Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda berbagai sektor industri, ditambah dengan dampak pandemi COVID-19 yang berkepanjangan, telah mendorong jutaan masyarakat Indonesia masuk ke dalam jurang ketidakpastian ekonomi.
Konsekuensinya, sektor informal semakin membengkak, menjadi semacam "pelampung" bagi mereka yang kehilangan pekerjaan formal. Namun, di balik pertumbuhan pesat sektor informal ini, tersimpan ancaman serius yang ibarat bom waktu siap meledak di penghujung masa jabatan kabinet saat ini.
Sektor informal, yang mencakup beragam jenis pekerjaan seperti pedagang kaki lima, tukang ojek, pekerja rumah tangga, dan buruh lepas, memang memiliki peran penting dalam menyerap tenaga kerja.
Namun, pekerja informal umumnya menghadapi kondisi kerja yang tidak menentu, upah yang rendah, dan minimnya perlindungan sosial. Mereka rentan terhadap fluktuasi ekonomi, bencana alam, dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak.
Peningkatan jumlah tenaga kerja informal memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Pertama, produktivitas ekonomi secara keseluruhan cenderung menurun karena pekerja informal umumnya memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja formal.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor utama antara lain akses terbatas terhadap teknologi dan pelatihan, kondisi kerja yang tidak stabil, skala usaha yang kecil dan kurangnya akses kredit.
Akses terbatas terhadap teknologi dan P
pelatihan. Pekerja informal seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap teknologi modern dan pelatihan yang memadai. Akibatnya, mereka kurang produktif dalam menyelesaikan tugas dan menghasilkan output yang berkualitas.
Kondisi kerja yang tidak stabil. Pekerjaan informal seringkali tidak memiliki jaminan sosial dan perlindungan hukum yang memadai. Kondisi kerja yang tidak stabil, seperti jam kerja yang tidak teratur dan lingkungan kerja yang tidak aman, dapat menurunkan motivasi dan produktivitas pekerja.
Skala usaha yang kecil. Sebagian besar usaha informal merupakan usaha kecil dengan modal yang terbatas. Skala usaha yang kecil ini membatasi kemampuan mereka untuk melakukan inovasi dan meningkatkan efisiensi produksi.
Kurangnya akses ke kredit. Pekerja informal seringkali kesulitan mendapatkan akses ke kredit dari lembaga keuangan formal. Hal ini menghambat mereka untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan produktivitas.