Sewaktu  pulang lembur, mendampingi anak-anak bikin acara pentas seni, saya naik taksi dari perusahaan terpercaya. Saya punya kebiasaan ngobrol, daripada bengong atau main hp. Mungkin karena saya ini urban untuk urusan gadget.
Pembicaraan antara saya sama supir taksi, tidak pakai tema. Mulai dari soal-soal yang abstrak hingga ke soal-soal pragmatis. Apalagi, perjalanan Senen  Pondok Gede relatif memakan banyak waktu. Belum jika dihitung pakai macet. Cuma karena tengah malam, jalanan relatif lengang. Meski begitu, banyak juga persoalan yang berhasil kami bahas.
Pak Supir menurut saya piawai menyampaikan gagasan. Ia mengkritik hutang dan infrastruktur Jokowi. Mengeluhkan harga-harga yang melambung. Lantas, menyentil soal pencabutan subsidi. Ia terkaget-kaget saat mau bayar listrik melihat angkanya.
Saya hanya tersenyum mendengarnya. Tak mendengar reaksi saya, ia melanjutkan bahasan politiknya. Bahkan dia dan yang teman-temannya, menurutnya banyak, sudah menentukan sikap dan menyusun langkah-langkah. Besok mereka akan mendeklarasikan diri sebagai relawan nomer 2.
Setelah cukup lama mendengar argumentasinya, saya cuma bilang. "Pak jangan pernah percaya jika nasib kita itu bisa berubah karena presiden. Waktu Soeharto berkuasa dulu, orang juga mengeluh susah, apa-apa mahal. Zaman Habibie, lebih banyak lagi. Zaman Gusdur, juga ada. Zaman Megawati masih banyak juga, bahkan itu saya juga mengalami. Zaman SBY, tidak kurang juga yang mengeluh. Zaman Jokowi, bapak salah satunya. "
Saya lihat dia juga mengangguk, entah ngerti maksud saya atau tidak. Dan kami pun masih lanjut dengan bahasan-bahasan lanjutannya. Tidak usah ditanya dulu, nanti saya paparkan kesimpulannya saja ya!
Turun dari lift hotel tempat saya menginap di Bandung, saya bertemu cleaning service hotel. Biar tidak bengong, saya mengakrabkan diri. " Pemilu di sini siapa yang rame kang?"
"Nomer 2 pak, sudah dari 2014, di sini yang rame sih itu." Saya tersenyum, dan sengaja tidak nanya pilihannya. Tetapi saya tertarik, apa yang membuat di sini nomer 2 rame.
Menurut saya argumentasi siakang cukup menarik. Dia jelasin, sekarang harga-harga mahal. Pembangunan tidak berpihak pada rakyat kecil. Apalagi subsidi dicabut, berasa banget buat rakyat kecil. Saya sempat nambahin "kalau hutang gimana kang?" Â " Iya, itu juga pak!" Sambil berlalu, setelah beberapa saat kami ngobrol di depan lift.
Pernyataan zaman susah saya tadi dilengkapi oleh penjual bakso langganan di komplek rumah.
Sewaktu saya asik menikmati baso, di warungnya hanya ada saya dan dia. Tiba-tiba, sibapak tukang bakso bilang begini, "sekarang zaman susah ya pak?" Â "Emang kenapa pak?" Jawab saya, berdasarkan yang sudah-sudah ini ada lanjutannya. Dugaan saya itu benar.
Bahkan ketika saya tanggapi, bapak tersebut tetap pada pandangannya. Benar pak, tetap banyak yang susah daripada enggak. Kelihatan kok pak, yang biasa.beli bakso 5, sekarang paling 3. Orang komplek juga sudah jarang jajan. Seminggu cuma sekali, padahal sebelumnya hampir tiap hari.
Lagi, saya hanya tersenyum. Argumentasinya empiris. Dirinya sendiri, meski saya tidak tahu validitas hasil kesimpulannya.
Saya menemukan ada satu narasi yang di sampaikan oleh tiga orang yang saya temui itu. Bahkan, satu dan yang lainnya nyaris sama, termasuk argumentasi yang dikemukakan. Padahal profesi dan tempat mereka berbeda.
Mungkin masih banyak lagi yang memegang narasi-narasi demikian. Sederhana, tetapi melekat kuat, dan berujung pada 'solusi', memilih presiden nomer 2.
Di berbagai media dan berbagai data mungkin sudah digunakan untuk menjawab pandangan demikian. Tetapi, argumentasi yang saya dengar dari mereka bertiga menunjukkan tidak efektif. Entah bagi lainnya.
Pencabutan subsidi bagi pemerataan pembangunan, masih kalah gaungnya dengan naiknya harga listrik dan bbm yang dicabut subsidinya. Bahkan penjelasan menkeu tentang utang tidak melekangkan pemahaman tiga orang itu dari besaran angka hutang yang tertera.
Zaman susah, itulah kesimpulan yang dihasilkan. Dan itulah yang juga selalu disematkan oleh tim Prabowo Sandi. Soal data, mungkin masih bisa diperdebatkan. Tetapi dengan narasi yang terus diulang, sepertinya, mereka berhasil menanamkan 'gagasannya', setidaknya bagi tiga orang yang saya temui itu. Bagi petahana, ini penting untuk dicermati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H