Saat ini kita semua tidak asing dengan dunia digital. Mau tidak mau, suka tidak suka makin lama kehidupan kita semakin akrab dengan dunia digital dan ruang-ruang digital. Berbagai aktivitas manusia terjadi di ruang-ruang digital. Banyak orang sudah mulai terbiasa bekerja di ruang-ruang digital. Sehari-hari banyak terjadi interaksi yang terjadi di ruang-ruang digital, entah dengan orang yang kita kenal maupun tidak kita kenal. Bahkan kini, manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhannya melalui dan di dalam ruang-ruang digital ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ruang-ruang digital ini juga menjadi locus yang kontekstual dalam kehidupan masyarakat. Bagi sebagian orang realitas ini adalah sebuah keniscayaan, namun ada juga yang menganggapnya sebagai momok yang menakutkan.
Kehidupan di ruang-ruang digital memang tidak selalu indah dan memukau, tetapi ternyata juga memprihatinkan dan mungkin menyeramkan. Cobalah lihat dan cermati data yang dipaparkan oleh Microsoft. Pada tahun 2021 yang lalu perusahaan besar ini merilis hasil studi tahunan mereka tentang keadaban digital masyarakat dunia pada umumnya.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa Indonesia berada di peringkat 29 dari total 32 negara (Indonesia News Center 2021). Ini artinya Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan digital paling rendah di Asia Tenggara. Warganet atau netizen Indonesia dinilai sebagai pengguna internet dengan tingkat kesopanan yang buruk. Ada tiga faktor yang disoroti yang memengaruhi risiko kesopanan warganet di Indonesia. Faktor paling tinggi adalah hoax dan penipuan yang naik 13 poin menjadi 47%, lalu faktor ujaran kebencian (hate speech) naik 5 poin menjadi 13%, dan yang terakhir adalah diskriminasi, yang turun 2 poin ke angka 13%. Tentu saja hasil penelitian ini bukan hal yang menggembirakan.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana warga gereja yang juga menjadi bagian warga masyarakat merespons realitas ini? Apa yang dapat dilakukan untuk menunjukkan peran dan tanggungjawab warga gereja dalam menjawab tantangan zaman di era digital? Landasan apa yang dapat dipakai sebagai dasar pijak warga gereja? Dalam tulisan ini saya akan mencoba menawarkan pendekatan budaya khususnya dalam budaya masyarakat Sunda yaitu melalui falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh.
Realitas Manusia di Ruang-ruang Digital.
Ruang-ruang digital, dengan berbagai kemajuan teknologi yang menyertainya, menjadi salah satu unsur yang turut membentuk dan membangun komunitas dalam masyarakat global. Jika demikian, manusia sebagai komunitas yang hidup dan berada di ruang-ruang digital disebut sebagai manusia digital (homo digitalis). Istilah homo digitalis ini dipakai oleh Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman untuk melihat sebuah perubahan besar dalam peradaban manusia yang muncul karena perkembangan teknologi digital yang sangat signifikan. Dalam bukunya yang berjudul Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam revolusi digital, Hardiman berpendapat bahwa perubahan besar dalam komunikasi digital bukan hanya mengubah gaya hidup manusia, tetapi juga pemahaman manusia tentang realitas dan tentang dirinya sendiri. Lebih lanjut, ia melihat sebuah keniscayaan tentang perubahan atau lebih tepatnya peralihan manusia dari homo sapiens menjadi homo digitalis. Menurutnya, saat ini ponsel pintar telah menjadi eksistensi pikiran manusia. Homo digitalis yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar manusia sebagai pengguna gawai, tetapi juga manusia yang menunjukkan eksistensinya dengan tindakan-tindakan digital seperti uploading, chatting, posting, dan selfie. Realitas masyarakat digital ini dapat ditemukan misalnya dalam berbagai platform atau aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Telegram, dll.
Dalam sebuah artikel, Yahya Afandi mengatakan bahwa gereja perlu mengambil kesempatan ini untuk berteologi di ruang-ruang digital sebagai sarana untuk melaksanakan Amanat Agung di era digital. Saya setuju dengan pendapat ini mengingat kenyataan pada saat ini bahwa masyarakat semakin akrab dengan ruang-ruang digital. Apalagi jika kita menyadari keberadaan kita, seperti yang dikemukakan oleh Hardiman bahwa manusia digital itu bukan hanya manusia sebagai pengguna gawai, tetapi, lebih dari itu juga turut merakit realitas digital.
Peran Komunitas menurut Stanley Hauerwas.
Stanley Hauerwas adalah seorang profesor di bidang etika Kristen. Dalam pandangannya tentang etika publik, Hauerwas berangkat dari kesadaran bahwa komunitas dapat terbentuk karena narasi tradisi yang dipegang oleh tiap anggotanya. Ia mengatakan bahwa hakikat dan struktur etika itu ditentukan oleh partikularitas yang dimiliki oleh komunitas. Dalam hal ini ia menunjuk pada gereja sebagai komunitas Kristen yang muncul karena memegang narasi-narasi yang menjadi tradisi Kekristenan. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa tugas pertama dari etika sosial gereja adalah menjadi komunitas yang melayani. Identitas sebagai bagian dari komunitas gereja harus menjadi identitas yang utama untuk ditunjukkan seseorang meskipun di saat yang sama seorang Kristen dapat menjadi anggota dari banyak komunitas. Menurut Hauerwas, penting bagi orang Kristen untuk menjadi agen moralitas.
Hauerwas menyebut gereja sebagai komunitas yang khas (distinctive society). Maksudnya adalah gereja atau orang-orang Kristen harus mampu menjadi komunitas yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai moral dalam Kekristenan dalam menjawab berbagai macam problematika di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan Hauerwas, dunia ini sedang mengalami kebangkrutan moral. Pandangan ini dapat dibenarkan saat kita menjumpai berbagai realitas seperti berita-berita bohong (hoax), ujaran-ujaran kebencian (hate speech), dan berbagai bentuk kekerasan yang masih banyak terjadi. Oleh karena itu, menurutnya, saat ini diperlukan sebuah upaya yang memformulasikan sebuah moralitas universal yang mampu membawa keteraturan serta menguatkan perdamaian. Hauerwas mengajak kita mengingat kembali bahwa yang membuat gereja menjadi gereja adalah kesetiaan yang sungguh-sungguh dalam menghadirkan kerajaan yang damai di dalam dunia. Inilah yang membedakan gereja sebagai komunitas dengan komunitas lain. Keunikan menjadi Kristen merupakan hal penting bagi Hauerwas. Artinya, menjadi seorang Kristen harus mampu menampilkan ajaran-ajaran Kristiani dalam setiap tindakannya. Inilah yang menjadi identitas Kristen. Gereja adalah a social ethic bagi Hauerwas. Tugas panggilan etis sosial gereja sebagai komunitas ini menjadi pondasi dalam teologi publik Hauerwas. Narasi-narasi Kekristenan merupakan komponen utama bagi komunitas Kristen untuk berperan dalam berbagai isu-isu publik. Hauerwas memperlihatkan pentingnya kekhasan identitas Kristiani dalam komunitas Kristen sebagai titik tolak dalam berteologi publik.
Joas Adiprasetya mengungkapkan bahwa yang menjadi kekuatan teologi Hauerwas adalah komunitas dan narasi. Kedua hal ini yang mendorong dan memengaruhi komunitas Kristen untuk menampilkan tradisi kebajikannya di ruang-ruang publik. Dengan memperlihatkan kekhasan tradisi dan kebajikannya, gereja sebagai komunitas Kristen dapat memberi kontribusi di ruang-ruang publik. Menurut Adiprasetya, gagasan Hauerwas ini memberikan dasar yang cukup dalam upaya menggagas teologi publik dalam konteks Indonesia, yakni komunitas dan tradisi. Akan tetapi, ia juga memberikan dua catatan penting terkait hal ini. Dalam sebuah artikel berjudul “In Search Of A Christian Public Theology In The Indonesian Context Today.” Joas Adiprasetya mengatakan,
"First, a community with a tradition of virtues could demonstrate its collective uniqueness in relation to other communities or traditions. But, any linguistic system such as the postliberal (intra-)textualism requires its members to perform some values under certain standards. Thus, if virtues and characteristics belong to the linguistic rule of a given community, through which selves try to fit themselves to the desired virtues, then the danger of sameness and homogeneity is obvious. Second, in an extremely complex society such as Indonesia, turning-to-tradition is not enough. Unless the Christian community becomes an open community, permeable to other communities, the danger of sectarianism and fideism is obvious."
Dengan demikian, pendekatan teologi Hauerwas dengan pendekatan etika yang menekankan komunitas dan tradisi tetap dapat relevan dalam konteks Indonesia, tetapi perlu dilengkapi dengan sikap keterbukaan dan penghormatan terhadap tradisi atau nilai-nilai lain yang ada di dalam masyarakat. Gagasan Hauerwas ini, meskipun lahir dari konteks Amerika, tetap penting untuk mendasari peran setiap warga gereja di Indonesia dalam menjalankan perannya di ruang-ruang publik.
Falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh
Konsep Tri Tangtu merupakan konsep hidup masyarakat Sunda yang kental dan banyak diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hidup bermasyarakat. Dalam buku Kosmologi dan Pola Tiga Sunda karya Jakob Sumardjo dijelaskan bahwa Tri Tangtu dapat diartikan sebagai tiga ketentuan. Penataan dunia Sunda muncul dari keberadaan Sang Hyang Tunggal yang diyakini sebagai kesatuan dari tiga kemampuan yaitu keresa (kehendak), kawasa (kuasa), dan mahakarana (penyebab, pikiran). Sistem hubungan antara ketiganya dijelaskan dengan ungkapan tilu sapamula, dua sakarupa, hiji eta eta keneh yang artinya tiga pada awalnya, dua sama rupanya, dan esa yang itu-itu juga. Tilu sapamula inilah yang kemudian membentuk pola pikir masyarakat Sunda yang dikenal sebagai Tri Tangtu. Pola Tri Tangtu ini adalah tekad, ucap, dan lampah (perbuatan). Dalam sebuah naskah Sunda lama ada dikatakan:
"kalau tak ada penonton
kalau tak ada dalang
panggung kosong sepi
tinggal raga tanpa jiwa
yang lebih tak berarti
bila sudah ditinggalkan
lampah ucap tekad
aku ditinggalkan oleh Sanghyang Hurip."
Konsep Tri Tangtu ini juga sering disebut sebagai pandangan dasar hidup masyarakat Sunda. Sebagai pandangan hidup, ketiganya saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan terhadap manusia secara individu dan terhadap komunitas. Ketersalingan ini yang kemudian disebut dengan kata "silih". Kata ini menonjol dalam falsafah hidup Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Kata silih berarti menunjukkan adanya hubungan timbal balik atau saling berbalasan. Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh berarti saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh. Sumardjo berpendapat bahwa falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ini perlu diterapkan di zaman modern sebagai wujud aplikasi konsep Tri Tangtu. Falsafah ini memperlihatkan konsep Tri Tangtu sebagai sebuah sistem hubungan yang dinamis non-linear, yang mempersatukan di tengah perbedaan yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah ini dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat yang diharapkan dapat mewujudkan kualitas hidup manusia yang bermartabat. Praktik Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah menggambarkan kedudukan yang sejajar. Kesejajaran fungsi itu kemudian harus dipahami sebagai sebuah interkonektivitas atau ketersaling-hubungan satu dengan yang lain.
Stephanus Djunatan, dalam sebuah tulisannya memberikan sebuah cara pandang terhadap falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ini terhadap kehidupan gereja. Ia mengatakan bahwa Silih Asih merupakan sikap belas kasih atau berbela rasa satu dengan yang lain. Silih Asah berkaitan dengan pembinaan, dan Silih Asuh merupakan sebuah bentuk pola pengasuhan dan pemeliharaan. Ketiganya berkelindan membentuk sebuah kesatuan dengan adanya kata "silih". Relasi seperti ini yang dilihatnya dapat diterapkan dalam kehidupan komunitas gereja. Ketiga fungsi dalam falsafaf Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh ini bukan hanya menjadi dasar relasi antar individu di dalam komunitas gereja, tetapi juga dapat mendasari relasi anggota komunitas gereja di dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain, falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh dalam budaya masyarakat Sunda perlu dihidupi dalam keseharian setiap warga gereja dalam menunjukkan kehadiran, peran bahkan wajah gereja di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Setiap orang dapat menjalankan fungsi saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan bermartabat. Nilai-nilai etis yang terkandung dalam falsafah ini merupakan narasi yang dapat melandasi setiap laku setiap warga gereja sebagai bentuk laku berteologi publik di tengah-tengah masyarakat.
Sebuah Ajakan
Dengan mengacu pada pemikiran Stanley Hauerwas tentang pentingnya narasi dan tradisi dalam komunitas, saya melihat bahwa falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh dalam masyarakat Sunda dapat menjadi landasan berteologi publik bagi warga gereja. Pendekatan budaya dapat menjadi salah satu jalan bagi seorang Kristen mengekspresikan teologinya. Falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh misalnya, ternyata sejalan dengan nilai-nilai Kekristenan yang menghidupi nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berteologi publik. Semua nilai tersebut juga menjadi penting untuk dihidupi sebagai dasar pijakan dalam kehidupan di ruang-ruang digital. Saya yakin bahwa sebenarnya dalam budaya-budaya lain juga memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang terkandung dalam falsafah Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Di sini saya mau mengajak kita semua khususnya sebagai warga gereja untuk dapat lebih menghidupi nilai-nilai budaya yang kita miliki untuk kebaikan bersama di ruang-ruang publik. Realitas di ruang-ruang digital yang cukup memprihatinkan seperti yang diungkapkan di awal tulisan ini perlu dinetralisasi dengan nilai-nilai kebaikan. Selain nilai-nilai Kekristenan atau nilai-nilai agama, kita juga memiliki nilai-nilai budaya yang kaya. Saya yakin itu semua adalah modal yang cukup untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan bermartabat. Sebagai warga gereja dan juga warga masyarakat, kita semua pasti mampu melakukannya. Mulailah dengan memberikan komentar-komentar yang positif dan santun, berikanlah pendapat yang membangun, atau pakailah bahasa-bahasa yang sopan saat berinteraksi dengan orang lain. Tunjukkanlah iman Kristen kita melalui unggahan atau komentar yang bermanfaat dan bermartabat di media sosial. Saat berdiskusi atau menyanggah pendapat orang lain pakailah argumen berbasis data yang sahih sehingga tidak jatuh pada jebakan hoax. Upayakan untuk tidak menyerang pribadi seseorang tetapi berikan sanggahan pada argumennya. Ingatlah bahwa meskipun tidak bertatap muka secara langsung tetapi interaksi kita tetap nyata adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H