Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tertawa Membayangkan New Normal di Sekolah

28 Mei 2020   07:34 Diperbarui: 28 Mei 2020   07:31 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketimbang mikir ribet, mendingan mikir apa yang bisa membuat hati gembira. Meningkatkan imunitas dan bisa menjaga ketahanan tubuh terhadap serangan virus. Tertawa. Betul, tertawa gembira. Bukan tertawa sinis yang mentertawakan kebijakan dan kebaikan sesama. Bukan mentertawakan sesuatu yang serius mengancam, sama sekali bukan. Serius, ini tertawa gembira.

Di era karantina mandiri, banyak hal yang harus dikerjakan agar suasana tidak monoton. Tanpa aktifitas berarti, suasana pasti jadi menjenuhkan. Kebosanan yang pada akhirnya meningkatkan nafsu ingin ke mall, jalan-jalan, ngopi-ngopi ganteng dan cantik di coffee shop. Keinginan yang akan membuat suasana tambah memprihatinkan. Karena hanya mendeg di kepala,  ngeri saat akan mengeksekusi. Entah karena rawan tertular virus atau harus berhadapan dengan aparat karena melanggar ketentuan PSBB.

Sebagai guru, kemampuan saya membangun suasana  sangat dipengaruhi oleh profesi itu. Seputar dunia sekolah tentu saja. Tetapi itu pun tidak pernah habis untuk terus digali, dikupas, dikritisi, dan kali ini saya akan tertawai.

New Normal penerapannya di sekolah, belum tahu persis seperti apa. Saya hanya bisa membayangkan. Karena belum kejadian, siapapun hanya bisa itu. Tidak lebih. Bahkan seorang peramal sekalipun. Tetapi tidak ada salahnya membayangkan proses yang mengikuti  protokol kesehatan. Mulai dari saat pertama kali memasuki gerbang sekolah, proses belajar dan pulang sekolah.

Saya membayangkan, nanti gerbang sekolah akan dipasangi alat penyemprot disinfektan. Seperti di komplek-komplek perumahan. Gara-gara mikir itu, saya jadi teringat sama cerita viral tukang galon yang menyebar di grup whatsapp.  Jangan-jangan, nanti juga ada anak yang ketika belajar kedinginan, karena terlalu bersemangat sama pancuran disinfektan di gerbang. Siapa tahu, Namanya juga anak-anak, kelakuannya suka aneh-aneh. Apalagi saya guru SMA, isinya abege semua, kecuali gurunya. Tapi jangan salah jiwanya abege juga.

Sama hal-hal baru, abege itu biasanya excited, apalagi berada diantara teman sebayanya. Semprotan disinfektan bisa mereka jadikan sarana main air embun-embunan. Selfa-selfi sambil menikmati pancuran. Lumayan, efek airnya tampak bagus buat layar foto.

Meski WHO mengingatkan bahwa penyemprotan disinfektan ke tubuh manusia tidak disarankan dan dianggap sia-sia. Kenyataannya WHO juga belum benar-benar yakin tindakan apa yang tidak sia-sia. Namanya usaha, tidak ada salahnya dicoba kan?

Guru piket yang biasanya memeriksa kerapihan dan menyambut anak-anak. Kini berperan beda. Memeriksa suhu tubuh dengan termometer gun di tangan. Beberapa sekolah sudah mempraktikkan jauh sebelum PSBB diterapkan dan kita masih boleh berkeliaran. Ketika covid 19 belum dianggap serius seperti sekarang ini. Protokol itu akan diteruskan. Mungkin agar prosesnya tidak kaku, perlu ada penambahan gaya saat menembakkan ke jidat. Lebih menyehatkan kali ya?

Setelah melewati proses itu, siswa akan di sambut oleh fasilitas cuci tangan. Dulu ketika saya masih suka mendaki gunung. Desa-desa di kawasan pegunungan memiliki tradisi menyediakan gentong di depan rumah. Tamu yang akan masuk rumah dapat mencuci tangan atau kaki di situ. 

Atau jika membutuhkan air segar buat diminum, gentong bisa menjadi solusi. Sesungguhnya, pola hidup sehat telah melekat di masyarakat terdahulu. Tidak tahu, kearifan ini kemana. Covid 19 mengingatkan kembali, bahwa tradisi itu sangat maju. Bukan kuno dan ketinggalan jaman. Pada konteks ini, saya sedikit mentertawakan kemajuan.

Protokol kesehatan lain, yang selalu juga diingatkan oleh juru bicara gugus tugas, pak Yuri adalah ; pakai masker. Membayangkan anak-anak abege mengenakan masker, saya jadi senyum-senyum sendiri. Bukan soal mulutnya yang tertutup, terus saya tidak bisa melihat senyum manis mereka. Tetapi soal jiwa kreatif mereka yang kadang sulit dipahami. Menginginkan tampil beda dalam mengumpulkan jati diri.

Tergambar dikepala bagaimana nanti masker yang akan mereka kenakan. Gambar kodok, mulut menganga dengan gambar gigi menyeringai. Gambar mulut monyong, atau lidah melet. Bahkan yang biasanya cerewet akan menggambari maskernya dengan mulut manyun terkunci rapat. Pasti berwarna sekali melihat muka mereka. Tetapi itu Cuma bayangan saya. Bisa saja kenyataannya beda. Semuanya seragam dengan logo sekolah.

Orang tua yang dianggap lebih berhikmat ketimbang abege, kenyataannya sulit sekali diminta untuk jaga jarak. Lihat saja berita-berita menjelang lebaran, tepatnya pasca pembagian THR, lebih pasnya lagi adalah pasca dana bansos dicairkan. Seperti “orang kelaparan” mereka para orang tua itu menyerbu tempat perbelanjaan.  Miris, sekaligus menghibur. Karena kemudian media punya informasi kontroversial, konyol dan menarik untuk dibaca.

Fakta itu nyata. Bahwa jauh sebelum pandemi melanda, sebagian masyarakat kita itu tidak disiplin. Jalanan bisa menjadi etalase betapa semrawut dan bermasalahnya kita dengan kedisiplinan. Covid 19 tidak serta merta mengubah apa yang sudah biasa. Termasuk pada hal yang terkait dengan protokol kesehatan ini. Kadang saya merasa lucu ketika pak Yuri dalam siaran persnya minta agar masyarakat berprilaku disiplin. Mematuhi protokol kesehatan. Sepertinya beliau sedang meminta apa yang masyarakat tidak punya. Zonk !

Pelajar, sebagai bagian integral dari masyarakat, saya yakin prilakunya juga sama. Meski gurunya teriak-teriak, bisa saja hanya dianggap angin lalu. Apalagi pelajar, di semua tingkatan, energi terbesarnya itu, bermain ketika berkumpul dengan teman sebaya. Jadi siapa yang sanggup menjamin bahwa siswa akan melakukan prosedur jaga jarak,  jika nanti sekolah benar-benar di buka? Kali ini saya juga tertawa. Tapi sambil meneteskan air mata. Padahal istri saya sedang tidak mengiris bawang merah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun