Stanford Encyclopedia of Philosophy: Immanuel Kant
Kant, Immanuel; Kitcher, Patricia (intro.); Pluhar, W. (trans.) (1996). Critique of Pure Reason. Indianapolis: Hackett. hlm. xxviii.
Singer, Peter. Hegel: A Very Short Introduction. Oxford University Press. 1983. hlm. 42
[9] Immanuel Kant, Fundamental Principles of the metaphysic of Morals, Project Gutenberg Ebook (Kata Pengantarh. vi) lihat juga, Crane, Brinton. "Enlightenment". Encyclopedia of Philosophy. 2. Macmillan h. 519.
Wikisource: Kant, Immanuel (1785) Groundwork of the Metaphysics of Morals.
Ini merupakan Postulat pertama, yakni akan adanya keabadian jiwa untuk mengalami harmoni antara moralitas dan kodrat. Pelaksanaan kewajiban moral di dunia ini tidak dengan sendirinya membawa kebahagiaan. Seandainya jiwa tidak abadi, tetapi habis dengan habisnya kehidupan di dunia ini, maka hidup menjadi tragis. Dari postulat ini nampaknya Kant mengharapkan adanya kebahagiaan. Di lain pihak ia menekankan bahwa pelaksanaan kewajiban moral, untuk menjaga kemurnian motivasi, harus melulu atas dasar sikap hormat terhadap hukum atau demi kewajiban itu sendiri. Si pelaku moral harus mengalahkan segala keinginan kodrati, termasuk keinginan untuk bahagia. Tetapi supaya kewajiban bisa dilaksanakan pelaku moral perlu merasa bahagia dalam melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan kewajiban senantiasa membawa rasa bahagia pada si pelaku. Menolak adanya dorongan atau keinginan kodrati untuk bahagia samasekali, sama saja menggagalkan apa yang diinginkan si pelaku moral tersebut.
Postulat kedua adalah adanya kebebasan; dalam kaitan dengan ini penulis menunjuk pertentangan antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan rasa sebagai suatu hal yang sentral dalam moralitas Kant. Hidup moral = hidup bebas = sepenuhnya menentukan diri berdasarkan prinsip akalbudi. Kontradiksinya menurut penulis terletak dalam pemikiran berikut: di satu pihak, setiap orang wajib untuk berjuang mencapai kesempurnaan dengan sepenuhnya hidup menentukan diri melulu berdasarkan prinsip akalbudi dan berjuang menundukkan segala kecenderungan perasaan. Di lain pihak kalau kesempurnaan/ kebebasan penuh ini tercapai, moralitas sudah tidak ada artinya lagi, karena inti moralitas justru terletak dalam kenyataan bahwa ada konflik antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan perasaan. Tugas untuk menjadi sempurna rupanya suatu tugas yang terus tidak ada habisnya
Postulat ketiga, mengenai adanya Tuhan sebagai penjamin keluhuran pelaksanaan tugas dan penjamin kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral, karena Tuhan pada dasarnya penguasa segala hukum alam semesta. Postulat ini, menurut penulis, bertentangan dengan usaha Kant untuk menekankan otonomi moral melawan segala bentuk heteronomi, termasuk heteronomi etika teonom. Sebab, dengan postulat akan adanya Tuhan yang diharapkan sebagai penjamin kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral karena Tuhan merupakan penguasa hukum alam semesta, apa yang semula dimaksudkan sebagai otonomi ternyata pada akhirnya jatuh ke heteronomi.
Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist theory of ethics).
[15] Inilah alasan Kant menolak kausalitas. Baca Nigel Warburton (2011). "Chapter 19: Rose-tinted reality: Immanuel Kant". A little history of philosophy. Yale University Press. h. 111
Kemurnian motivasi, Kant memakai istilah dengan “nalar murni” di dalam karyanya yang berjudul The Critique of Pure Reason. Nalar murni: kemampuan nalar untuk memahami, mencermati, dan menentukan kebenaran yang pada ujungnya bisa saja jadi kebenaran yang diklaim mutlak, contoh matahari menyinari dan bahkan menghidupkan bumi jadi sebuah ketegasan memahami dunia, menegaskan kebenaran yang sudah jadi, bukan kebenaran hasil dialog.