Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpikir Beda untuk Menemukan Makna Pancasila

1 Juni 2020   10:10 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah kesempatan di kelas. Saya melontarkan pertanyaan, "mengapa para pendiri negara ini memilih Pancasila sebagai ideologi negara?" 

Jawaban para siswa sebagian besar hasil dari proses belajar sebelumnya. Relatif seragam. Tidak salah, tetapi jujur tidak memuaskan hati. Sebab sebagai guru kadang saya membangun ekspektasi bahwa ada lontaran-lontaran out of the box. Kontroversial yang memancing terjadinya "guncangan pemikiran". Ini bisa menjadi pemantik diskusi yang menyenangkan di dalam kelas.

Jika tidak ada, biasanya saya menyiapkan beberapa pernyataan yang bisa saja itu "mengganggu pemahaman" yang selama ini mereka miliki. Tetapi ketika pokok bahasannya Pancasila, saya akui memang tidak mudah. Terlebih di era keterbukaan yang dapat membuat semuanya tidak terkendali ketika menjadi viral.

Bisa saja, maksud hati melontarkan pernyataan untuk menggali pemahaman dan berlanjut pada pengkajian, di tangkap sepenggal, lantas menjadi viral dan dipahami sepotong-sepotong. Meski ini adalah proses akademik. Tetapi bukankah sudah beberapa kali terjadi, ruang kajian akademik  terekspos ke publik yang pada gilirannya melahirkan polemik. Pengajar menjadi pesakitan dan dibully sedemikian rupa oleh publik.

Tulisan ini tidak akan membahas polemik itu, mungkin lain waktu. Saya kembali pada pernyataan di awal, tentang Pancasila. Ada sekian banyak sebenarnya pernyataan pro kontra, tetapi saya sekali lagi mesti hati-hati. Ini menyangkut ideologi negara, yang bahkan selama orde baru menjadi sakral dan tabu untuk dipergunjingkan. Bahkan mungkin hingga hari ini. 

Pertanyaannya, lantas bagaimana siswa menerima pemahaman Pancasila? Apakah cukup hanya dengan, apa adanya siswa harus terima? Atau juga perlu dibedah dengan pemahaman yang bisa saja lahir dari "pemberontakan pemikiran?"  Saya sebenarnya memilih yang kedua.

Alasan saya sederhana, pelajar SMA adalah remaja yang dalam banyak hal tidak mudah percaya. Keingintahuannya membuat mereka memiliki banyak pertanyaan. Tetapi karena kepentingan nilai, bisa saja mereka menerima, tetapi menurut saya itu tidak membekas. 

Beda halnya jika hal itu adalah hasil dari proses penemuan mereka sendiri. Perdebatan, tentang suatu hal yang diakhiri dengan proses penyimpulan bersama berdasarkan argumentasi logis adalah salah satu cara bagi proses mereka "menemukan", menurut saya.

Sebelumnya, ketika berselancar di dunia maya, saya mendengar istilah "Tahu diri", dari seorang Youtuber. Di videonya, ia mengkisahkan terdapat seorang Jenderal yang tidak bersedia menjadi wakil presiden di era presiden Suharto yang kala itu pemilihannya di lakukan oleh MPR. Alasan beliau, "Tahu diri." 

Lantas di video tersebut sang pembuat menyatakan bahwa itu terkait dengan kepercayaan sang jenderal yang tidak sama dengan mayoritas masyarakat Indonesia. Di akhir video, pembuat menegaskan pentingnya rasa "tahu diri", seperti yang dimiliki sang Jenderal tersebut.

Secara tersirat pembuat video masih menggunakan perspektif mayoritas dan minoritas ketika berbicara tentang Indonesia. Padahal dalam sebuah kesempatan, juga di kelas, saya pernah mengatakan bahwa Pancasila memungkinkan seluruh komponen bangsa ini menjadi apa saja selama prosesnya konstitusional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun