Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Keajaiban

3 Juni 2020   07:40 Diperbarui: 3 Juni 2020   07:43 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dinginnya Kopeng menusuk hingga ke tulang. Jaket Eiger yang berkali kali kugunakan untuk menaklukkan Merbabu, akhirnya kukenakan lagi. Setelah sempat kulepas dan hanya mengenakan sweater abu-abu. Khas warnaku.

Kabut, kembali menebal setelah beberapa saat sempat menghilang. Matahari belum menunjukkan diri atau barangkali enggan mengganggu. Mungkin saja ia tahu, ada sepasang anak manusia yang sedang mencoba menikmati kehangatan meski tanpa kehadirannya.  Kehangatan dari sebuah rasa ajaib yang bernama cinta.

"Coba sate kelinci yuk!"

Alina mengangguk. Ia masih saja mengatupkan kedua tangannya, seperti orang berdoa. Mulutnya mendesis, mengekspresikan bahwa dirinya kedinginan. Perlahan ia melangkah mendekatiku. Kurengkuh tangannya. Terasa dingin sekali. Jemarinya mengerut.

"Kamu nggak tahan dingin?"

"Nggak apa-apa."

Alina mengajakku ke Kopeng. Puncak yang terletak antara kota Salatiga dan Magelang. Hanya butuh waktu setengah jam dari Salatiga dengan naik motor. Ia ingin refresing, menikmati Sunrise. Tetapi bukannya matahari yang kami dapat, justru kabut tebal.

Subuh kami berangkat. Han meminjami aku motor. Modal perjuangan dia bilang. Sebagai sahabat, ia sangat mengerti sobatnya yang anak rantau ini. Butuh banyak support. Apalagi di saat-saat seperti ini, ketika semuanya harus dipertaruhkan untuk mengambil hati. Meski aku berkali-kali meyakinkan dia, bahwa aku akan maju dengan menjadi diriku sendiri. Apa adanya. Tapi dia justru bilang, "kamu kan nggak ada apa-apanya."  Kami semua tertawa. Obrolan mengisi waktu luang ketika lagi bersama.

Beberapa kali, teman-temanku juga bilang, "Alina sudah buta kali ya Ndes." Kecuali Mang Sat, yang selalu kasih jempol saat melihatku bersama Alina. Sejak awal, ia memang mendukungku. Meski jadi bahan bercandaan, tetapi sejujurnya aku tahu, semua teman-teman itu juga mendukungku. Mirip seperti saat aku terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas dulu.

Alina, jelas berbeda denganku. Kulitnya putih bersih, layaknya gadis keturunan Tionghoa. Aku gelap, temaram, begitu aku memberi gradasi dari gelap pekat. Ibaratnya seperti siang dan menjelang petang. Wajahnya mempesona, daya pikatnya sempurna. Pun juga aku, jika urusan daya pikat, aku juga punya. Setidaknya beberapa mahasiswa Jepang yang ikut kuliah musiman di kampus pernah bilang, aku ini eksotis. Jawa tulen kelahiran Sumatera. Jika kini kami bersama, orang dengan mudah menyebutnya, keajaiban.

Keturunan dan tulen, masih menimbulkan perdebatan dalam perbincangan awam. Mereka mengenalnya dengan istilah pribumi dan nonpribumi. Masing-masing pihak membangun prasangkanya sendiri. Menganggap diri lebih baik ketimbang yang lainnya. Mungkin hasil tinggalan pemikiran penjajah yang terus bertahan. Merdeka secara geopolitik, tidak selalu dibarengi dengan merdeka dari hegemoni berpikir orang-orang yang menjajah. Merdeka tetapi masih berpikir ala orang-orang terjajah.

Kala itu, Belanda memang membuat orang-orang di negeri ini terpisah. Bersama, tetapi dibuat seperti minyak dan air. Meski keduanya tampak cair, tetapi tidak menyatu. Bukan sepenuhnya salah mereka para penjajah itu, tetapi mereka hanya memanfaatkan potensi agar tetap terus bisa berkuasa. 

Masyarakat kita begitu mudah di cerai beraikan hanya karena sedikit perbedaan. Memanfaatkan para penguasa lokal yang bernafsu ingin saling berkuasa. Begitulah cara mereka bertahan di negeri penuh rempah ini. Juga menciptakan klasifikasi itu. Mereka para orang Tionghoa, berada di kelas nomer dua. Sementara, penduduk lokal hanya menjadi kelas tiga. Inlander. Para penjajah, ada di puncak klasifikasi. Sempurna.

Menghidupi bahwa antara kita tidak sederajat,  berbeda, keturunan Cina dan pribumi, Inlander, berarti mengekalkan gagasan yang pernah dibangun kolonial. Padahal kita sudah merdeka berpuluh tahun silam. Tetapi fakta itu, kuakui masih ada, kental dan belakangan ini kurasakan semakin mengental.

Kupandangi wajah Alina. Dari katun yang melindungi wajahnya dari udara dingin, kulihat gurat sempurna itu. Aku tahu, tidak mudah perjalanan yang akan segera berlaku. Tetapi aku tidak ingin berpikir terlalu jauh. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan ini. Esok akan memiliki kesusahannya sendiri lengkap dengan solusinya. Begitu para pendeta sering berkhotbah.

Kulihat senyumnya merekah, ketika bau daging panggang kelinci mulai memasuki hidung kami. Diantara asap yang mengepul liar menerobos sela dinding warung. Menawarkan kelezatan. Ke tempat itulah, kugenggam Alina menyambut pagi. Menggulirkan mimpi yang kelak akan menjadi tujuan kami. Hari ini telah kumulai, ingin kunikmati semua hal yang akan terjadi. Meski kabut belum sepenuhnya pergi. Tetapi aku melihat mulai ada harapan untuk melihat matahari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun