Hari itu kau masuk halaman rumahku.
Aku memang tidak memagarnya.
Biar tidak terhalang pandangan.
Namun...
Kau buang sampah di situ.
Aku kaget.
Di hati ini berkecamuk amarah.
Namun ku diam.
Kau pun pergi dengan tersenyum.
Saat lain kau mengetuk pintu rumahku.
Ku persilakan masuk.
Kau duduk di sofa kesukaanku.
Namun...
Kau tumpahkan kopi yang kusuguhi.
Aku diam.
Dan kaupun permisi meninggalkan rimahku dengan tanpa bersalah.
Kau berpikir dengan kata maaf , semua biasa-biasa aja.
Walau ada hati di sana yang gusar menahan kesal.
Waktu itu kau makan bersamaku di meja makanku.
Kulihat kau begitu lahap memakan hidanganku.
Bahkan sampai habis.
Namun...
Kau bilang "perutku sakit"
Dan kau pun memaki makananku.
Aku pun tetap diam.
Ku tahan api yang meletup-letup di dadaku.
Apapun yang kau lakukan.
Apapun yang kau katakan.
Dan apapun yang ku rasakan.
Ku bertahan.
Dan kupilih sabar.
Ketika kujadikan sabar sebagai pilihan.
Aku merasakan halaman yang kau kotori berubah menjadi begitu indah.
Kursi yang kau nodai menjadi bercahaya.
Dan makanan yang kau maki.
Membuatku semakin asyik menikmatinya dan menyehatkan.
Saat ku pilih sabar.
Segala berbalik menjadi lebih baik.
Sabar itu menakjubkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H