Krecek, bleg. Â Koin seratus perak gambar wayang jatuhnya mantap. Diantara koin-koin lainnya, tidak menggerincing ringan dan kembali ke pemiliknya. Artinya, tombol-tombol ini sudah bisa berfungsi, menuju ke nomer yang akan segera membuat hatiku berbunga.
"Alina...! Telpon !" terdengar di seberang sana suara kencang memanggil.
"Hi..., belum tidur ?" sapaan standar cenderung basi. Tapi tidak ada kata-kata lain yang lebih mengesankan ketimbang perhatian basa basi ini.
Tidak ada jawaban.
Oh, ternyata mungkin aku ke-pede-an jika gagang telpon sudah ada di ditelinganya. Padahal bisa saja itu masih ada tangannya, atau belum dia ambil, atau jangan-jangan bukan Alina yang memegangnya. Teman kos, ibu kos, atau siapa saja. Lantas Cuma mau kasih jawaban, "Alina tidak ada."
"Hi, siapa ya?"
Akhirnya, suara itu. Ada jawaban juga dari seberang sana. Di sela suara motor yang baru saja lewat tepat di sampingku.
"Jojo."
"Hi, mas. Tumben?"
"Pengin ngobrol aja, boleh?"
"Boleh," suaranya melambat.