Ketimbang mikir ribet, mendingan mikir apa yang bisa membuat hati gembira. Meningkatkan imunitas dan bisa menjaga ketahanan tubuh terhadap serangan virus. Tertawa. Betul, tertawa gembira. Bukan tertawa sinis yang mentertawakan kebijakan dan kebaikan sesama. Bukan mentertawakan sesuatu yang serius mengancam, sama sekali bukan. Serius, ini tertawa gembira.
Di era karantina mandiri, banyak hal yang harus dikerjakan agar suasana tidak monoton. Tanpa aktifitas berarti, suasana pasti jadi menjenuhkan. Kebosanan yang pada akhirnya meningkatkan nafsu ingin ke mall, jalan-jalan, ngopi-ngopi ganteng dan cantik di coffee shop. Keinginan yang akan membuat suasana tambah memprihatinkan. Karena hanya mendeg di kepala,  ngeri saat akan mengeksekusi. Entah karena rawan tertular virus atau harus berhadapan dengan aparat karena melanggar ketentuan PSBB.
Sebagai guru, kemampuan saya membangun suasana  sangat dipengaruhi oleh profesi itu. Seputar dunia sekolah tentu saja. Tetapi itu pun tidak pernah habis untuk terus digali, dikupas, dikritisi, dan kali ini saya akan tertawai.
New Normal penerapannya di sekolah, belum tahu persis seperti apa. Saya hanya bisa membayangkan. Karena belum kejadian, siapapun hanya bisa itu. Tidak lebih. Bahkan seorang peramal sekalipun. Tetapi tidak ada salahnya membayangkan proses yang mengikuti  protokol kesehatan. Mulai dari saat pertama kali memasuki gerbang sekolah, proses belajar dan pulang sekolah.
Saya membayangkan, nanti gerbang sekolah akan dipasangi alat penyemprot disinfektan. Seperti di komplek-komplek perumahan. Gara-gara mikir itu, saya jadi teringat sama cerita viral tukang galon yang menyebar di grup whatsapp. Â Jangan-jangan, nanti juga ada anak yang ketika belajar kedinginan, karena terlalu bersemangat sama pancuran disinfektan di gerbang. Siapa tahu, Namanya juga anak-anak, kelakuannya suka aneh-aneh. Apalagi saya guru SMA, isinya abege semua, kecuali gurunya. Tapi jangan salah jiwanya abege juga.
Sama hal-hal baru, abege itu biasanya excited, apalagi berada diantara teman sebayanya. Semprotan disinfektan bisa mereka jadikan sarana main air embun-embunan. Selfa-selfi sambil menikmati pancuran. Lumayan, efek airnya tampak bagus buat layar foto.
Meski WHO mengingatkan bahwa penyemprotan disinfektan ke tubuh manusia tidak disarankan dan dianggap sia-sia. Kenyataannya WHO juga belum benar-benar yakin tindakan apa yang tidak sia-sia. Namanya usaha, tidak ada salahnya dicoba kan?
Guru piket yang biasanya memeriksa kerapihan dan menyambut anak-anak. Kini berperan beda. Memeriksa suhu tubuh dengan termometer gun di tangan. Beberapa sekolah sudah mempraktikkan jauh sebelum PSBB diterapkan dan kita masih boleh berkeliaran. Ketika covid 19 belum dianggap serius seperti sekarang ini. Protokol itu akan diteruskan. Mungkin agar prosesnya tidak kaku, perlu ada penambahan gaya saat menembakkan ke jidat. Lebih menyehatkan kali ya?
Setelah melewati proses itu, siswa akan di sambut oleh fasilitas cuci tangan. Dulu ketika saya masih suka mendaki gunung. Desa-desa di kawasan pegunungan memiliki tradisi menyediakan gentong di depan rumah. Tamu yang akan masuk rumah dapat mencuci tangan atau kaki di situ.Â
Atau jika membutuhkan air segar buat diminum, gentong bisa menjadi solusi. Sesungguhnya, pola hidup sehat telah melekat di masyarakat terdahulu. Tidak tahu, kearifan ini kemana. Covid 19 mengingatkan kembali, bahwa tradisi itu sangat maju. Bukan kuno dan ketinggalan jaman. Pada konteks ini, saya sedikit mentertawakan kemajuan.
Protokol kesehatan lain, yang selalu juga diingatkan oleh juru bicara gugus tugas, pak Yuri adalah ; pakai masker. Membayangkan anak-anak abege mengenakan masker, saya jadi senyum-senyum sendiri. Bukan soal mulutnya yang tertutup, terus saya tidak bisa melihat senyum manis mereka. Tetapi soal jiwa kreatif mereka yang kadang sulit dipahami. Menginginkan tampil beda dalam mengumpulkan jati diri.