Gubuk mereka berlantai tanah dan tampak nyaris roboh. Ibarat pakaian, usang dan penuh tambalan. Tempat tidur kayu tanpa kasur merapat ke salah satu dinding. Tak ada kursi dan meja. Lantai dilapisi plastik hitam. Langit-langit juga berlapis plastik biru-hitam. Bila musim hujan, lantai gubuk tergenang air dan berlumpur. Gundukan sampah plastik dan kaleng-kaleng bekas berada di muka gubuk mereka. Bau busuk menyengat hidung.
***
Tiga minggu sebelum Adal diperkarakan, dia memberikan kado sepasang sandal jepit kumal untuk Limah. Tali sandal pun hampir putus, tinggal menghitung hari sandal itu akan berakhir riwayatnya. Tapi sebelum itu terjadi, Adal memungut sandal itu dari luar pagar perkarangan rumah seseorang yang tak ia kenal.
Hatinya sangat girang. Dia bergegas mencari koran bekas dan kardus kecil dalam tong sampah. Membalut sandal jepit kumal itu menjadi sebuah kado. Lalu, dia menulis “Kado Adal, Untuk Mak”.
Menjelang malam Adal berlari pelan. Sebelah tangannya memegang kado. Dia mengikuti jalan setapak menuju gubuknya.Ibunya pun bangun dari tidurnya. “Apa itu Adal?” Dia hanya mengapit kedua jari telunjuk dan jari jempol membentuk simbol “love”. Kemudian memberikan kado itu untuk Maknya. Tiba-tiba mata Limah berkaca-kaca, memantulkan bayangan Adal. Perasaan terharu berkecamuk dalam benaknya.
“Mak sayang kamu,” ucapnya sambil membelai lembut rambut Adal. Jari-jari Adal menyeka air matanya. Sesekali mengembang senyum di bibirnya. Limah tak bisa berkata-kata lagi. Memeluk. Mencium kening Adal. Sebentar kemudian Limah membuka kado itu pelan-pelan. Isinya sepasang sandal jepit. Dia makin menangis tersedu.
Adal langsung membantu mengenakan sandal jepit itu. Borok masih membekas di telapak kaki Limah. “Adal. Mak tahu, kamu pasti tak tega melihat telapak kaki Mak terluka lagi,” kata Limah dengan mata berkaca-kaca. Adal cuma menganggukkan kepala.
***
Pernah suatu ketika, mata hari sangat terik. Hembusan panas terasa memanggang jalan beraspal. Limah bertelanjang kaki menyelesuri sudut-sudut kota. Merangkul karung goni di pundaknya. mata yang awas mengintai setiap jalan yang dilewati.
Menghentikan langkah sejenak memungut kaleng, kardus bahkan kertas yang tak lagi terpakai. Lalu kakinya kembali menyapa sudut-sudut kota.
Menjelang magrib seraya memegang kayu penyangga, ia berjalan tertatih-tatih kembali ke gubuknya. Telapak kakinya melepuh seperti terbakar. Ada luka menganga juga.