Tergambar dikepala bagaimana nanti masker yang akan mereka kenakan. Gambar kodok, mulut menganga dengan gambar gigi menyeringai. Gambar mulut monyong, atau lidah melet. Bahkan yang biasanya cerewet akan menggambari maskernya dengan mulut manyun terkunci rapat. Pasti berwarna sekali melihat muka mereka. Tetapi itu Cuma bayangan saya. Bisa saja kenyataannya beda. Semuanya seragam dengan logo sekolah.
Orang tua yang dianggap lebih berhikmat ketimbang abege, kenyataannya sulit sekali diminta untuk jaga jarak. Lihat saja berita-berita menjelang lebaran, tepatnya pasca pembagian THR, lebih pasnya lagi adalah pasca dana bansos dicairkan. Seperti “orang kelaparan” mereka para orang tua itu menyerbu tempat perbelanjaan. Miris, sekaligus menghibur. Karena kemudian media punya informasi kontroversial, konyol dan menarik untuk dibaca.
Fakta itu nyata. Bahwa jauh sebelum pandemi melanda, sebagian masyarakat kita itu tidak disiplin. Jalanan bisa menjadi etalase betapa semrawut dan bermasalahnya kita dengan kedisiplinan. Covid 19 tidak serta merta mengubah apa yang sudah biasa. Termasuk pada hal yang terkait dengan protokol kesehatan ini. Kadang saya merasa lucu ketika pak Yuri dalam siaran persnya minta agar masyarakat berprilaku disiplin. Mematuhi protokol kesehatan. Sepertinya beliau sedang meminta apa yang masyarakat tidak punya. Zonk !
Pelajar, sebagai bagian integral dari masyarakat, saya yakin prilakunya juga sama. Meski gurunya teriak-teriak, bisa saja hanya dianggap angin lalu. Apalagi pelajar, di semua tingkatan, energi terbesarnya itu, bermain ketika berkumpul dengan teman sebaya. Jadi siapa yang sanggup menjamin bahwa siswa akan melakukan prosedur jaga jarak, jika nanti sekolah benar-benar di buka? Kali ini saya juga tertawa. Tapi sambil meneteskan air mata. Padahal istri saya sedang tidak mengiris bawang merah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H