Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menolak Hak Angket sebagai Sebuah Pilihan

27 Februari 2024   11:55 Diperbarui: 27 Februari 2024   11:58 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa saya menolak Hak Angket, padahal ini adalah bagian dari demokrasi ? Keberadaannya sah karena diatur dalam UU. Saya tegaskan, ini berkaitan dengan Hak Angket yang kini berhembus kencang akan dilakukan saat ini. Dengan dalih, mengusut dugaan kecurangan pada proses Pemilu yang baru saja selesai dilangsungkan pencoblosannya,  proses rekapitulasinya masih berlangsung. Hak Angket inilah yang saya tolak, bukan terkait dengan kebijakan pemerintah yang lain.

Saya memiliki harapan besar pada kesatuan bangsa. Seperti apa yang pernah diajarkan oleh guru-guru saya di bangku sekolah, bahwa kepentingan bangsa harus berada diatas kepentingan pribadi dan golongan. Untuk saat ini, saya merasa kesatuan bangsa menjadi hal yang sangat penting.

Saya memahami, Hak Angket adalah proses politik. Maka dasar yang akan dijadikan pegangan dalam proses menegakkan atau pencarian kebenaran adalah kepentingan. Sehingga yang akan terjadi adalah perdebatan menggunakan dalil dalil pembenaran berdasarkan kepentingan golongan yang melekat para anggota DPR. Kebenaran ada dalam hitung-hitungan kekuatan politik yang saat ini ada di lembaga legislatif tersebut. Itupun hasil dari Pemilu lima tahun sebelumnya, yang peta politiknya berbeda dengan realitas hari ini.

Tidak ada yang netral, semua punya kepentingan. Lantas siapa yang akan menjadi hakim yang semestinya netral?  Padahal mereka menganggap Bawaslu dan MK sudah tidak lagi netral, tetapi justru membawa persoalan pada lembaga yang sama sekali tidak netral. Belum lagi didominasi oleh mereka-mereka yang merasa dirugikan, karena dalam hitungan yang sedang berjalan, mereka kalah. Artinya pemenang akan diadili oleh yang kalah. Ini anomali.

Rakyat dengan beragam pilihan politik, terlibat langsung dalam proses Pemilu. Ini artinya secara emosional mereka terikat pada pilihannya masing-masing. Tidak ada yang bisa mengatakan bahwa pilihan si A yang benar dan B salah. Tidak ada yang boleh mengintervensi dan menghakimi pilihan rakyat, apalagi menghina dengan mengatakan bukan pilihan cerdas. 

Sejak awal, dasar memilih adalah hati nurani. Sementara dibanyak perdebatan media yang akan disoal dalam Hak Angket ini salah satunya adalah Bansos. Ini sama saja dengan menuduh sebagian besar rakyat Indonesia tidak memiliki integritas. Tidak bisa menentukan mana yang benar bagi diri sendiri dan bisa dibeli. Saya pikir ini merendahkan rakyat. Mengatakan jangan golput, tetapi melecehkan pilihannya hanya karena tidak sesuai dengan pikiran mereka para pengusung angket.

Perdebatan dalam sidang di DPR dapat menjadi narasi provokasi masyarakat yang memiliki keterikatan pada pilihannya. Ada pengamat yang sangat naif, dengan mengatakan bahwa Hak Angket adalah jalan terbaik daripada proses di jalanan. Bukankah proses politik yang bergulir di DPR selama ini selalu dibarengi dengan demo-demo dijalanan? Selama ini pendemo hanya berbenturan dengan petugas keamanan lapangan atau pengguna jalan yang terganggu.

Tetapi apakah akan sama ketika masing-masing anggota masyarakat merasa punya kepentingan untuk mengamankan pilihan berdasarkan hati nuraninya? Saya yakin pasti beda! Perdebatan di DPR akan menjadi provokasi dari pihak-pihak yang berbeda pilihan untuk berhadap-hadapan.  Belum lagi ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan. Jadi sudah ! Ingat, ada ribuan caleg gagal yang akan nimbrung juga di tempat itu.

Pelaksana Pemilu ditingkatan TPS, itu rakyat biasa, pemilih juga. Jika diangketkan meski yang disasar adalah pengambil kebijakan, namun sebagai pelaksana lapangan, mereka tetap saja menjadi pihak yang tertuduh. Narasi kecurangan, membuat KPPS tidak nyaman, padahal sebagian besar proses yang terjadi clear ditingkatan mereka. Jika ada kekeliruan, penyelesaian sesuai prosedur pun biasanya langsung dilakukan, termasuk PSU. 

Biasanya hal tersebut terjadi bukan sepenuhnya faktor kecurangan yang berdampak pada pidana Pemilu, melainkan soal prosedur yang kurang dipahami atau pemahaman proses yang berbeda. Bisa dipahami karena mereka bukanlah petugas yang berasal dari KPU pusat, tetapi warga biasa, biasanya pengurus RT, yang saya yakini pilihan politik mereka pun beragam. Menurut saya narasi kecurangan, seolah menihilkan kerja keras para relawan demokrasi tersebut.

Jika para politisi menganggap kecurangan adalah design, bahkan sudah sejak sebelum Pemilu dimulai. Pertanyaannya, mengapa para politikus itu tidak menghentikannya sejak awal, sebelum rakyat terlibat dalam prosesnya.  Sebelum terkotak-kotak dalam pilihan masing-masing, sehingga meminimkan benturan. Namun jika semuanya sudah berlangsung, kemenangan dan kekalahan sudah terpampang di depan mata, baru ada upaya menghentikan, ini bisa sangat menyakitkan.

Bisa saja saya keliru, tetapi hal-hal ini yang terpikirkan. Sehingga saya mengambil sikap menolak Hak Angket. Namun jika akhirnya tetap bergulir, semoga kekuatiran saya ini tidak terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun