Bahkan ketika saya tanggapi, bapak tersebut tetap pada pandangannya. Benar pak, tetap banyak yang susah daripada enggak. Kelihatan kok pak, yang biasa.beli bakso 5, sekarang paling 3. Orang komplek juga sudah jarang jajan. Seminggu cuma sekali, padahal sebelumnya hampir tiap hari.
Lagi, saya hanya tersenyum. Argumentasinya empiris. Dirinya sendiri, meski saya tidak tahu validitas hasil kesimpulannya.
Saya menemukan ada satu narasi yang di sampaikan oleh tiga orang yang saya temui itu. Bahkan, satu dan yang lainnya nyaris sama, termasuk argumentasi yang dikemukakan. Padahal profesi dan tempat mereka berbeda.
Mungkin masih banyak lagi yang memegang narasi-narasi demikian. Sederhana, tetapi melekat kuat, dan berujung pada 'solusi', memilih presiden nomer 2.
Di berbagai media dan berbagai data mungkin sudah digunakan untuk menjawab pandangan demikian. Tetapi, argumentasi yang saya dengar dari mereka bertiga menunjukkan tidak efektif. Entah bagi lainnya.
Pencabutan subsidi bagi pemerataan pembangunan, masih kalah gaungnya dengan naiknya harga listrik dan bbm yang dicabut subsidinya. Bahkan penjelasan menkeu tentang utang tidak melekangkan pemahaman tiga orang itu dari besaran angka hutang yang tertera.
Zaman susah, itulah kesimpulan yang dihasilkan. Dan itulah yang juga selalu disematkan oleh tim Prabowo Sandi. Soal data, mungkin masih bisa diperdebatkan. Tetapi dengan narasi yang terus diulang, sepertinya, mereka berhasil menanamkan 'gagasannya', setidaknya bagi tiga orang yang saya temui itu. Bagi petahana, ini penting untuk dicermati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H