Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... -

Seorang Mahasiswi program Magister Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semester IV 2013/2014.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Etika Menurut Alghazali dan Imanuel Kant

19 Agustus 2014   21:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:07 4380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?”  Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan  dan memuncak kepada kebijakan.

Para filosof Yunani kuno membedakan pengetahuan (knowledge) dari hikmah (wisdom), di mana pengetahuan itu dipahami untuk kemudian menjadi sesuatu yang dapat diajarkan. Pengetahuan itu penting dan dibutuhkan untuk memperoleh hikmah. Tetapi tidak dengan sendirinya pengetahuan akan menjamin hadirnya kebijaksanaan, unsur-unsur lain yang dibutuhkan selain pengetahuan adalah  pemahaman, wawasan, penilaian yang baik dan mengasah kemampuan untuk hidup dengan baik dan perilaku baik. Banyak orang berpendidikan, pada kenyataannya, tidak layak dalam membuat keputusan praktis dalam kehidupan mereka dan mereka tidak terasa lebih baik secara moral dalam menjalani kehidupan. Mereka memiliki pengetahuan, tetapi kurang kebijaksanaan. Melalui filsafat moral, orang diharapkan akan senantiasa cinta dan mengejar kebijaksanaan dalam hal moral.

Ilmu pengetahuan telah merangsang manusia untuk berpikir lebih imajinatif dan kreatif. Daya berpikir inilah yang memampukan manusia menemukan disiplin ilmu baru: manusia tidak hanya stagnan pada keberhasilan-keberhasilan para pendahulunya. Namun, ketika manusia mampu mencipta dan daya berpikirnya semakin canggih, manusia kadangkala jatuh ke lembah kesombongan, saat itulah nilai-nilai moral dan norma-norma tradisional semakin merosot.

Al-Ghazali dan Immanuel Kant adalah dua tokoh dunia filsafat. Apabila kita bisa memahami posisi mereka dan mengetahui siapa dan bagaimana latar belakng mereka, maka pastinya akan ada kontroversi dalam pemikiran mereka. Sebagian orang boleh berbeda pandangan tentang siapa Al Ghazali, apakah beliau seorang filosof ataukah seorang sufi? Untuk mengetahui lebih jelasnya tentunya harus di ketahui lebih dalam tentang mereka, Kalau kita mulai mengkaji Al Ghazali lewat pintu gerbang karyanya “Tahafut al-Falasifah”, maka kita akan berkesimpulan bahwa Al Ghazali adalah seorang filosof, bukanlah seorang sufi. Tapi kalau kita masuk kepemikiran Al Ghazali lewat pintu gerbang “Ihya Ulum al-Din” maka kita akan berkesimpulan bahwa Al Ghazali adalah seorang sufi, bukanlah seorang filsuf. Ada beberapa permasalahan yang dapat diangkat antara kedua tokoh tersebut, dengan latar yang berbeda tentunya akan menghasilkan nilai yang berbeda pula, terdapat banyak permasalahan dari kedua tokoh mengenai hal-hal yang berhubungan dengan etika.

BAB II

PERMASALAHAN

Etika merupakan pemikiran manusia yang tercakup dalam sebuah perangkat penilaian manusia dalam menghadapi lingkungannya. Kedudukan etika dalam kebudayaan menjadi modal penting dalam pengembangan wawasan  pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu etika di dalam kajian filsafat merupakan cabang dari aksiologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari hakikat nilai. Salah satu bagian yang  merupakan penjelasan-penjelasan dalam filsafat yang membicarakan masalah predikat baik (good) dan buruk (bad) dalam arti susila (moral) dan asusila (immoral). Predikat-predikat tersebut tidak akan mempunyai makna apapun (meaningless) bila tidak terwujud dalam tindakan manusia di alam empiris.

Predikat-predikat di atas pada bentuk kualitasnya akan mengacu pada satu sisi dari dua sisi yang saling beroposisi, yakni pada sisi baik atau susila. Apabila seseorang menganntarkan simbol pada bentuk atribut yang sesuai dengan pendapat dan aturan umum maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bersusila, baik dan juga etis. Sehingga pada sisi baik dan bersusila disebut etika. Sebaliknya orang yang tidak sesuai dengan kebiasaan umum komunitasnya maka disebut sebagai tidak baik, tidak bersusila, tidak etis dan dianggap melanggar etika.

Dalam penulisan ini, penulis mencoba membahas perbedaan antara Al-Ghazali dan Kant dalam memandang Filsafat Etika, ada beberapa masalah yang dapat diangkat dalam penulisan ini, di antaranya:


  1. Bagaimana Etika menurut Al-Ghazali dalam pandangan filsafat ?
  2. Bagaimana Etika menurut Kant dalam pandangan filsafat ?
  3. Bagaimana persamaan dan perbedaan  pemikiran Al-Ghazali dan Kant tentang etika dalam pandangan filsafat ?
  4. Bagaimana implikasi dan konsekuensi pemikiran etika Al-Ghazali dan Kant tentang etika dalam pandangan filsafat ?

BAB III

METODOLOGI

1.Pendekatan Studi

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan studi filosofis. Hal ini dikarenakan permasalahan yang diangkat di makalah ini adalah berkaitan dengan aksiologi sebagai salah satu cabang utama dalam filsafat.

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang berhubungan macam-macam dan kriteria nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau nilai-nilai moral dan yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari kata Yunani axion (nilai) dan logos (teori) yang berarti teori tentang nilai.

Penelitian Komparatif adalah Penelitian yang dilakukan untuk membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda. Dalam hal ini, penulis melakukan komparatif terhadap pandangan Al Ghazali dan Immanuel Kant dalam filsafat etika. Persamaan dan perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut sangat perlu untuk diteliti dan dikaji dengan seksama untuk melihat implikasi-implikasi dan konsekuensi-konsekuensinya dalam membangun sistem secara keseluruhan, dengan menjelaskan ide-ide fundamental mengenai pemikiran etika kedua pemikir, dengan melampaui batas-batas historis, kedaerahan, atau bahkan keagamaan, walaupun aspek-aspek tersebut dapat mempengaruhi pemikiran mereka.

2.Sumber Data

Dalam suatu karya ilmiah, biasanya dikenal dua jenis data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer biasanya berkisar pada buah karya hasil tokoh yang yang diteliti. Penulis telah mendapatkan dua sumber primer, yakni yang berbahasa Arab dan pula berbahasa Inggris.

Selain itu ada pula disertasi M. Amin Abdullah, yang kemudian diformulasi ulang sehingga menjadi buku berjudul The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Immanuel Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Buku ini diterbitkan oleh Penerbit mizan pada tahun 2002 dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Drs. Hamzah, M.Ag., dengan judul Antara Al Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bagi penulis, karya ini merupakan sebuah “inovasi” berani yang dilakukan oleh penulisnya (M. Amin Abdullah), bukan saja dalan hal gugatannya terhadap al-Ghazali–salah seorang ulama terbesar disepanjang sejarah Islam–melainkan juga terhadap pendekatan dogmatis, tradisional, dan ta’bbudi dalam pemikiran Islam pada umumnya.Dalam karya ini mengungkapkan tentang perbedaan dan persamaan teori etika antara dua tokoh filosof besar Al-Ghazali dan Imanuel Kant serta konsukuensi-konsekuensinya.

3.Analisis Data

Dalam makalah ini, penulis menggunakan metode pembahasan analitis komparatif. Sehingga pembandingnya, digunakan perspektif empirisme Barat yang dalam hal ini diwakili oleh Filsuf Jerman, Immanuel Kant. Sedangkan Al Ghazalai berperan sebagai empirisme dari dunia Islam.

BAB IV

PEMBAHASAN

A.Biografi dan Pemikiran Al Ghazali

Nama lengkanya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, lahir tahun 450 H/1056 M. di Thus, suatu kota kecil di Khurasan (Iran). Ayahnya adalah seorang tasawuf saleh yang meninggal dunia ketika Al Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya itu kepada seorang tasawuf pula untuk dibimbing dan diasuh. Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya berguru di Naisabur pada Imam Al-Juwaini sampai gurunya wafat pada tahun 478 H./1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizam Al-Malik di kota Mu’askar. Daripadanya ia mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang besar sehingga ia tinggal di kota itu selama enam tahun. Pada tahun 483 H./1090 M. ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamiah Baghdad. Pekerjaan itu dilaksanakannya dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniah, Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.

