Pernah tertarik untuk menikmati mie ayam yang saban hari ngantrinya nggak banget ? Saya pernah. Meski setelah makan, mikir. Rasanya tidak jauh beda sama mie ayam-mie ayam lain.
Bagi juru gosip, ini lahan kajian. Pasti ada apa-apanya. Mulai dari analisa Gunung Kawi, hingga ke Gunung Kemukus. Apalagi ditambah materi, mienya itu nggak enak kalau makannya dirumah. Jadi deh! Melupakan esensi alamiah mie yang emang harus cepat dinikmati setelah di racik.
Terlepas analisa juru gosip, saya jadi ingat dulu sewaktu ngangsu kawruh di STF. Ceritanya kursus, meski datengnya juga angot-angotan. Jadi lupa kajian ini yang bahas siapa. Antara Romo Muji atau Mas Budi Hardiman.
Bahasannya begini, adakalanya hasrat kita itu dipengaruhi oleh hasrat orang lain. Atau  seringkali kita itu menghasrati hasrat orang lain.
Penjelasannya, jika kita mengingini sesuatu, belum tentu sesuatu itu benar-benar kita ingini. Jangan-jangan, keinginan kita itu karena keinginan orang lain terhadap sesuatu itu.
Contohnya. Perhatikan prilaku anak kecil pada barang mainan yang dia miliki. Adakalanya, mainan itu ia geletakkan begitu saja. Mungkin dia bosan dan tak peduli lagi. Tetapi reaksinya jadi berbeda jika ada anak seusianya mencoba memainkan mainan yang tergeletak itu. Dia, sebagai pemilik biasanya akan berusaha menguasai kembali barang miliknya tersebut.
Keterangannya. Si anak, sebenarnya sedang mengingini atau menghasrati, keinginan atau hasrat teman seusianya tadi. Dia sebenarnya tidak sungguh-sungguh sedang menginginkan barang mainannya.
Kembali ke soal mie ayam, sebenarnya bukan mie ayamnya yang membuat kita ingin mencicip, tetapi kerumunan orang-orang yang makan tadi. PR bagi pemilik warung adalah menjaga kerumunan itu tetap stabil. Agar tetap melahirkan kerumunan. Karena bisa saja, karena kekecewaan, disoal rasa misalnya, kerumunan itu menghilang.
Bagi dunia sinetron, konsep hasrat dan kerumunan ini sepertinya jadi bagian dari marketing.
Pesohor dunia sinetron banyak yang lahir karena kontroversi. Ada yang cuma gara-gara mbelalak matanya sama gebrak meja, esoknya syuting sinetron. Cuma gara-gara bahasa Indonesianya belepotan, dibully nitizen, malah bisa jadi artis. Ini absurd, tetapi nyata. Â Sekali lagi, ini soal kerumunan. Apa yang bisa membuat kerumunan, pasti akan melahirkan kerumunan berikutnya. Bisa kegaduhan atau kontroversi. Bagi dunia marketing, ini pasar.
Politik kita hari ini, sepertinya terinspirasi dari logika kerumunan tadi. Perhatikan, ada saja pernyataan-pernyataan hingga prilaku kontroversial yang dibuat para elit politik.