dari kebijakan ini akan merembet hingga ke lapisan masyarakat bawah?
Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN ini semata-mata untuk meratakan beban pajak dan mengurangi kesenjangan sosial.Â
Dengan menaikkan pajak barang mewah, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara yang kemudian dapat digunakan untuk membiayai program-program pro rakyat.Â
Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa kenaikan harga barang mewah akan berdampak pada inflasi dan pada akhirnya akan membebani seluruh lapisan masyarakat.
Alasan Kenaikan PPN Selektif
Pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN selektif ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat luas.Â
Dengan menargetkan barang-barang mewah, diharapkan dapat mengurangi ketimpangan sosial dan meningkatkan keadilan dalam sistem perpajakan.
Logika di balik kebijakan ini adalah bahwa kelompok masyarakat yang mampu membeli barang mewah memiliki daya beli yang lebih tinggi sehingga kenaikan pajak tidak akan terlalu berdampak signifikan pada pengeluaran mereka.Â
Di samping itu, kenaikan PPN selektif juga dianggap sebagai cara yang efektif untuk mendorong konsumsi produk dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor barang mewah.
Namun, kritik terhadap kebijakan ini pun tak kalah sengit. Beberapa pihak berpendapat bahwa kenaikan PPN selektif justru akan memicu terjadinya inflasi. Kenaikan harga barang mewah akan berdampak pada harga barang-barang lain yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.