Awalnya Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dengan segala macam alirannya. Lalu ia manganalisa perbedaan-perbedaan itu terjadi karena para penganut aliran tersebut masing-masing berlainan sudut pandang dalam mengatasi suatu masalah. Al-Ghazali tidak puas dengan dalil-dalil mutakallimin saja. Kemudian ia mendalami filsafat. Ia mempelajari karangan-karangan ahli filsafat, terutama karangan Ibnu Sina. Setelah dipelajarinya filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Karena tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki pula pendapat-pendapat aliran batiniyah. Penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu yang sejati atau kebenaran yang mutlak itu hanya dapat diturunkan dari “imam yang ma’shum” (yang suci dari kesalahan dan dosa). Al-Ghazali menanyakan imam yang ma’shum itu. Tidak ada pengikut batiniah yang tahu di mana tempatnya dan kapan ia bisa ditemui. Al-Ghazali akhirnya menyimpulkan bahwa imam ma’shum kaum batiniah itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada dalam alam kenyataan. Oleh karena belum puas dengan ketiga macam penyelidikan itu, Al-Ghazali lalu meninggalkan kesibukan-kesibukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf.

Ia mengharapkan dalam gerakan tasawuf inilah ia mendapat hakikat kebenaran yang dicari dan diselidikinya selama ini. Ia menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata, dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya. Akhirnya ia merasa berhasil. Ia merasa dengan cara ini pikirannya menjadi sangat jernih, dan dengan tasawuf, ia merasa dibukakan oleh Tuhan sesuatu pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami sebelumnya. Pengetahuan itu dianggapnya sebagai rahasia hakikat kebenaran yang dicarinya selama ini. Al-Ghazali memperoleh kesan bahwa orang-orang sufi (ahli tasawuf) itu benar-benar berada di atas jalan yang benar, berakhlak baik, dan mendapat pengetahuan yang tepat. Dengan hasil ini, barulah Al-Ghazali merasa puas dengan penyelidikannya. Dan, segala pendapatnya tentang tasawuf itu (yang dianggap sesuai dengan hakikat Islam) ditulisnya dalam buku yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin yang amat terkenal itu.

Sebagian orang menganggap bahwa Al-Ghazali bukan seorang ahli tasawuf (sufi). Karena Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah, menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dan juga filsuf-filsuf golongan Islam, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa “akal” dan “filsafat” bukanlah alat yang paling utama baginya. Sesungguhnya anggapan itu tidak benar. Kalau al-Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata, maka tidak perlu diartikan bahwa Al-Ghazali menentang pemakaian akal dan amal filsafat. Bahkan sebaliknya, seluruh prestasi Al-Ghazali dalam buku-bukunya itu dapat dianggap sebagai hasil akal dan karya filsafatnya yang sungguh-sungguh disesuaikannya dengan prinsip-prinsip agama Islam.

“Kebenaran” Al-Ghazali, yang dinamakan orang tasawuf Al-Ghazali, sebenarnya lebih tepat atau lebih berhak dinamakan “filsafat Islam” dibandingkan dengan hasil-hasil filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina, misalnya. Memang benar bahwa mistik atau tasawuf umumnya lebih memakai perasaan daripada pikiran, tetapi dalam mistik Al-Ghazali jelas sekali faktor objektivitas pikiran senantiasa lebih tampak daripada faktor perasaan. Hal itu sesuai dengan tuntunan ayat-ayat Alquran tentang pentingnya faktor akal.

Memang sebagian penulis buku-buku filsafat mengklaim bahwa kemacetan filsafat di dunia Islam akibat serangan Al-Ghazali. Namun jika diteliti secara cermat, kemacetan filsafat didunia Islam Sunni tidak bisa hanya dibebankan kepada Al-Ghazali. Hal ini diantaranya erat kaitannya denagn suatu politik yang tidak kodusif di pemerintahan Islam. Al Ghazali merupakan salah satu filusuf Muslimin yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filusuf. Kritik pedas tersebut beliau tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahfut Al-Falasifah. Dalam bukunya ini beliau mendemonstrasikan kepalsuan para filusuf besrta doktrin-doktrin mereka. Al Ghazali mendapat gelar “Hujjatul Islam” atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam terutama kaum batiniyah dan kaum filusuf. Beliau adalah sorang ulama, pendidik, ahli berfikir dalam ilmunya dan sekaligus sebagai pengarang produktif.

Hukum Kausalitas bagi Al Ghazali

Menurut al Ghazali hukum sebab akibat hanyalah kebiasaan atau adat semata bukan sesuatu yang pasti, dalam bukunya Tahafut al-Falasifat. Al-Ghazali mempersoalkan masalah khariq al-adat (menyalahi kebiasaan) yang erat kaitannya dengan masalah hukum kuaslitas, dalam pengertian, apakah hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang pasti. Menurut penulis, Al Ghazali sebenarnya tidak mengingkari adanya hukum kausalitas. Namun yang diingkari adalah pendapat para filosof yang mengatakan bahwa hubungan sebab akibat merupakan hubungan kepastian atau keniscayaan. Sikap Al Ghazali ini didasari oleh konsep bahwa Allah adalah pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan. Pada sisi lain, untuk menjaga jangan sampai terjadi adanya anggapan di kalangan kaum muslimin bahwa apa yang terjadi di alam ini hanyaah disebabkan kekuatan kebendaan semata. Padahal, ada sebab lain di balik kebendaan itu yang merupakan rahasia tersembunyi, yang justru inilah yang merupakan hakiki yakni Allah.

Menurut Al Ghazali, hukum kausalitas tidak merupakan hukum yang pasti, tetapi hukum kemungkinan belaka. Seseorang tidak dapat memastikan hukum kausalitas karena alam penuh dengan misteri. Hanya sebagian kecil saja yang baru terungkap, sedangkan yang lain belum. Karena itu, Al-Ghazali berprinsip bahwa peristiwa-peristiwa yang ada di alam ini hanya terjadi secara kebetulan dan berjalan berurutan karena kebiasaan, bukan atas dasar kemestian. Al-Ghazali mengungkapkan lebih lanjut, "Sesungguhnya hubungannya terjadi karena Allah swt telah menentukan penciptaannya secara berurutan, bukan karena mesti pada dirinya, tanpa menerima pengecualian. Bahkan, Tuhan mampu menciptakan kenyang tanpa makan. Filosof lainnya mengingkari kemungkinan itu dan menyatakan kemustahilannya."

Menurut Al Ghazali, hubungan itu tidaklah menjadi suatu yang penting sebab hal itu bukan merupakan jaminan untuk terwujudnya suatu akibat. Dengan demikian, api itu tidak selalu membakar, begitu juga makan tidak selalu mengenyangkan dan potong leher belum tentu mengakibatkan kematian. Semuanya itu dianggap sebagai hukum kebiasaan saja, sebab Allah swt. berkuasa untuk mengubah semuanya itu.

Menurut pandangan Al Ghazali bahwa api itu tidak membakar Nabi Ibrahim karena api bukan pembuat pembakar akan tetapi hal itu adalah perbuatan Allah dengan qudroh dan irodah Allah, baik karena api berubah sifatnya menjadi tidak terbakar atau nabi Ibrahim berubah materinya menjadi materi lain sehingga ia menjadi tidak terbakar oleh api. Demikian pula dengan kasus Nabi Isa menghidupkan orang mati, tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, semua hal ini terjadi karena menyangkut materi yang sifatnya menerima perubahan. Tanah berubah menjadi tanaman, tanaman dimakan oleh binatang lalu berubah menjadi darah dan darah berubah menjadi air mani binatang jantan dan bila bertemu dengan sel telur dalam rahim binatang betina akan berubah menjadi janin dan seterusnya akan melahirkan hewan sejenisnya. Rentetan kejadian tersebut berlaku berdasarkan kebiasaan yang berlangsung dalam masa yang relative panjang. Akan tetapi tidaklah mustahil apabila dengan kehendak dan kekuasaan Allah proses panjang tersebut berubah menjadi singkat sebagaimana yang berlaku pada mukjizat para Nabi dan Rosul.

