"Apakah kebenaran yang kamu cari itu dibenarkan setiap manusia? Sejak kapan manusia cinta perang. Semua itu hanya alasan individu untuk memperoleh singgasana kemewahan. Aku sudah puas dengan kondisi sekarang, apapun kita lakukan, berdua dan aku sudah bahagia. Akankah kamu merusak kebahagiaan ini."
"Ah, aku tak mau berdebat, aku harus bergegas, kalau tidak selamanya kebenaran akan musnah."
"Berilah alasan, kenapa kamu yang ingin menjadi korban."
"Aku bukan korban, aku hanya melakukan darma, dan aku janji akan kembali."
Sejenak Utari termenung. Lamunannya membawa ke masa lalu. Masa dimana pertama kali kenal dengan Abimanyu. Masa dimana hatinya berbunga mendapatkan seorang pemuda tampan yang sangat bijaksana, dan direstui oleh orang tuanya. Masa dimana mereka saling mengikat janji. Dan teringat lagi akan janji Abimanyu.
"Aku suka padamu, aku cinta padamu, dan tulus iklas kuserahkan jiwaraga ini. Namun, jawab satu pertanyaanku."
"Bertanyalah, dengan bangga aku akan menjawabnya."
"Aku malu."
"Kenapa malu Manis?"
Sebutan itu telah merontokkan hati Utari. Dia benar-benar terpana, dan jatuh hati. Dadanya berdegub kencang. Namun sebagai perempuan dia tidak ingin menyakiti hati orang lain. Dengan keberanian diapun bertanya pelan namun pasti.
"Benarkah, kamu belum punya istri?"