Dengan demikian, pendekatan teologi Hauerwas dengan pendekatan etika yang menekankan komunitas dan tradisi tetap dapat relevan dalam konteks Indonesia, tetapi perlu dilengkapi dengan sikap keterbukaan dan penghormatan terhadap tradisi atau nilai-nilai lain yang ada di dalam masyarakat. Gagasan Hauerwas ini, meskipun lahir dari konteks Amerika, tetap penting untuk mendasari peran setiap warga gereja di Indonesia dalam menjalankan perannya di ruang-ruang publik.
Falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh
Konsep Tri Tangtu merupakan konsep hidup masyarakat Sunda yang kental dan banyak diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hidup bermasyarakat. Dalam buku Kosmologi dan Pola Tiga Sunda karya Jakob Sumardjo dijelaskan bahwa Tri Tangtu dapat diartikan sebagai tiga ketentuan. Penataan dunia Sunda muncul dari keberadaan Sang Hyang Tunggal yang diyakini sebagai kesatuan dari tiga kemampuan yaitu keresa (kehendak), kawasa (kuasa), dan mahakarana (penyebab, pikiran). Sistem hubungan antara ketiganya dijelaskan dengan ungkapan tilu sapamula, dua sakarupa, hiji eta eta keneh yang artinya tiga pada awalnya, dua sama rupanya, dan esa yang itu-itu juga. Tilu sapamula inilah yang kemudian membentuk pola pikir masyarakat Sunda yang dikenal sebagai Tri Tangtu. Â Pola Tri Tangtu ini adalah tekad, ucap, dan lampah (perbuatan). Dalam sebuah naskah Sunda lama ada dikatakan:
"kalau tak ada penonton
kalau tak ada dalang
panggung kosong sepi
tinggal raga tanpa jiwa
yang lebih tak berarti
bila sudah ditinggalkan
lampah ucap tekad
aku ditinggalkan oleh Sanghyang Hurip."
Konsep Tri Tangtu ini juga sering disebut sebagai pandangan dasar hidup masyarakat Sunda. Sebagai pandangan hidup, ketiganya saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan terhadap manusia secara individu dan terhadap komunitas. Ketersalingan ini yang kemudian disebut dengan kata "silih". Kata ini menonjol dalam falsafah hidup Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Kata silih berarti menunjukkan adanya hubungan timbal balik atau saling berbalasan. Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh berarti saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh. Sumardjo berpendapat bahwa falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ini perlu diterapkan di zaman modern sebagai wujud aplikasi konsep Tri Tangtu. Falsafah ini memperlihatkan konsep Tri Tangtu sebagai sebuah sistem hubungan yang dinamis non-linear, yang mempersatukan di tengah perbedaan yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah ini dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat yang diharapkan dapat mewujudkan kualitas hidup manusia yang bermartabat. Praktik Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah menggambarkan kedudukan yang sejajar. Kesejajaran fungsi itu kemudian harus dipahami sebagai sebuah interkonektivitas atau ketersaling-hubungan satu dengan yang lain.Â
Stephanus Djunatan, dalam sebuah tulisannya memberikan sebuah cara pandang terhadap falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ini terhadap kehidupan gereja. Ia mengatakan bahwa Silih Asih merupakan sikap belas kasih atau berbela rasa satu dengan yang lain. Silih Asah berkaitan dengan pembinaan, dan Silih Asuh merupakan sebuah bentuk pola pengasuhan dan pemeliharaan. Ketiganya berkelindan membentuk sebuah kesatuan dengan adanya kata "silih". Relasi seperti ini yang dilihatnya dapat diterapkan dalam kehidupan komunitas gereja. Ketiga fungsi dalam falsafaf Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ini bukan hanya menjadi dasar relasi antar individu di dalam komunitas gereja, tetapi juga dapat mendasari relasi anggota komunitas gereja di dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain, falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh dalam budaya masyarakat Sunda perlu dihidupi dalam keseharian setiap warga gereja dalam menunjukkan kehadiran, peran bahkan wajah gereja di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Setiap orang dapat menjalankan fungsi saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan bermartabat. Nilai-nilai etis yang terkandung dalam falsafah ini merupakan narasi yang dapat melandasi setiap laku setiap warga gereja sebagai bentuk laku berteologi publik di tengah-tengah masyarakat.
Sebuah Ajakan
Dengan mengacu pada pemikiran Stanley Hauerwas tentang pentingnya narasi dan tradisi dalam komunitas, saya melihat bahwa falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh dalam masyarakat Sunda dapat menjadi landasan berteologi publik bagi warga gereja. Pendekatan budaya dapat menjadi salah satu jalan bagi seorang Kristen mengekspresikan teologinya. Falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh misalnya, ternyata sejalan dengan nilai-nilai Kekristenan yang menghidupi nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berteologi publik. Semua nilai tersebut juga menjadi penting untuk dihidupi sebagai dasar pijakan dalam kehidupan di ruang-ruang digital. Saya yakin bahwa sebenarnya dalam budaya-budaya lain juga memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang terkandung dalam falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Di sini saya mau mengajak kita semua khususnya sebagai warga gereja untuk dapat lebih menghidupi nilai-nilai budaya yang kita miliki untuk kebaikan bersama di ruang-ruang publik. Realitas di ruang-ruang digital yang cukup memprihatinkan seperti yang diungkapkan di awal tulisan ini perlu dinetralisasi dengan nilai-nilai kebaikan. Selain nilai-nilai Kekristenan atau nilai-nilai agama, kita juga memiliki nilai-nilai budaya yang kaya. Saya yakin itu semua adalah modal yang cukup untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan bermartabat. Sebagai warga gereja dan juga warga masyarakat, kita semua pasti mampu melakukannya. Mulailah dengan memberikan komentar-komentar yang positif dan santun, berikanlah pendapat yang membangun, atau pakailah bahasa-bahasa yang sopan saat berinteraksi dengan orang lain. Tunjukkanlah iman Kristen kita melalui unggahan atau komentar yang bermanfaat dan bermartabat di media sosial. Saat berdiskusi atau menyanggah pendapat orang lain pakailah argumen berbasis data yang sahih sehingga tidak jatuh pada jebakan hoax. Upayakan untuk tidak menyerang pribadi seseorang tetapi berikan sanggahan pada argumennya. Ingatlah bahwa meskipun tidak bertatap muka secara langsung tetapi interaksi kita tetap nyata adanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H