Api itu membakar disebabkan oleh Tuhan, menurut filosof api adalah pelaku langsung dari kebakaran dan sifat yang demikian sudah merupakan kepastian sifat api. Prinsip kepastian yang kemudian diserang Al Ghazali, bagaimana seseorang bisa membuktikan bahwa api itu sebagai pelaku? bantah al-Ghazali. Argumen mereka (filosof) hanyalah lewat observasi dan hal itu hanya menunjukkan bahwa peristiwa yang satu beriringan dengan yang lain, bukan oleh yang lain dan tidak mempunyai sebab yang lain. Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali, Tuhan mampu membuat warna hitam (abu) pada kapas, walaupun tidak disentuh oleh api.Al-Ghazali menegaskan hal itu, tetapi filosof menolaknya.

Al Ghazali mengatakan bahwa api bukan sebagai pelaku sebenarnya. Sebab, jika seseorang membunuh orang lain dengan melemparkannya ke api, tentu penulis mengatakan bukan api yang membunuh orang itu. Tetapi, pelaku pembunuhan adalah orang tersebut, kendati api adalah sebab langsung. Karena itu, Al Ghazali berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang beriringan timbulnya membuat seseorang yakin bahwa fenomena yang muncul lebih awal adalah sebab bagi yang berikutnya, padahal itu hanya kebiasaan yang tidak perlu mendatangkan kemestian. Sebab, Allah menjadikan hal yang demikian dan Dia berkuasa untuk mengubah sifat-sifat yang ada jika dikehendaki-Nya. Menurut Al Ghazali peristiwa yang menyalahi hukum alam bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Sebab, semua berada dalam kekuasaan dan ilmu Tuhan yang penuh misteri.

Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. hlm.155. lihat juga Hasyimiyah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya media Pratama, 1999. hlm.77

Ahmad Syadani. Filsafat umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997. hlm.178. baca juga Christian D. Von Dehsen (1999). Philosophers and Religious Leaders: Volume 2 dari Lives and Legacies. Greenwood Publishing Group. hlm. 75.

Hermawan , Al-Ghazali. Kepustakaan Populer Gramedia, 1997. hlm. vii. Baca juga Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di perguruan tinggi. Yogyakarta: Gema Insani, 2006.hlm. 9.Lihat juga Ahmad Syadani. Filsafat umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997. hlm.178

Unduhan dari http://www.al-eman.com

Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.hlm. Marmura. Al-Ghazali The Incoherence of the Philosophers (2nd edition). Brigham: Printing Press

Oemar Husaen. Fisafat Islam. Jakarta: Bulan bintang, 1975. hlm. 21. Lihat juga Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.hlm. 182.

Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. hlm. 174.

Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. hlm. 175.

Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. hlm. 176.

Sirajudin. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.hlm. 174.



Etika dalam Pandangan Al Ghazali

Bisa dikatakan, Al-Ghazali adalah orang pertama yang memproklamirkan kajian tentang etika. Studi-studi tentang etika sebelumnya tidak begitu sempurna sampai akhirnya beliau menggelutinya dengan memberikan penjelasan dan sistematika yang runtut dan pemahaman yang mendalam. Beliau lah orang Islam yang pertama kali membukukan disiplin etika dengan kajian filosofis. Beliau menyusunnya berdasarkan semangat keislaman sufistik dan mengguna­kan berbagai studi filosofis. Al-Ghazali memberikan nama ilmu ini dengan beberapa nama seperti,  “Ilmu Jalan Menuju Akhirat”, “Ilmu Akhlak”, “Rahasia-rahasia interaksi keagamaan”  dan juga “Akhlak orang-orang baik”. Ilmu etika menurut Imam Al-Ghazali merupakan ilmu praktis dan bukan ilmu melalui proses penyingkapan. Ilmu etika adalah ilmu yang membahas tentang amal perbuatan lahiriyah dan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang agar perilakunya sesuai dengan semangat syariat.

Menurut Imam Al-Ghazali akhlak memiliki empat makna:

1. Perbuatan baik dan buruk.

2. Kemampuan untuk melakukan keduanya

3. Kemampuan untuk mengetahui keduanya.

4. Kecenderungan jiwa kepada perbuatan baik dan buruk.

Teori Al-Ghazali ini sejalan dengan empat teori keutamaan yang yang diserukan oleh Plato yaitu: hikmah (wisdom) kebijaksanan, keberanian, kesucian dan keadilan. Beliau berpandangan bahwa keutamaan merupakan moderasi antara dua ekstrimitas yang juga dikembangkan oleh Aritoteles. Beliau berkata,

“Barang siapa yang mampu menyeimbangkan perkara ini dan mampu menjadikan itu sebagai kebiasaanya maka itulah yang disebut dengan akhlak baik secara mutlak, dan barang siapa yang mampu melakukan itu sebagiannya saja sedangkan sebagian yang lain tidak dilakukan maka itu termasuk akhlak baik. Artinya orang yang memperbaiki beberapa bagiannya saja tanpa yang lain, dan memperbaiki potensi amarahnya, serta menyeimbangkannya disebut sifat baik, sedangkan orang yang memperbaiki potensi syahwat dan menyeimbangkannya dianggap telah menjaga kehormatan. Jika potensi amarah lebih dominan daripada penyeimbang yang membawa kepada semakin bertambahnya syahwat disebut ektrim. Jika potensi amarah cenderung semakin mengendor maka itu disebut penakut dan dianggap sebagai sebuah kelemahan. Jika potensi syahwat cenderung bertambah maka yang demikian itu disebut tamak atau loba. Jika potensi syahwat cenderung melemah maka yang demikian itu disebut statis, sedangkan sifat statis termasuk sifat yang hina dan tercela.

Hikmah adalah kondisi jiwa yang dapat mengetahui perbuatan baik dari perbuatan salah pada semua perbuatan yang telah dipilih oleh seseorang. Yang kami maksud dengan keadilan adalah kondisi atau kemampuan jiwa mendeteksi perasaan marah dan syahwat serta dapat membawa keduanya ke puncak hikmah, mendeteksi keduanya secara bebas dan mampu menekannya sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan yang kami maksud dengan keberanian adanya kekuatan amarah yang berawal dari rasio dalam menunjukkan sekaligus mengisinya. Sedangkan yang dimaksud dengan iffah adalah meminjam potensi syahwat dengan manajemen akal dan manajemen agama. Keseimbangan dari prinsip-prinsip ini semuanya akan memunculkan akhlak yang baik.

Al Ghazali menerima adanya kemungkinan perubahan etika,  dan bahkan beliau mengkritik pandangan orang yang meng­anggap bahwa etika tidak dapat berubah, dan bahwa etika sejalan dengan akumulasi karakter, dan bahwa etika adalah cerminan dari batin dan bahwa mujahadah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang tidak bermanfaat. Al Ghazali menjelaskan bahwa perubahan yang dimaksudkan bukan perubahan menjadi akhlak yang tercela dari sebuah jiwa sebagaimana yang diasumsikan oleh sebagian orang, akan tetapi maksudnya adalah keterhubungan dan pelatihannya. Demikian itu dilakukan untuk menemukan manfaat dari ciri-ciri humanistik semua manusia. Sedangkan mengenai bagaimana cara untuk menyempurnakan perubahan ini, Al-Ghazali memberikan isyarat untuk melewati beberapa fase terutama:

a. Mengetahui etika (akhlak) yang tercela

b. Mengetahui cara-cara pengobatan etika secara umum

c. Mengetahui metode mengukur dan mengobati secara khusus berbagai macam penyakit

moral yang rusak.

d. Manusia harus mengetahui aibnya sendiri.

e. Mengetahui kondisi tertentu bagi setiap individu secara mendetail.

Etika (akhlak) menurut Al Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan risiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawuf-nya dalam buku Ihya ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al Ghazali adalah teori tasawuf-nya. Mengenai tujuan pokok dari etika Al Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, yakni semboyan agar manusia mampu meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.

Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal ath-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersih rohani. Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) kepada Tuhan.

Tampaknya, Al Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, Al Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.

Menurut Al Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.

Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih. Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajan dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.

