Untuk mengatasi masalah birokrasi yang rumit, perlu dilakukan simplifikasi prosedur pengajuan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Pemerintah dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk membangun sistem yang lebih transparan dan efisien.
Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi secara intensif kepada petani mengenai prosedur yang berlaku agar mereka dapat lebih mudah memahami dan mengikuti.
Kedua, keterbatasan kuota. Kuota pupuk bersubsidi yang dialokasikan seringkali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh petani. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dan membuat sebagian petani kesulitan mendapatkan pupuk.
Keterbatasan kuota ini seringkali memicu ketidakadilan dalam distribusi pupuk. Petani yang memiliki koneksi yang kuat dengan pihak distributor atau petugas penyuluh pertanian cenderung lebih mudah mendapatkan pupuk, sementara petani kecil dan marginal seringkali terpinggirkan. Hal ini memperparah kesenjangan sosial ekonomi di antara petani.
Lalu, kurangnya ketersediaan pupuk bersubsidi secara langsung berdampak pada produktivitas pertanian. Petani yang tidak mendapatkan pupuk yang cukup akan mengalami penurunan hasil panen, kualitas produk yang buruk, dan peningkatan biaya produksi akibat penggunaan pupuk non-subsidi yang lebih mahal.
Keterbatasan kuota pupuk bersubsidi mengancam ketahanan pangan nasional. Jika produksi pertanian menurun akibat kurangnya pupuk, maka ketersediaan pangan di dalam negeri juga akan berkurang. Hal ini dapat memicu kenaikan harga pangan dan bahkan krisis pangan.
Untuk mengatasi masalah keterbatasan kuota secara jangka pendek, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi secara berkala terhadap kebutuhan pupuk di setiap daerah agar alokasi kuota dapat disesuaikan dengan kondisi yang sebenarnya.
Ketiga, distribusi yang tidak merata. Distribusi pupuk bersubsidi seringkali tidak merata. Beberapa daerah mengalami kelebihan pasokan, sementara daerah lain kekurangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti infrastruktur yang kurang memadai, jarak tempuh yang jauh, dan kurangnya pengawasan.
Distribusi pupuk bersubsidi yang tidak merata ini menciptakan ketidakadilan antar daerah. Petani di daerah dengan akses yang terbatas terhadap pupuk akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan produksi pertanian mereka, sementara petani di daerah dengan pasokan yang berlebih justru dapat memanfaatkan pupuk tersebut untuk tujuan komersial. Hal ini memperlebar kesenjangan antara daerah yang maju dan daerah yang tertinggal.
Ketidakmerataan distribusi pupuk bersubsidi juga menyebabkan fluktuasi harga pupuk di pasaran. Di daerah dengan kekurangan pupuk, harga pupuk cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET). Sebaliknya, di daerah dengan kelebihan pupuk, harga pupuk cenderung lebih rendah dari HET. Fluktuasi harga ini merugikan petani dan konsumen.
Salah satu faktor yang menyebabkan distribusi pupuk tidak merata adalah kurangnya data dan informasi yang akurat mengenai kebutuhan pupuk di setiap daerah. Data yang tidak valid seringkali menjadi dasar dalam penentuan alokasi pupuk, sehingga distribusi pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya. Selain itu, kurangnya transparansi dalam proses penyaluran pupuk juga memperparah masalah ini.