Pandemi memang belum berakhir, bahkan tanda untuk itu pun masih tertutup kabut. Serba gelap. Tetapi berdasar pengalaman yang sudah-sudah, akhir itu pasti ada.
Sebagai guru, meski awalnya tergagap, meski sampai hari ini juga masih, saya mulai terbiasa dan menikmati pembelajaran jarak jauh ala pandemi ini. Ada begitu banyak hal menjadi lebih praktis, bahkan dalam beberapa aspek, transfer of knowledge bisa lebih efisien. Meski butuh waktu lebih banyak untuk mempersiapkan konten pembelajaran.
Sebagai guru jadoel, keadaan memaksa saya juga untuk menghasilkan produk digital yang memudahkan proses belajar. Bisa dipelajari berulang-ulang dan proses evaluasi yang ternyata tidak ribet. Banyak orang baik di dunia maya yang memberikan ilmunya secara gratis. Saya bisa banyak belajar dari mereka.
Tetapi memang, pendidikan holistic itu bukan hanya soal pengetahuan, namun juga ketrampilan dan sikap. Lebih jelasnya; Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis, meliputi potensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Segala sesuatu yang menjadikan seseorang lengkap sebagai manusia. Proses daring alias PJJ tidak dapat memenuhi semua kebutuhan proses tersebut.
Ini artinya, proses tatap muka, yang membutuhkan ruang masih tetap diperlukan. Jadi gedung dan ruang kelas, meski guru dan siswa mulai menikmati proses daring, masih memiliki harapan untuk kembali diisi ketika pandemi ini telah benar-benar berakhir. Persoalannya, apakah keadaannya akan sama dengan masa-masa sebelum pandemi ?
Pandemi dan Lahirnya Kesadaran Baru
Pembelajaran Jarak Jauh ( PJJ ) memaparkan fakta bahwa ada cara praktis dan murah untuk mendapatkan pengetahuan. Siapapun bisa belajar apapun dari siapapun, dimanapun, meski terpisah dalam jarak dan ruang. Bahkan hanya menggunakan beberapa aplikasi prosesnya bisa sama persis dengan proses pembelajaran di kelas. Tentu fakta ini akan ditangkap oleh para pelaku usaha di bidang pendidikan, bukan tidak mungkin akan semakin banyak institusi pendidikan baik formal maupun non formal yang menawarkan proses pendidikan ala pandemi ini. Pastinya dengan biaya yang lebih terjangkau.
Karena praktis, tidak menutup kemungkinan, ke depan siswa akan memilih proses pembelajaran yang demikian. Terjadi migrasi besar-besaran, dari pendidikan konvensional, ke proses pendidikan daring. Selama kebijakan yang di buat memungkinkan hal tersebut. Namun saya pikir, fakta tidak akan diingkari oleh pengambil kebijakan. Sehingga cepat atau lambat, hal itu akan terjadi.
Meski di awal tadi saya sampaikan bahwa gedung dan ruang kelas tidak akan kesepian, fakta ini menunjukkan bahwa situasinya tidak akan benar-benar sama. Lantas akan seperti apa ?
Jika gedung sekolah dan ruang kelas, hanya akan menjadi tempat belajar pengetahuan, maka hal itu pasti akan ditinggalkan. Â Untungnya, proses konvensional juga tidak hanya melakukan hal tersebut. Buktinya, ada banyak kisah cinta yang terjadi di masa SMA? Kisah-kisahnya juga banyak yang difilmkan, bikin meneteskan airmata, karena ingat masa muda. Artinya, gedung sekolah juga adalah ruang bagi sosialisasi.
Di tulisan sebelumnya, juga ruang bagi pendidikan emosional, estetika dan juga spiritual. Sehingga fungsi-fungsi inilah yang kelak harus dikembangkan dalam mengelola gedung sekolah beserta fasilitasnya. Bukan lagi menjadikannya untuk semata-mata ruang belajar, Â sementara yang lainnya hanya pelengkap. Situasinya harus dibalik, sebagai ruang belajar gedung sekolah hanya akan menjadi pelengkap, sebagai ruang aktualisasi diri peran itu harus diperbesar. Bagaimana? Mudah-mudahan ditulisan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H