Menurut Al-Ghazali, Etika dibangun melalui kritik terhadap metafisika-dogmatik, Ia menganggap bahwa etika lebih unggul atas metafisika.  Al-Ghazali mulai menulis filsafatnya dalam kitab Tahafut Al-Falasifah dengan mengkritik Islamic Aristotelianism, platonism yang dibangun berdasarkan metafisika-dogmatik- emanatif pada masanya, seperti Al- Farabi dan Ibnu Sina. Tahab kedua wacana filsafat  Al-Ghazali yang membangun etika mistik yang orisinal tertuang dalam karyanya Mizan Al-‘Amal dan Ihya’ Ulumudin. Al-Ghazali menggunakan metode hipotesis, Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, contoh yang menonjol dari kerancuan sikap Al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya bagitu kabur karena dia menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia mempertahankan kedaulatan tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak tuhan. Penetapan Al-Ghazali dalam wilayah moralitas jauh lebih menonjol.

Dari sudut pandang teologis, ide Al-Ghazali tentang akhlaq atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide ”normatif”. Akhlaq tidak lebih dari wacana tentang “baik” dan “buruk” yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis. Etika mistik religiusnya hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah melihat tuhan. Dia tidak memiliki konsepsi mengenai kehidupan “sosial” secara umum, dan ini dapat dicapai hanya melalui penyucian “hati” dan hidup “menyendiri”

Al-Ghazali menolak metafisika rasional. Pendekatan terhadap sistem pemikiran Al-Ghazali mengarahkan kita  untuk menemukan hasil-hasil awal yang menarik tentang pemikiran filsafat. Ia menolak “rasio” sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis manusia. Ia memilih ”wahyu” melalui intervensi ketat dari syaih atau ”Pembimbing moral” sebagai pengarah utama bagi orang-orang yang pilihan dalam mencapai keutaman mistik. Al-Ghazali lebih mementingkan etika dalam ruhani dan memusatkan langsung dengan sang pencipta.

Sedangkan  konsep kausalitas Al-Ghazali didalam realitas fisik dilihat dalam kaitan dengan realitas metafisik. Bahkan kausalitas di dunia fisik sebagai bagian dari kausalitas dalam realitas metafisika. Jika demikian maka ilmu pengetahuan tentang fenomena fisik yang empiris tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan metafisik. Ini berarti bahwa sains merupakan bagian dari teologi.

Etika Bisnis Ghazali

Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Dengan kata lain pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.

Etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif. Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.

Ketika membahas tentang imam Ghazali, terutama mengenai etika bisnis, maka kita tidak akan lepas dari teori uang yang dirumuskan oleh beliau. Tujuh ratus tahun sebelum bapak ekonomi yaitu Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, Al Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelasakan, ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkan dan membutuhkan sesuatu yang dimilikinya. Hal inilah yang menjadi penyebab adanya konsep barter.

Konsep barter mempunyai berbagai kelemahan. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya bisa dilakukan apabila kedua belah pihak sama-sama membutuhkan. Al Ghazali berpendapat, dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi pula sebagai media penukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al Ghazali uang diibaratkan cermin yang tidak punya warna tetapi dapat merefleksikan semua warna.

Uang tidak memiliki harga, tetapi merefleksikan harga semua barang atau menurut istilah ekonomi klasik, uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), tetapi dapat dilakukan untuk membeli barang yang bermanfaat. Dalam teori ekonomi neo klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (indirect utility function). Apapun isi perdebatan para ekonom tentang konvensi ini, kesimpulannya tetap sama dengan Al Ghazali, bahwa uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.

Merujuk pada Al Qur’an, Al Ghazali mengecam orang yang menimbun uang, menurut beliau orang tersebut sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada sang pencipta dan kedudukannya lebih rendah daripada orang yang menimbun uang. Karena orang yang menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamanya. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan sama saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.

Kemudian tentang uang palsu, Al Ghazali mengecam dan beliau mengatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang jenis itu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Alasannya, mencuri adalah dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang-uang tersebut digunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu lama.

Dalam menjalankan aktifitas bisnis, Al Ghazali menekankan untuk senantiasa berpedoman terhadap etika bisnis  yang islami, Al Ghazali secara garis besar mengklasifikasikannya menjadi 8 etika, yaitu:

1.Aktifitas bisnis harus berlandaskan unsur keadilan, kebaikan, kebajikan dan tidak adanya

kedhaliman.

2. Harus ada kejelaskan antar para pelaku bisnis, sehingga tidak ada kecurangan.

3. Membina relasi bisnis dengan baik dan amanah.

4. Hutang piutang harus segera diselesaikan sebelum waktu yang disepakati.

5. Mengurangi margin dengan menjual lebih murah, dan pada gilirannya meningkatkan

keuntungan.

6. Aktifitas bisnis tidak hanya untuk mengejar keuntungan dunia semata, karena keuntungan

yang sebenarnya adalah akhirat.

7. Menjauhkan dari transaksi-transaksi yang syubhat.

8. Meraih keuntungan dengan pertimbangan risiko yang ada.

Selain mengungkapkan tentang etika bisnis yang islami, Al Ghazali juga mengungkapkan sekaligus memperingatkan tentang pelanggaran etika yang meliputi:

1. Eksploitasi

2. Hilangnya Kerelaan

3. Penipuan dan Kecurangan

4. Harta yang Batil

Al Ghazali menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun Al Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa paragraph dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang naik dari kiri bawah ke kanan atas,dinyatakan oleh Al Ghazali sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang murah”. Sementara untuk kurva permintaan yang turun dari kiri atas kekanan bawah dijelaskan sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.

Mengenai institusi perbankan, Al Ghazali menyebutkan dalam satu nafas antara keperluan adanya pencetakan uang dengan perlunya usaha perbankan. Al Ghazali menulis selanjutnya “kemudian timbul lagi kebutuhan akan adanya percetakan (mata uang) pelukisan dan perhitungan. Kebutuhan itulah menimbulkan perlunya rumah pembuatan mata uang dan kantor perbankan, dalam Ihya Al Ghazali menyebutnya dengan Sharafa dan Shayrafiy atau Ahayarifah”

Karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar menukar keuangan dan senantiasa berada dipinggir kota, Al Ghazali berulang kali memperingatkan agar para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba, ia menganjurkan agar berhati santun dan tidak kejam, berniat jujur dan memandang usahanya sebagai fardhu kifayah demi keselamatan umat dan kemajuan mereka. “Dan mereka membenci usaha perbankan karena memelihara diri dari praktik riba sangatlah sukar. Lagi pula dalam sifatnya yang lebih luas, pekerjaan bank bukan menuju barangnya tetapi pada kemajuannya dan kemajuannya itu baru terjadi (sempurna) keuntungannya kalau pihak langganannya tidak mengerti secara mendalam tentang soal uang. oleh sebab itu, sedikit sekali bank yang selamat dari dosa meskipun mereka sangat berhati-hati”.

Meskipun ada peringatan yang tajam, hal ini tidaklah berarti bahwa Al Ghazali menafikan peranan yang dimainkan oleh institusi perbankan dalam perekonomian. Al Ghazali memasukkan lembaga perbankan dalam usaha-usaha yang bersifat fardhu kifayah, yang harus dicita-citakan sebagai tugas penting bagi masyarakat, seperti disebutkannya lebih lanjut “kalau ditinggalkan, rusaklah ekonomi dan penghidupan umat serta kacaulah keadaan manusia”. Di sini, Al Ghazali tidak membicarakan letak ribanya yang disinyalirnya dalam soal perbankan. Ia hanya memperingatkan agar lembaga penting ini tidak terjerumus kepada larangan Allah.

Berangkat dari moral yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang baik, etika adalah sebuah sign (rambu-rambu) didalam bertindak yang akan membimbing dan mengingatkan kita untuk melakukan perbuatan yang terpuji yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Menimbun uang dari peredaran adalah contoh seseorang yang tidak beretika, bahkan Al Ghazali menyebutnya sebagai penjahat. Karena dengan menimbun jelas akan memperlambat perputaran uang, ini berarti akan memperkecil terjadinya transaksi perekonomian yang lemah, alias bisnispun akan macet.

