Angin mulai berhembus kencang. Para penumpang yang berada di main deck mulai berpencar menepi ke dinding kapal. Narti masih saja hilir mudik di antara penumpang. Di genggamannya terdapat dua plastik teh hangat. Terasa semakin kencang lambung kapal dihantam ombak. Goyangannya berkali-kali menggeser posisi Narti berdiri. Sebentar kemudian ia berjongkok mencermati serius wajah tirus yang ada di hadapannya.
"Masih panas." Gumamnya lirih. Ia ambil sesuatu di dalam tasnya. Â Antimo. Ia angkat kepala pria itu. Dengan teh hangat yang ada di genggamannya, ia coba bantu pria itu meminum pil yang ia berikan.
"Mas, aku lihat mbah Karjo dulu ya! Aku mau kasih teh ini." Ia tunjukkan sebungkus teh yang masih ada di tangannya. Sebelum pria yang dipanggil mas itu mengangguk, Narti sudah meninggalkan pria itu.
Mereka adalah pengantin baru. Usia perkawinan baru menginjak setengah bulan. Suaminya, Hartono, merupakan tenaga kerja sukarela yang ditugaskan sebagai pembina desa transmigrasi. Ia pernah mendapatkan pelatihan di Ungaran Jawa Tengah sebelum diberangkatkan ke Pulau Sumatera. Sebuah tempat yang ia dengar dari cerita. Cerita yang baginya penuh  misteri.
Tidak hanya Hartono. Beberapa orang lainnya dari rombongan para transmigran juga mengalami hal yang sama. Mabuk laut.  Mulai dari orang tua, pemuda, remaja, anak-anak. Baik pria maupun wanita. Penyebabnya beragam. Bagi sebagian besar, ini adalah pengalaman berlayar  pertama.
Angin laut yang berhembus kencang menerobos dinding kapal berpadu dengan bau anyir muntahan, memperparah keadaan. Di sana sini, tercium minyak angin berlomba menunjukkan keunggulan baunya. Menguap bersama dengan keringat pemakainya. Semerbak memenuhi geladak utama. Menyengat dan memabukkan. Belum lagi ditambah dengan aroma  barang bawaan mereka yang  mulai membusuk.  Tidak termakan, karena sebagian telah kehilangan nafsu makannya.
Sebagai salah satu pembina. Peran Hartono banyak diharapkan. Tetapi apa daya, ia pun tak mampu menahan ganasnya badai. Laut sedang tak berada di performa terbaiknya. Resah dan bergejolak seperti remaja di masa transisi. Sebelum akhirnya benar-benar tenang jika masanya telah tiba.
Tak ada pilihan lain, peran itu diambil oleh Narti. Ia sadar tanggungjawab itu melekat di pundak suaminya. Kepekaan hati Narti, mengharuskan ia berbuat sesuatu. Tak peduli pada ganasnya badai. Ia terus mondar mandir mendampingi  beberapa anggota rombongan yang mulai gelisah.
Bolak balik ia bongkar kotak obat suaminya.  Antimo, Aspirin, Balsem gosok, Salonpas, Minyak Angin  dan Minyak kayu putih. Obat-obatan itu laris manis. Manjur, tidak hanya mengobati, tetapi juga sugesti. Melebihi khasiat obatnya.
"Mbak, njenengan nenggo semahe ke mawon!"[1] perempuan yang dari tadi bersama  Narti memberi saran. Istri dari seseorang yang suaminya sedang mabuk laut berat. Karjo, pria tengah baya asal Ambarawa itu benar-benar tidak berdaya. Bahkan sudah sejak dari Semarang. Istrinya bilang ia masih bingung. Terkena guncangan ombak laut sedikit saja, ia lantas limbung dan terkapar, seperti menenggak whiski beberapa teguk. Â
Karjo tak pernah naik kapal, bahkan bermimpi pun tidak. Tetapi kini, ia bukan hanya bermimpi, dia benar-benar ada di atasnya. Kapal yang akan membawanya ke tempat yang juga tak di kenalnya. Rekor pergi terjauhnya hanya sampai Alas Roban, tak pernah lebih dari itu. Namun keinginannya merubah nasib membuatnya ikut dalam pertaruhan ini. Â Dia ingin kembali kelak sebagai seorang pemenang. Keteguhannya untuk meninggalkan Ambarawa mengkristal. Namun perlahan mencair saat beberapa hari berada di Semarang. Ternyata itu bukan kristal, tetapi es batu.
Sumatera belum tampak dimatanya, beragam persoalan muncul di kepalanya. Mungkin karena Ia  membawa banyak rombongan.  Enam kepala. Dia, Istri dan 4 anaknya. Ini semua membuatnya tertekan, namun tak mungkin membawanya kembali, malu. Galau, bingung, perasaan inilah yang membuatnya tak keruan., Bahkan hingga Kapal bersauh meninggalkan pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Kegelisahan membuatnya lemah, hingga terkapar saat laut menunjukkan kegarangannya. Mabuk!
Terus dilayani, membuatnya tak nyaman. Apalagi ia menerima pertolongan dari seseorang yang suaminya sendiri pun mengalami hal yang sama.
"Suami saya sudah mulai baikan kok mbah," Narti tetap bersikeras.
Tengah malam lautan mulai tenang, Tampomas II sudah jauh berada di tengah lautan. Tak ada kerlip lampu rumah-rumah nelayan yang kelihatan, yang terlihat hanya sorot mercuasuar di kejauhan, itupun hanya kerlip. Sebentar tampak, sebentar menghilang. Namun di langit sorot cahaya ribuan bintang sangat mengagumkan. Cahayanya mampu memberi ketenangan. Menyiratkan banyak harapan yang bisa ditautkan. Â Pesonanya menerbangkan angan siapa saja yang melihatnya, tak terkecuali mereka yang kini mulai kedinginan di serang angin malam lautan.
Narti belum juga memejamkan mata. Â Sesekali ia perhatikan suaminya yang sedari tadi mendengkur. Sayang, malam dengan jutaan pesona ini harus terlewatkan. Andainya saja Hartono tak mabuk laut, mungkin saat ini mereka sedang berada di haluan atau buritan untuk menikmati indahnya cinta. Cinta yang belum sempat mereka nikmati. Masa perkenalan hingga ke pernikahan mereka jalani dalam waktu yang sangat singkat.
Mereka saling mengenal saat Pakdenya Narti ngunduh mantu[2]. Tanpa banyak diplomasi saat itu Hartono langsung menunjukkan keseriusannya. Encik Palur itu bertekad tak mundur walau seandainya Ayah Narti tak memberi lampu hijau. Bukan apa-apa, beberapa kali orangtua Narti menolak lamaran, sementara Narti sudah mulai gelisah dengan gosip tetangga yang membicarakan dirinya sebagai perawan tua. Walau sesungguhnya usianya belum genap dua puluh tiga tahun. Itu karena  adiknya, Wahyuni telah lama menikah dan memiliki seorang putri. Hidup dan tumbuh dalam budaya Jawa, dilangkahi seperti itu sesungguhnya adalah 'bencana'. Dalam kepasrahan penuh, Narti terus memohon pada yang membuat kehidupan.
Tuhan sangat memahami kepasrahan Narti. Hartono adalah jawabannya, lamarannya mendapat restu. Padahal semuanya berlangsung kilat. Ini mungkin yang namanya  jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sirine kapal menghentak, mengejutkan mereka yang belum sempat menuntaskan mimpi. Rasanya baru sebentar mereka ditaklukkan sang malam, namun kini sudah mesti terbangun karena keriuhan. Ingin tahu apa yang terjadi, gontai Hartono dan Narti beranjak mencari informasi. Petugas kapal memberi tahu kalau kapal sudah sampai di Tanjung Pinang, menurunkan penumpang tujuan pulau Bangka.
Kerlip cahaya dipancarkan dari perahu perahu yang berlayar di sekitaran lambung Tampomas II, perahu-perahu itu begitu kecil terlihat dari atas kapal. "Surut, kapal tak bisa menepi!" berkali-kali awak kapal menjelaskan pada para penumpang yang hendak turun.Â
Perahu-perahu yang tampak kecil itulah harapan para penumpang untuk sampai daratan. Tangis mulai pecah diantara mereka, perempuan dan anak-anak. Tangis gemetar karena mesti meniti dan bergelantungan ditali-tali kapal menuju perahu-perahu tersebut. Salah melangkah, laut siap menjadi landasan pendaratan mereka. Beruntung malam ini langit  bersahabat. Jika hujan, tak tahu seperti apa licinnya tali-tali kapal yang akan mereka lalui itu.
Sebagian besar mereka yang turun adalah perantau dari Jakarta. Kulit mereka putih, mata mereka sipit. Sebagai perantau mereka dikenal tangguh dan ulet. Mungkin saja di tanah rantau mereka telah menjadi orang sukses. Namun sukses atau tidak, malam ini mereka tetap harus bergelantungan. Sebuah kenyataan begitu beratnya perjuangan pulang ke tanah leluhur. Dan di tanah leluhur ini mereka kembali menjadi diri mereka.
Tiga hari di atas Tampomas II, membuat kekeluargaan semakin terbangun, kebersamaan terajut. Semua sama. Semua adalah saudara. Itulah yang dialami Narti dan Hartono. Saat mereka meninggalkan Solo, ada keraguan untuk melangkah. Di Sumatera tak ada saudara, pada siapa mereka berharap pertolongan. Namun kini, keraguan itu mulai sirna. Penderitaan dan harapan telah menyatukan mereka menjadi sebuah keluarga besar, keluarga para transmigran.
Matahari semburat menampakkan sinarnya dari balik lautan, cahayanya kuning menyilaukan. Di sisi yang lain, gundukan hijau mulai tampak dikejauhan, sepertinya kapal telah merapat ketepian setelah tiga hari menyusuri lautan lepas. Sosok bangunan seperti jembatan mulai tampak, disekelilingnya bangunan-bangunan kokoh, menandakan ada kehidupan di tempat itu. Belawan, tempat yang akhirnya mengantarkan para transmigran menapaki daratan, yang barangkali selamanya akan mereka tempati, tanah impian; Â Sumatera.
 Â
[1] 'Mbak, silahkan menunggu suaminya saja'
[2] Menikahkan anaknya
(Penggalan kisah dari rencana sebuah novel)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H