“Pernahkan kalian kejedot pintu sampai lupa ingatan?”
“Kejedot sih sering, tapi lupa ingatan , nggak pak.”
Lontaran pertanyaan remeh temeh itu biasanya akan berlanjut dengan pembicaraan yang penuh gelak tawa. Kebiasaan saya untuk memulai aktifitas ketika kebijakan belajar dari rumah belum diterapkan.
Bukan asal lontaran, tetapi pernyataan yang dapat saya gunakan untuk memulai kajian pada hari itu. Tidak selalu serius. Bahkan semakin tidak terdengar serius akan jauh lebih baik. Menurut saya itu akan membuat anak-anak, para siswa relak. Sebelum memulai sesuatu yang mungkin dapat membuat mereka tegang.
Saya lanjutkan dengan lontaran pertanyaan di atas.
“Saya pernah.”
“Serius pak?”
“Maksud saya, saya pernah punya teman, yang seperti itu. Kejedot lantas lupa ingatan. Belum selesai bicara kalian sudah sela.”
Biasanya kelas berisik, memprotes saya.
“Kalau saya nonton film yang seperti itu pernah pak.”
Ada juga yang menanggapi, menceritakan pengalamannya dengan konten yang berbeda. Tidak hanya satu anak malah. Beberapa terpancing untuk menyusul. Situasi yang saya inginkan. Istilahnya, mengkondisikan keadaan agar siswa siap untuk menerima pelajaran di hari itu.
“Dulu ketika saya masih duduk di bangku kuliah. Teman saya, cantik, pernah mengalami hal seperti itu.”
“Pacar bapak?”
“Cie-cie.”
Celotehan remaja, siswa SMA, siswa saya, memang begitu. Tetapi untuk membuat pembicaraan jadi nyambung, kadang saya mesti menyentuh hal-hal yang sedang mereka “hidupi.”
“Waktu dia kejedot sih belum. Tetapi sampai selesai kuliah belum juga.”
Seisi kelas tertawa. Apalagi disertai dengan mimic serius dan ngarep. Tambah kenceng tertawa mereka.
“ Waktu itu dia sudah punya pacar. Dan pacarnya juga yang menolong. Tetapi yang menarik adalah beberapa hal setelah kejadian.”
Penghuni kelas mulai serius. Karena nada dan mimik mulai saya ubah. Serius dan berempati pada kejadian dalam cerita itu. Karena itu benar-benar pernah terjadi.
“Dia lupa ingatan. Bahkan ketika saya Tanya namanya. Dia tidak tahu. Ketika kemudian dia bisa menyebutkan namanya. Itu dengan pernyataan dan keterangan tambahan.”
Kelas sunyi.
“kata, Odi, nama saya Nana.”
Odi adalah pacarnya. Meski untuk tulisan ini nama sosok-sosok yang ada di sini sudah saya ganti.
Bahkan untuk jawaban pertanyaan-pertanyaan yang lain. Nana selalu menambahkan ; “Kata Odi.”
“Kalian tahu tidak, itu kenapa?”
Kelas sunyi, Tetapi beberapa merespon.
“Karena dia sudah kehilangan ingatan jangka panjangnya pak. Ingatan jangka pendek dia ingat. Apa yang dikatakan pacarnya ke dia itu adalah ingatan jangka pendek.”
“Bisa tidak jika pacarnya menyebutkan nama lain?”
“Bisa saja!” Jawaban anak-anak serempak.
“Untung bukan saya yang datang menolong. Seandainya saya yang datang, kan bisa saja saya bilang saya ini pacarnya.”
Seisi kelas tertawa. Tetapi masih dalam kontek perhatian pada apa yang menjadi topik pembicaraan.
Begitu tenang. Saya lanjutkan.
“Oke, menurut saya, Nana tidak hanya kehilangan namanya, tetapi seluruh masa lalunya. Sesuatu yang pernah ia alami dalam hidupnya. Dan itu adalah identitas dirinya. Siapa dia? Darimana ia berasal? Apa yang sudah ia kerjakan? Apa mimpinya? Semuanya tersimpan di kepala Nana. Memori. Seperti computer, semua hal tersimpan di dalamnya. Jika rusak, komputer kehilangan esensinya sebagai komputer.”
Saya berhenti. Mengamati satu persatu. Berkeliling dari satu baris ke baris lain pada saat menyampaikan kalimat di atas.
“Kata Odi, juga adalah kunci. Seseorang yang lupa ingatan. Bergantung pada orang lain, untuk menentukan siapa sesungguhnya dirinya.”
“Itulah materi kita hari ini. Apa itu sejarah. Sejarah itu adalah memori. Menjelaskan identitas seseorang, masyarakat atau negara. Melupakan sejarah berarti melupakan identitas. Dapat berakibat menjadi bangsa yang gampang terbawa arus. Terombang-ambing. Tidak tahu siapa dirinya dan untuk apa dia ada. A kata orang, A kata dia. Tidak punya pendirian. Amnesia dalam kontek yang lain.”
Setelah melakukan pendahuluan demikian, baru saya akan masuk ke bahasan materi secara mendalam. Siswa setidaknya sudah memperoleh gambaran yang paling dekat dengan kehidupannya terkait materi yang akan saya sampaikan. Biasanya kelas akan terkondisikan.
Pengalaman selama ini kajiannya akan lebih kondusif jika saya awali dengan hal-hal seperti di atas. Tetapi tidak mudah, bahkan untuk beberapa materi saya belum menemukan kasus-kasus yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H