Sebuah aktivitas perdagangan atau bisnis akan lebih teratur dengan adanya pasar, bagi Al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Lagi-lagi riba menjadi masalah yang kompleks, Al Ghazali memperingatkan agar kita tidak berhubungan dengan riba. Di dalam berbisnis kita dituntut agar berhati-hati, santun dan tidak kejam. Jelas, ini semua demi kemaslahatan umat dan kemajuan kita semua dalam berbisnis.

Pemikiran sesudah Al Ghazali berkembang kedalam arah yang baru yang dinamakan filsafat keagamaan yang murni atau agama filosofis. Serangan Al Ghazali sebenarnya tidak mematikan Filsafat dalam Islam. Sebaliknya terus bergerak hidup, tetapi filsafat tersebut berubah secara radikal karena pengaruh Mistisisme. Pemikiran yang pada awalnya bersifat rasional berubah menjadi usaha spiritual untuk hidup serasi dengan realita tersebut.

A.Biografi dan Pemikiran

Immanuel Kant 22 April 1724 – 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun)

Awalnya ia bernama Emanuel tapi berubah nama menjadi Immanuel setelah belajar bahasa Ibrani. lahir pada 1.724 di Königsberg. Dia adalah anak keempat dari sembilan anak, di antaranya hanya mencapai lima remaja. Dia menghabiskan seluruh hidupnya di dalam dan sekitar kota kelahirannya, ibukota Prusia Timur pada waktu itu, tanpa pernah bepergian lebih dari 150 km dari Königsberg. Ayahnya Johann Georg Kant (1682-1746) adalah pengrajin Jerman Memel , pada waktu itu kota timur laut dari Prusia (sekarang Klaipėda, Lithuania ). Ibunya Anna Regina Reuter (1697-1737), lahir di Nuremberg, adalah putri dari produsen Skotlandia pelana. Di masa mudanya, Kant adalah seorang mahasiswa konstan, meskipun tidak spektakuler. Dia dibesarkan di sebuah rumah Pietist yang menekankan ketaatan beragama intens, kerendahan hati pribadi, dan penafsiran literal dari Alkitab . Akibatnya, Kant menerima tegas pendidikan yang ketat, dan hukuman disiplin yang disukai-ajaran Latin dan agama atas matematika dan ilmu pengetahuan.

Kant menempuh pendidikan dasar di Saint George’s Hospital School. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Collegium Fredericianum. Kant kuliah di University of Königsberg  mempelajari filosofi, matematika, dan ilmu alam. Pada masa kuliah Kant berhubungan baik dengan Martin Knutzen, seorang dosen yang akhirnya memiliki pengaruh besar terhadapnya. Knutzen adalah murid dari Von Wolff (seorang Profesor logika dan metafisika). Dari Wolf inilah Kant banyak belajar tentang ilmu alam. Tahun 1755 Kant mendapat gelar Doktor dengan disertasi tentang Api. Pada tahun 1755-1770 Kant mengajar sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah ilmiah. Ia mendapat gelar profesor dari University of Königsberg pada 1770. Beliau adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad 18.

Kant merupakan perumus peran hakiki otonomi dalam moralitas. Kant menegaskan – dibawah label ”imperatif kategoris” bahwa moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin, dan bukan sekadar hal penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara agama atau adat istiadat. Secara sederhana Kant memastikan bahwa kriteria mutu moral seseorang adalah kesetiannya terhadap suara hati batinnya sendiri.

Kant juga membedakan antara hukum dan moralitas. Hukum adalah tatanan normatif lahiriah masyarakat. Lahiriah dalam arti bahwa ketaatan yang dituntut olehnya adalah pelaksanaan lahiriah, sedangkan motivasi batin tidak termasuk. Maka legalitas, ketaatan lahiriah terhadap sebuah hukum, peraturan atau undang-undang, belum berkualitas moral. Sikap yang berkualitas moral oleh Kant disebut moralitas. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum. Sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Sebuah hukum atau aturan dari luar hanya mengikat secara moral kalau diyakini dalam hati. Moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.

Epistemologi Kant pun pertama kali muncul di Jerman sebagai bentuk kritik Kant terhadap dogmatisme yang telah berkembang berabad-abad sebelumnya. Epistemologi Kant adalah filsafat yang mencoba memisahkan antara rasionalisme dan empirisme. Di dalamnya, terdapat kritisisme dan sintesisme. Pada dasarnya, Kant ingin mengubah permukaan filsafat secara radikal dengan melakukan sentralisasi pada diri manusia sebagai subjek berpikir. Implikasinya, Kant tidak mengawali dengan investigasi atas benda-benda sebagai objek, melainkan investigasi terhadap struktur-struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Dalam hal ini, tanpa kita sadari, sebenarnya, pengetahuan lahir karena manusia dengan akalnya secara aktif dan mengonstruksi gejala-gejala yang dapat ditangkap. Upaya-upaya filosofis Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.

Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan, di antaranya:


  1. Apakah yang bisa diketahui manusia untuk dapat dikerjakan?

Setelah melalui pemikiran alot dan studi komparatif, Kant menjawab dengan metafisikanya, yakni apa-apa yang bisa diketahui manusia adalah apa yang dipersepsikan dengan panca indra. Selain daripada itu, Kant menganggapnya hanyalah ilusi. Karena pengetahuan yang dihasilkan dari pikiran tanpa adanya bukti lewat penjelmaan indrawi hanyalah ide belaka..


  1. Apakah yang harus dilakukan manusia untuk dapat dikerjakan?

Jawaban ini menghasilkan filsafat etika Kant, Kant sendiri menjawab, yang harus dilakukan manusia adalah apa-apa yang harus bisa diangkat menjadi peraturan yang universal. Kant kemudian menyebutnya hukum moral. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan. Dalam etika berbisnis ekonomi, orang tidak boleh menipu. Begitu juga dengan kisah Nabi Khaidir tidak seharusnya membunuh anak kecil, meskipun sudah dicegah oleh Nabi Musa As.


  1. Apakah yang bisa diharapkan manusia?

Bagi Kant, yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Akal budi membentuk suatu konsepsi yang kemudian dibuktikan oleh indra. Dari akal budi inilah yang memutuskan pengharapan manusia. Rupanya kedua pemikiran mendasar ini yang menghantarkannya kepada dua perkawinan mazhab besar rasionalisme dan empirisme. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia. Menurut Kant, melalui bimbingan agama, pengharapan ini dapat diperoleh manusia.

Ketiga pertanyaan di atas ini bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan keempat: “Apakah yang dinamakan manusia?”

Menurut Kant, manusia adalah makhluk ganda yaitu yang mempunyai badan dan pikiran. Sebagai makhluk material, kita seluruhnya dan sepenuhnya tergantung pada hukum kausalitas yang tak terpatahkan, kata Kant. Kita tidak memutuskan apa yang kita lihat – penglihatan mendatangi kita karena adanya tuntutan dan mempengaruhi kita apakah kita menyukainya atau tidak. Tapi kita bukan semata-mata makhluk mateial kita juga makhluk berakal. Beliau menmbahkan bahwa manusia adalah organisme sosio budaya, hidupnya selalu melibatkan dirinya untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati. Karena sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.

Kritik atas Rasio Praktis

Dalam Kritik der Pratischen Vernunft (1788)  atau  Kritik atas Rasio Praktis Kant menyatakan bahwa rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan.  Sehingga  rasio disebut sebagai rasio teoretis  atau rasio murni. Selain rasio murni, ada rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan atau rasio yang memberikan perintah kepada kehendak manusia. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut sebagai postulat  rasio praktis yaitu:

1.Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di atas segala sesuatu yang ada di dunia.

2.Free Will yakni kehendak yang bebas

3.Tuhan

Kant sebagai pelopor filsafat etika yang dikenal dengan etika deontologis, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini ia menggunakan pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral dengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong hanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik yang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral.

Menurut Kant, manusia akan bersikap moral sungguh-sungguh apabila ia secara prinsip tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu sikap atau tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-norma atau hukum moral atau tidak.

Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam guna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana pun dan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalam prinsip-prinsip akal budi (rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang. Suatu sikap atau tindakan secara moral betul hanya kalau itu sesuai dengan norma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat setiap orang yang berakal budi.

Kant sangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukan demi tujuan-tujuan lain. Di dalam bukunya ia menyebutkan prinsip-prinsip dasar metafisika moral yang berisi tentang hal-hal yang baik sungguh-sungguh (tanpa syarat apa-apa) adalah kehendak baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban moral demi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidak hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugas dan kewajibannya tersebut. Pelaksanaan tugas dan kewajiban moral karena itu dianggap menguntungkan untuk dirinya atau orang lain, dianggap tidak ada kaitannya dengan moralitas.

Karena tujuan menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar moral yang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan apa yang secara konkret merupakan kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isi material tentang hal yang mesti dilakukan oleh seorang pelaku moral dalam situasi konkret. Norma dasar moral yang melulu bersifat formal itu dia sebut sebagai imperatif kategoris (perintah yang mengikat mutlak setiap mahkluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri). Rumusan pokok imperatif kategorisnya yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah tindakan berbunyi sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah tindakanmu itu bisa sekaligus kau kehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum". Sedangkan rumusan keduanya yang menegaskan prinsip hormat terhadap manusia sebagai pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri adalah: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain senantiasa sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagai sarana."

Kant menekankan bahwa prinsip moralitas bisa diturunkan secara apriori dari akalbudi murni yang tidak ditentukan baik oleh objek tindakan, oleh akibat-akibatnya, maupun oleh kepentingan-kepentingan subjek pelaku, maka etika deontologis Kant memberi dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral. Rasionalitas kesadaran moral menuntut bahwa penentuan benar salahnya tindakan atau baik buruknya kelakuan manusia itu bukan hanya perkara selera atau perasaan belaka dari orang yang memberi penilaian, melainkan bahwa itu berdasarkan suatu prinsip yang nalar (masuk akal). Keputusan moral itu bisa dan perlu dipertanggungjawabkan sehingga kebenarannya dapat diuji oleh orang lain. Objektivitas kesadaran moral juga dijamin oleh etika deontologis melawan arus subjektivisme dan relativisme, karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akalbudi murni itu prinsip yang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia sejauh ia mahkluk yang berakalbudi (rasional).

Kuehn, Manfred. Kant: a Biography. Cambridge University Press, 2001, h. 26. Lihat juga, Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. 1913. Pietist : sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme, yang berlangsung dari akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18.Gerakan ini bermula sebagai reaksi terhadap ritual-ritual yang mekanis dan formal yang mewarnai pelayanan di gereja Lutheran yang saat itu telah mapan, namun semakin kurang kebebasan untuk mengungkapkan iman secara lebih spontan

Immanuel Kant” Encyclopedia of World Biography

Imperatif adalah rumusan untuk mengungkapkan relasi antara kaidah-kaidah obyektif suatu tekad (wollen) dengan ketidak sempurnaan kehendak milik orang ini atau orang itu, contohnya kehendak manusia itu.
Suatu kaidah obyektif yang mengharuskan orang agar, misalnya, tidak menipu sebenarnya menuntut suatu tindakan yang pada dirinya sendiri harus dilakukan, terlepas dari soal apakah disenangi atau tidak, menguntungkan atau merugikan. imperatif kategoris adalah perintah yang menunjukkan suatu tindakan yang secara obyektif mutlak suatu tindakan yang secara obyektif mutlak perlu ada dirinya sendiri, terlepas dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut.
Apabila terjadi suatu tindakan, karena adanya sesuatu yang diinginkan itu dirasa berguna dan bermanfaat, maka tindakan itu disebut imperatif hhipotesis, berbeda dengan imperatif kategoris dimana Kant “prinsip yang praktis apodiktis” (apodiletisch “apsd”, tegas, bahasa jerman), sebab menyatakan suatu tindakan yang secara obyektif mutlak perlu pada dirinya sendiri, tanpa mengacu pada tujuan tertentu. Imperatif kategoris inilah perintah kesusilaan yang mutlak, dan semua tindakan yang diwajibkannya adalah baik dalam arti moral. Adapun cirri tindakan dari pada imperatif kategoris adalah didalamnya ada hukum umum, manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan otonomi manusia. Tjahjadi, Hukum moral : Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991. hlm. 136

[4]Allen, Wood, Kantian Ethics. Cambridge University Press, 2008. h. 66-67.

Kant, Immanuel. Foundations of the Metaphysics of Morals. Translate, Lewis White Beck. Page numbers citing this work are Beck's marginal numbers that refer to the page numbers of the standard edition of Königliche Preussische Akademie der Wissenschaften. Berlin, 1902–1938.

Stanford Encyclopedia of Philosophy: Immanuel Kant

Kant, Immanuel; Kitcher, Patricia (intro.); Pluhar, W. (trans.) (1996). Critique of Pure Reason. Indianapolis: Hackett. hlm. xxviii.

Singer, Peter. Hegel: A Very Short Introduction. Oxford University Press. 1983. hlm. 42

[9] Immanuel Kant, Fundamental Principles of the metaphysic of Morals, Project Gutenberg Ebook (Kata Pengantarh. vi) lihat juga, Crane, Brinton. "Enlightenment". Encyclopedia of Philosophy. 2. Macmillan h. 519.

Wikisource: Kant, Immanuel (1785) Groundwork of the Metaphysics of Morals.

Ini merupakan Postulat pertama, yakni akan adanya keabadian jiwa untuk mengalami harmoni antara moralitas dan kodrat. Pelaksanaan kewajiban moral di dunia ini tidak dengan sendirinya membawa kebahagiaan. Seandainya jiwa tidak abadi, tetapi habis dengan habisnya kehidupan di dunia ini, maka hidup menjadi tragis. Dari postulat ini nampaknya Kant mengharapkan adanya kebahagiaan. Di lain pihak ia menekankan bahwa pelaksanaan kewajiban moral, untuk menjaga kemurnian motivasi, harus melulu atas dasar sikap hormat terhadap hukum atau demi kewajiban itu sendiri. Si pelaku moral harus mengalahkan segala keinginan kodrati, termasuk keinginan untuk bahagia. Tetapi supaya kewajiban bisa dilaksanakan pelaku moral perlu merasa bahagia dalam melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan kewajiban senantiasa membawa rasa bahagia pada si pelaku. Menolak adanya dorongan atau keinginan kodrati untuk bahagia samasekali, sama saja menggagalkan apa yang diinginkan si pelaku moral tersebut.

Postulat kedua adalah adanya kebebasan; dalam kaitan dengan ini penulis menunjuk pertentangan antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan rasa sebagai suatu hal yang sentral dalam moralitas Kant. Hidup moral = hidup bebas = sepenuhnya menentukan diri berdasarkan prinsip akalbudi. Kontradiksinya menurut penulis terletak dalam pemikiran berikut: di satu pihak, setiap orang wajib untuk berjuang mencapai kesempurnaan dengan sepenuhnya hidup menentukan diri melulu berdasarkan prinsip akalbudi dan berjuang menundukkan segala kecenderungan perasaan. Di lain pihak kalau kesempurnaan/ kebebasan penuh ini tercapai, moralitas sudah tidak ada artinya lagi, karena inti moralitas justru terletak dalam kenyataan bahwa ada konflik antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan perasaan. Tugas untuk menjadi sempurna rupanya suatu tugas yang terus tidak ada habisnya

Postulat ketiga, mengenai adanya Tuhan sebagai penjamin keluhuran pelaksanaan tugas dan penjamin kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral, karena Tuhan pada dasarnya penguasa segala hukum alam semesta. Postulat ini, menurut penulis, bertentangan dengan usaha Kant untuk menekankan otonomi moral melawan segala bentuk heteronomi, termasuk heteronomi etika teonom. Sebab, dengan postulat akan adanya Tuhan yang diharapkan sebagai penjamin kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral karena Tuhan merupakan penguasa hukum alam semesta, apa yang semula dimaksudkan sebagai otonomi ternyata pada akhirnya jatuh ke heteronomi.

Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist theory of ethics).

[15] Inilah alasan Kant menolak kausalitas. Baca Nigel Warburton (2011). "Chapter 19: Rose-tinted reality: Immanuel Kant". A little history of philosophy. Yale University Press. h. 111

Kemurnian motivasi, Kant memakai istilah dengan “nalar murni” di dalam karyanya yang berjudul The Critique of Pure Reason. Nalar murni: kemampuan nalar untuk memahami, mencermati, dan menentukan kebenaran yang pada ujungnya bisa saja jadi kebenaran yang diklaim mutlak, contoh matahari menyinari dan bahkan menghidupkan bumi jadi sebuah ketegasan memahami dunia, menegaskan kebenaran yang sudah jadi, bukan kebenaran hasil dialog.

Kant, Imanuel. Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbott with an introduction by Marvin Fox ( New York: The Bobbs-Merill Company, Inc., 1949), p. 57.

I. Bambang Sugiharto, Agus Rachmat W. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Hlm.34.

Etika dalam Pandangan Kant

Kant membangun filsafat hampir sama dengan  Al Ghazali. Beliau menganggap bahwa etika lebih unggul atas metafisika, dengan menghabiskan waktu hampir sebelas tahun untuk merancang karyanya Kritik der Reinen Venunft, dalam karyanya ini kant dengan tegas mengkritik doktrin metafisika-dogmatik spekulatif, yang bercorak rasional, dengan konsep tentang konstitusi akal budi (constitutive use of mind), melalui konsep ini dengan mudah,  dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika rasionalnya.

Dalam pendekatan metodologis terhadap masalah, Kant memanfaatkan metode analitis. Kant dapat menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi spekulatif. Kant, melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan. Baginya, moralitas atau etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya moralitas merupakan hukum. Bahkan, ia adalah hukum universal yang mengikat seluruh manusia rasional.

Kant menegakkan keabsahan kebenaran pengetahuan dan prosedur untuk memperolehnya. Keabsahan pengetahuan dan kemustahilan metafisika, keduanya sama-sama memperoleh penekanan dari Kant.

Hukum Kausalitas Kant

Kant beranggapan bahwa baik ‘indra’ maupun ‘akal’ sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia. Dalam titik tolaknya kant setuju dengan hume dan kaum empirisis bahwa seluruh pengetauhan kita tentang dunia berasal dari indra kita. Tapi di sinilah kant mengulurkan tangannya kepada kaum rasionalis dalam akal kita juga terdapat faktor-faktor pasti yang menentukan bagaimana kita memandang dunia di sekitar kita.

Kant menyebut ‘waktu’ dan ‘ruang’ itu dua ‘bentuk intuisi kita. Dan dia menekankan bahwa kedua ‘bentuk’ ini dalam pikiran kita mendahului setiap pengalaman. Dengan kata lain, kita dapat mengetahui sebelum kita mengalami sesuatu bahwa kita akan mengaggapnya sebagai fenomena dalam waktu dan ruang. Sebab kita itu dapat melepaskan ‘kacamata’ akal.

Kant berpendapat bahwa waktu dan ruang pertama-tama dan terutama adalah cara pandang dan bukan atribut dan dunia fisik. Kant menyatakan bahwa bukan hanya pikiran yang menyesuaikan diri dengan segala sesuatu. Segala sesuatu itu sendiri menyesuaikan diri dengan pikiran. Kant menyebut Revolusi Copernicus dalam masalah pengetahuan manusia. Maksudnya adalah bahwa itu sama baru dan sama bedanya dari pemikiran sebelumnya seperti copernicus menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari bukan sebaliknya.

Hukum kausalitas itu kekal dan mutlak sebab akal manusia menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai masalah sebab dan akibat.

Filsafat kant menyatakan bahwa itu melekat pada diri kita. Dia setuju dengan hume bahwa kita tidak dapat mengetahui secara pasti seperti apa dunia ‘itu sendiri’. Kita hanya dapat mengetahui bahwa dunia itu seperti yang tampak ‘bagiku’ atau bagi semua orang. Sumbangan terbesar yang diberikan kant dan filsafat adalah garis pembatas yang ditariknya antara benda-benda itu sendiri das Ding as sich dan benda-benda sebagaimana yang tampak di mata kita.

Menurut kant, ada dua unsur yang memberikan sumbangan pada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang satu adalah kondisi-kondisi lahiriah yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya melalui persepsi indra. Kita menyebut ini materi pengetahuan manusia sendiri seperti persepsi tentang peristiwa-peristiwa sebagai yang terjadi dalam waktu dan ruang dan sebagai proses-proses yang sejalan dengan hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Kita dapat menyebut ini bentuk pengetahuan. Materi pengetahuan kita datang melalui indra, tapi materi ini harus sesuai dengan sifat-sifat akal. Misalnya, salah satu sifat akal adalah mencari penyebab dari suatu kejadian. Kant percaya, penting bagi moralitas untuk mensyaratkan bahwa manusia itu mempunyai jiwa abadi, bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas.

Kant selalu merasa bahwa perbedaan antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan. Dalam hal ini dia setuju dengan kaum rasionalis yang mengatakan kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah itu melekat dalam akal manusia. Setiap orang tahu apa yang benar atau yang salah, bukan karena kita telah mempelajarinya melainkan karena itu terlahir dalam pikiran. Menurut kant, setiap orang mempunyai ‘akal praktis,’ yaitu, kecerdasan yang memberi kita kemampuan untuk memahami apa yang benar atau salah dalam setiap soal.

Kant merumuskan hukum moral sebagai suatu perintah pasti. Dengan ini yang dimaksudkannya adalah bahwa hukum moral itu ‘pasti,’ atau bahwa ia berlaku untuk semua situasi. Lagi pula, ia berupa ‘perintah,’ yang berarti memiliki kekuatan dan kewenangan mutlak. Menurut kant, hukum moral itu sama mutlaknya dan universalnya dengan hukum kausalitas. Itu pun tidak dapat dibuktikan dengan akal, namun tetap mutlak dan tidak dapat diubah. Tak seorang pun akan menyangkalnya.

Kant beranggapan bahwa baik `Indra` maupun `akal` sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia. Tapi dia beranggapan bahwa kaum rasionalis melangkah terlalu jauh dalam pernyataan mereka tentang seberapa banyak akal dapat memberikan sumbangan, dan ia juga beranggapan bahwa kaum empiris memberikan tekanan terlalu besar pada pengalaman indra. Kant menyatakan bahwa bukan hanya pikiran menyesuaikan diri dengan segala sesuatu. Segala sesuatu itu sendiri menyesuaikan diri dengan pikiran. Kant menyebut ini Revolusi Copernicius dalam masalah pengetahuan manusia, dengan itu yang di maksudkannya adalah bahwa itu sama baru dan sama bedanya dari pemikiran sebelumnya seperti ketika Copernicius menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya.

Etika bisnis Kant

Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.

Etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antar semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sedangkan pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa untuk diwujudkan. Jadi jelas, untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

prinsip-prinsip yang seharusnya dipatuhi oleh para pelaku bisnis. Prinsip dimaksud adalah :

1.Prinsip Otonomi, yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil

2.Prinsip Kejujuran, bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis (missal, kejujuran dalam pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan lain-lain).

3.Prinsip Keadilan, bahwa tiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, artinya tidak ada yang boleh dirugikan haknya.

4.Prinsip Saling Mengutungkan, agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, demikian pula untuk berbisnis yang kompetitif.

5.Prinsip Integritas Moral, prinsip ini merupakan dasar dalam berbisnis dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.

Kelemahan Teori Etika Kant

kesulitan yang diajukan terhadap teori deontologi, khususnya terhadap pandangan-pandangan Kant, Pertama, bagaimana jadinya apabila seseorang dihadapkan pada dua perinth atau kewajiban moral dalam situasi yang sama, tetapi keduanya tidak bisa dilaksanakan sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan. Untuk memecahkan kesulitan pertama ini, Kant memberi dua hukum moral sebagai perintah tak bersyarat yang sekaligus dapat menjawab persoalan tersebut diatas. Hukum moral pertama, menurut Kant, berbunyi: bertindaklah hanya berdasarkan perintah yang kamu sendiri kehendaki akan menjadi sebuah hukum universal. Kedua, Kant juga mengajukan perintah tak bersyarat lainnya : bertindaklah sedemikian rupanya sehingga anda sealu memperlakukan manusia, entah dalam dirimu sendiri atau pada orang lain. Penganut etika deontologi sesungguhnya ytidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau buruknya.

