Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kehidupan Hanya Sebatas Ingatan

20 Juni 2020   07:25 Diperbarui: 20 Juni 2020   07:31 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan  itu selalu berproses membentuk kenangan. Disengaja atau tidak, keberadaannya nyata. Suka atau tidak, dengan sendirinya itu tercipta. Menjadi bagian terbesar dalam kehidupan. Melekat di kepala, mempengaruhi hari ini dan hari-hari selanjutnya.

Sebagian ada yang mampu mentertawakan apa yang telah terjadi itu, menjadikannnya bahan introspeksi. Sebagian ada yang bersenang-senang, membangun kebanggaan daripadanya dan ia bawa kemana-mana.  Tidak sedikit juga yang menangisinya, terluka dan mencoba lari bahkan melupakannya, tetapi gagal dan selalu gagal lagi.

Ada begitu banyak cara memperlakukan kenangan. Bagian dari masa lalu yang tercipta itu. Bukan tujuan, tetapi masa lalu selalu melahirkan kisah pencapaian. Pada saat itu, semua tergantung darimana keberadaannya akan dinilai. Berharga atau tidak itu tergantung tafsir masing-masing. Tidak perlu sama antara satu dengan yang lainnya. Meski barangkali faktanya bisa jadi sama.

Masa lalu, selain melahirkan kenangan, juga pengalaman. Sang guru yang selalu datang terlambat. Tetapi menjadi hal terpenting dalam proses pembelajaran. Memberi banyak pengetahuan tentang bagaimana hidup sebaiknya berproses. Bukan hanya teori tetapi empiris. Meski belum tentu itu menghasilkan pencapaian terbaik sesuai keinginan di kepala. Tetapi setidaknya menghasilkan keputusan terbaik saat memutuskan. Sehingga ini bukan tentang hasil yang memiliki kesepadanan dengan ide di kepala. Bukan tentang itu, tetapi tentang bagaimana sebaiknya hidup diarahkan.

Ada yang bilang, orang tidak mengingat hari, namun mengingat momen, apa yang terjadi. Begitulah kenangan menjadi bagian yang tertinggal dari masa lalu. Sehingga sebenarnya kehidupan itu, ya sangat terkait erat dengan ingatan. Bagaimana hidup, tergantung bagaimana ingatan bekerja. Lantas bagaimana itu berdampak, juga tergantung bagaimana hal tersebut dinikmati.

Seperti lidah, hanya mengenal beberapa rasa. Pahit, manis, asin, lantas kepalalah yang menyimpulkan, enak atau tidak. Ada yang merasa bahwa pahit itu enak, tetapi ada juga yang bilang, manislah yang enak. Tidak harus sama. Demikian juga dengan bagaimana setiap kenangan dinikmati.

Terluka, termasuk bagian dari proses yang menjadi "penting" dalam menjalani kehidupan. Menciptakan momen. Terekam otak, tersimpan di kepala. Filenya mungkin tidak akan terhapus. Sekeras apapun kita mencobanya. Kecuali, membentur-benturkan kepala yang mengakibatkan vonis dokter, amnesia. Tetapi bukan hanya satu file memori yang terhapus, melainkan semuanya. Itu jika kita mau seperti zombie, manusia tanpa memori. Hidup tetapi kehidupannya tidak nyata.

Tidak ada yang ingin terluka, tetapi tidak ada juga yang bisa menyangkal jika hal tersebut harus  dialami. Penyebabnya bisa beragam. Kadang bahkan hanya sesuatu yang sangat biasa. Tetapi, berhasil mengguncang perasaan. Entah kenapa, tidak mudah untuk menemukan jawabannya. Waktulah yang akhirnya menunjukkan, jika sebenarnya itu biasa. Bukan pada saat mengalaminya.

Waktu memang tidak pernah berpihak. Mempercepat atau memperlambat suatu keadaan. Jadi jangan berharap, bersenang-senang dalam waktu yang lama atau berduka dalam waktu yang lebih cepat. Karena bukan tugas waktu menghadirkan keadaan, bukan waktu yang menentukan momentum. Tetapi keadaan dan momentumlah yang menandai waktu. Memberi titik pada garis perjalanannya. Karena ia tidak pernah berhenti. Melaju mengikuti kehendak semesta.

Ada yang mampu menyambut luka sebagai kenangan yang memantik semangat hidup. Kisah-kisah orang besar atau mereka yang dianggap sukses banyak yang diawali dengan narasi luka. Dibuang keluarga, hidup penuh derita, dihina, diputus kekasihnya, dan masih banyak yang lainnya. Mulai dari sendu sedan biasa, hingga ke penderitaan tak terperi. Lengkap. Namun mereka berhasil menggunakan luka untuk menyemangati diri. Meski ada yang membumbuinya dengan dengan dendam. Memanipulasi rasa. Tidak menutup kemungkinan juga berdamai dengan luka itu. Mensenyuminya dengan bahagia.

Saya pernah terluka. Sering malah. Karena dulu saya itu gampang jatuh cinta. Setiap ada perempuan cantik melihat dan tersenyum ke saya,  bisa jatuh cinta.  Esoknya, saya lihat dia jalan berdua dengan cowok lain. Saya terluka. Bahkan saya lebih terluka, karena saya tahu tidak mungkin bisa bersaing dengan cowok lain itu. Selain dia punya banyak kelebihan, saya juga kuatir semakin terluka jika memaksakan diri dan akhirnya ditolak. Anda bisa bayangkan, saya bisa dengan mudah terluka hanya karena berpikir takut terluka. Kronis kan?

Poinnya, untuk merasa terluka, itu memang benar-benar ada begitu banyak cara. Tinggal pilih mau terluka dengan cara apa. Tetapi menghidupi rasa terluka, itu juga ternyata melukai. Mengekalkan kenangan dengan penderitaan. Membuat hidup tambah perih. Menurunkan imun yang memudahkan covid menyerang. Amit-amit deh!

Padahal saya punya banyak kesempatan untuk membuat luka itu menjadi bahan tertawaan. Seperti orang bilang, orang yang bahagia itu adalah orang yang bisa mentertawakan dirinya sendiri. Lucu saja, kenapa saya bisa terluka. Melewatinya, bahkan masih hidup hingga hari ini. Caranya, saya perlu melihat kembali kenangan luka itu dengan berbagai cara dengan kacamatanya. Mungkin saja bisa, tetapi saya juga tetap ingin tetap bahagia jika akhirnya harus kembali menangis.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun