Menikah adalah soal komitmen dengan segudang aturan  agama, sosial dan formal yang menyertainya. Di dunia yang mendorong jalannya kehidupan ke arah serba praktis, sepertinya menikah dengan komitmen dan tanggungjawab seperti itu tidak berjalan searah dengan perubahan tersebut. Karena tidak membuat kehidupan menjadi lebih mudah. Terlebih tidak ada aturan sanksi formal yang membuat seseorang harus menjalani tanggungjawab itu.
Sementara kebutuhan mendasar yang semestinya diperoleh dalam ikatan pernikahan, bisa saja diperoleh tanpa ikatan legal formal tersebut.
Bisa juga teralihkan oleh beragam  aktifitas sosial dan kesibukan kerja. Sehingga mimpi-mimpi keluarga bahagia, telah tereduksi kedalam pribadi-pribadi bahagia. Tanpa harus membangun kehidupan bersama dalam sebuah keluarga. Toh, mereka sesungguhnya sudah berasal dari sana dan masih memilikinya.
Fakta bahwa ikatan perkawinan formal juga rentan kegagalan terpampang nyata. Begitu mudah diakses datanya. Belum lagi kekerasan rumah tangga yang acap kali diperbincangkan di ruang-ruang publik. Menambah kuatnya alasan mengapa seseorang sungguh punya 'hak' untuk bahagia meski sendiri.
Di dunia kerja, ada yang memiliki aturan melarang pegawai suami istri bekerja di tempat yang sama. Jika mereka menikah, salah satu harus rela dipindah. Itupun jika memiliki cabang di tempat lain, jika tidak, maka salah satu pihak harus mengalah. Di sanalah berkembang pemikiran, karier atau cinta.
Padahal kesibukan kerja delapan jam sehari, lima hari seminggu. Belum ditambah lembur dan ketercapaian target. Ruang gerak seseorang pasti dihabiskan di lingkungan kerjanya tersebut. Sangat mungkin menemukan sosok pasangan di sana.
Dunia yang semakin tak terbatas menjadi sangat terbatas untuk urusan menemukan sosok tepat pendamping hidup. Tetapi regulasi tempat kerja tidak mendukung. Alhasil, pernikahan menjadi dilema.
Meski tidak tercatat, masyarakat dalam ikatan-ikatan budaya memiliki standar norma sosialnya sendiri dalam menilai sosok yang pantas melangsungkan pernikahan. Bobot, bibit, bebet begitu ungkapannya. Norma itu juga dimaknai secara beragam oleh keluarga-keluarga yang hidup di dalamnya.
Apalagi di dalam kebudayaan Timur, menikah bukan hanya sebatas urusan dua insan yang jatuh hati, tetapi penyatuan dua keluarga besar. Akan semakin berat langkah kearah jenjang pernikahan, meski dua hati telah menyatu apabila standar-standar yang ditetapkan keluarga ada yang tidak sama. Ukurannya berbeda dari setiap keluarga, tidak melulu soal materi.
Urusan membangun keluarga bahagia, yang semestinya menjadi fokus mereka yang akan menikah seringkali teralihkan oleh urusan-urusan yang kadang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
Sehingga menikah, sepertinya butuh keberanian ekstra, sementara dunia menawarkan hal-hal yang tidak serumit itu untuk bahagia. Maka godaan kearah pilihan tersebut menjadi semakin kuat. Dan jika itu yang kemudian terjadi, benar kita akan mengalami resesi seks.
Jika resesi seks adalah persoalan, saya berpikir perlu adanya tindakan nyata dari semua pihak, termasuk pemerintah. Jika sebelumnya saya mengatakan bahwa pernikahan adalah soal komitmen dan tanggungjawab dalam membangun kehidupan bersama, itu tidak hanya soal keberanian di awal, lantas berhenti di sana. Tetapi proses kontinyu hingga akhir hayat. Sehingga peran yang perlu diambil pemerintah adalah 'membangun keberanian ', bahwa mereka tidak sendirian ketika telah berani memutuskan menikah, tetapi pemerintah akan mendampingi.
Tentunya dengan beragam kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan. Ada jaminan, bahwa pernikahan tidak membuat kemudian lantas mereka sengsara, salah satunya dengan akses-akses perekonomian yang seringkali menjadi pemicu bubarnya sebuah rumah tangga yang telah dibangun.
Saya yakin masih banyak lagi yang bisa dilakukan, sesuai dengan persoalan-persoalan yang telah saya kemukakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H