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Untuk mengenal pemikiran Al-Ghazali, kita perlu meninjau empat unsur yang ditentang Al Ghazali, dan juga keempat-empatnya mempengaruhi pemikiran filsafatnya kelak dalam mencapai kebenaran, di antaranya adalah: unsur pemikiran kaum mutakallimin, unsur pemikiran kaum filsafat, unsur kepercayaan kaum batiniyah, dan unsur kepercayaan kaum sufi.

Al Ghazali dan Kant sama-sama menganggap bahwa etika lebih unggul atas metafisika. Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka, dapat diketahui bahwa Al Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama. Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama mereka sama. Al Ghazali berangkat dengan Tahafut Falasifah ketika mengkritik metafisika dan berakhir dengan Ihya’ Ulumuddin ketika membangun etika mistiknya, sedangkan Kant menghabiskan waktu hampir sebelas tahun untuk merancang karyanya Kritik Der Reinen Vernuft untuk mengkritik metafisika spekulatif-dogmatik spekulatif, yang bercorak rasional, dengan konsep tentang konstitusi akal budi (constitutive use of mind), dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika rasionalnya. Al Ghazali dan Kant juga sepakat dalam menekankan keunggulan etika atas metafisika.

Etika Kant pun lebih menekankan peran aktif manusia secara dinamis dan otonom dalam meraih keutamaan moral sehingga membuka ruang, termasuk bagi etika keagamaan lebih luas untuk membentuk bangunan pengetahuan yang lebih teliti dan lebih utuh. Ia dapat digunakan untuk menganalisis tidak hanya persoalan substansial etika, tetapi juga implikasinya terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.

Di pihak lain, etika mistis Al Ghazali lebih berorientasi pada penyelamatan individu di akhirat berdasarkan doktrin agama. Dan, karena penilaiannya yang rendah terhadap peran rasio dalam wacana etika, metode hipotetis Al Ghazali membuka hanya sedikit ruang bagi pengembangan pengetahuan dalam wilayah-wilayah lain kehidupan manusia.

Etika menjadi pembahasan lebih lanjut dari Immanuel Kant yang melahirkan filsafat etika yakni filsafat moral yang mengajarkan bahwa tindakan itu benar kalau ia selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Bagi Kant norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak.


  1. Etika yang dibangun melalui kritik terhadap metafisika-dogmatik, adalah pandangan Al Ghazali terhadap etika; etika dibangun melalui ”wahyu”, melalui intervensi ketat dari ”Syaih” atau ”Pembimbing moral” (sebagai pengarah utama bagi orang-orang yang pilihan) dalam mencapai keutaman mistik. Al Ghazali lebih mementingkan etika dalam rohani dan memusatkan langsung dengan sang pencipta, ia menolak metafisika rasional, sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis manusia.
  2. Etika yang dibangun melalui kritik terhadap metafisika-dogmatik, adalah  pandangan Kant terhadap etika; etika dibangun atas dasar analitis, dalam menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan. Penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan, esensi moralitas merupakan hukum. Kant menegakkan keabsahan kebenaran pengetahuan dan prosedur untuk memperolehnya. Keabsahan pengetahuan dan kemustahilan metafisika, keduanya sama-sama memperoleh penekanan dari Kant.
  3. Persamaan pemikiran Al-Ghazali dan Kant adalah:

a.Al-Ghazali dan Kant sama-sama menolak metafisika spekulatif dan mengunggulkan etika.

b.Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka, dapat diketahui bahwa Al Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama. Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama mereka sama.


  1. Perbedaan pemikiran Al-Ghazali dan Kant.

a.Metodologi Al-Ghazali bercorak etika mistik, religius, Kant bercorak rasional untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif..

b.Al Ghazali menggunakan pendekatan hipotesis, Kant pendekatan analitis.

c.Al Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, sedangkan bagi Kant keduanya (Ilmu-ilmu agam dan ilmu-ilmu rasional) adalah penting.

d.Hal yang menonjol dari kerancuan sikap Al Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya bagitu kabur karena beliau menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia mempertahankan kedaulatan tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak tuhan. Sedangkan Kant dapat menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi spekulatif.

e.Penetapan Al Ghazali dalam wilayah moralitas jauh lebih menonjol. Jika Kant, melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan, Al Ghazali tidak dapat melihatnya dari perspektif serupa.
Dari sudut pandang teologis Al Ghazali, ide tentang akhlaq atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide ”normatif”. Akhlaq tidak lebih dari wacana tentang “baik” dan “buruk” yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis. Sebaliknya, Kant dapat mengatasi kesulitan ini. Baginya, moralitas atau etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya moralitas merupakan hukum. Bahkan, ia adalah hukum universal yang mengikat seluruh manusia rasional.


  1. Implikasi dan konsekuensi pemikiran etika Al Ghazali dan Kant:

a.Implikasi dan konsekuensi pemikiran Al Ghazali berorientasi lebih pada penyelamatan individu di akhirat berdasarkan doktrin agama. Dan karena penilaiannya rendah terhadap rasio dalam wacana etika, metode al-Ghazali hanya sedikit membuka ruang bagi pengetahuan dalam wilayah wilayah lain dalam kehidupan manusia

b.Kant lebih menekankan peran aktif manusia secara dinamis dan otonom dalam meraih keutamaan moral sehingga membuka ruang, termasuk bagi etika keagamaan-untuk membangun pengetahuan yang lebih utuh. Ia dapat digunakan untuk menganalisis tidak hanya persoalan substansial etika tapi juga implikasinya terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.

Melihat perubahan sosial yang cepat dan transformasi budaya yang hebat adalah tugas kesejarahan yang besar untuk membangun pendekatan terhadap wacana etika yang ideal. Dengan demikian , dialog antara al-Ghazali dan Kant  diharapkan akan membuka jalan  menuju paradigma baru , dengan menciptakan dialog yang hidup antara tradisi yang berbeda, yaitu Barat dan Islam. Kerja sama antara “etika wahyu” Al-Ghazali dan “etika rasional” Kant, dapat dipakai untuk menyelamatkan manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan kepribadian.

Daftar Pustaka

Adian , Husaini. 2006. Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di perguruan tinggi.

Yogyakarta: Gema Insani.

Brinton, Crane (1967). "Enlightenment". Encyclopedia of Philosophy. 2. Macmillan.

Hermawan. 1997. Al-Ghazali. Kepustakaan Populer Gramedia.

H. De Vos. 2002. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya

Ignatius Bambang Sugiharto,Agus Rachmat W. 2000. Wajah baru etika dan agama.

Yogyakarta: Kanisius

Imanuel Kant. 1949.Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, Translated by

Thomas K. Abbott with an introduction by Marvin Fox.New York: The Bobbs-Merill

Company, Inc.

John Llewelyn. 1995. Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics. New York: Routledge

Manfred, Kuehn.2001. Kant: A Biography. Cambridge University Press.

Robert L. Holmes. 1998. Basic Moral Philosophy. New York : Wordsworth Publishing

Company

Singer, Peter (1983). Hegel: A Very Short Introduction. Oxford University Press

Wikisource: Kant, Immanuel (1785) Groundwork of the Metaphysics of Morals.

Wood, Allen (2008). Kantian Ethics. Cambridge University Press

Artikel bloggspot. Abdurrahman Adi. Teori Etika Bisnis. Februari 2012

Al Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. hlm. 140

Robert L. Holmes, Basic Moral Philosophy. New York : Wordsworth Publishing Company, 1998. hlm. 8.

Al Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. hlm. 82

A l Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. hlm. 84

Al Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. Hlm. 206

Al Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. Hlm. 88

Al Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. hlm. 120

Al Ghazali. Ihya Ulummuddin. Terjem. Prof. Tk. Ismail Yakub SH MA. Semarang: CV. Faizan, 1981. Hlm. 115

Robert L. Holmes, Basic Moral Philosophy, (New York : Wordsworth Publishing Company, 1998. hlm. 8.

John Llewelyn, Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics, (New York: Routledge, 1995), hal 25. Baca juga De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 23.

De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 24.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun