Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dan Harapan yang Memaksa Pergi

8 Juli 2018   08:00 Diperbarui: 8 Juli 2018   08:43 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin mulai berhembus kencang. Para penumpang yang berada di main deck mulai berpencar menepi ke dinding kapal. Narti masih saja hilir mudik di antara penumpang. Di genggamannya terdapat dua plastik teh hangat. Terasa semakin kencang lambung kapal dihantam ombak. Goyangannya berkali-kali menggeser posisi Narti berdiri. Sebentar kemudian ia berjongkok mencermati serius wajah tirus yang ada di hadapannya.

"Masih panas." Gumamnya lirih. Ia ambil sesuatu di dalam tasnya.  Antimo. Ia angkat kepala pria itu. Dengan teh hangat yang ada di genggamannya, ia coba bantu pria itu meminum pil yang ia berikan.

"Mas, aku lihat mbah Karjo dulu ya! Aku mau kasih teh ini." Ia tunjukkan sebungkus teh yang masih ada di tangannya. Sebelum pria yang dipanggil mas itu mengangguk, Narti sudah meninggalkan pria itu.

Mereka adalah pengantin baru. Usia perkawinan baru menginjak setengah bulan. Suaminya, Hartono, merupakan tenaga kerja sukarela yang ditugaskan sebagai pembina desa transmigrasi. Ia pernah mendapatkan pelatihan di Ungaran Jawa Tengah sebelum diberangkatkan ke Pulau Sumatera. Sebuah tempat yang ia dengar dari cerita. Cerita yang baginya penuh  misteri.

Tidak hanya Hartono. Beberapa orang lainnya dari rombongan para transmigran juga mengalami hal yang sama. Mabuk laut.   Mulai dari orang tua, pemuda, remaja, anak-anak. Baik pria maupun wanita. Penyebabnya beragam. Bagi sebagian besar, ini adalah pengalaman berlayar  pertama.

Angin laut yang berhembus kencang menerobos dinding kapal berpadu dengan bau anyir muntahan, memperparah keadaan. Di sana sini, tercium minyak angin berlomba menunjukkan keunggulan baunya. Menguap bersama dengan keringat pemakainya. Semerbak memenuhi geladak utama. Menyengat dan memabukkan. Belum lagi ditambah dengan aroma  barang bawaan mereka yang  mulai membusuk.  Tidak termakan, karena sebagian telah kehilangan nafsu makannya.

Sebagai salah satu pembina. Peran Hartono banyak diharapkan. Tetapi apa daya, ia pun tak mampu menahan ganasnya badai. Laut sedang tak berada di performa terbaiknya. Resah dan bergejolak seperti remaja di masa transisi. Sebelum akhirnya benar-benar tenang jika masanya telah tiba.

Tak ada pilihan lain, peran itu diambil oleh Narti. Ia sadar tanggungjawab itu melekat di pundak suaminya. Kepekaan hati Narti, mengharuskan ia berbuat sesuatu. Tak peduli pada ganasnya badai. Ia terus mondar mandir mendampingi  beberapa anggota rombongan yang mulai gelisah.

Bolak balik ia bongkar kotak obat suaminya.  Antimo, Aspirin, Balsem gosok, Salonpas, Minyak Angin  dan Minyak kayu putih. Obat-obatan itu laris manis. Manjur, tidak hanya mengobati, tetapi juga sugesti. Melebihi khasiat obatnya.

"Mbak, njenengan nenggo semahe ke mawon!"[1] perempuan yang dari tadi bersama  Narti memberi saran. Istri dari seseorang yang suaminya sedang mabuk laut berat. Karjo, pria tengah baya asal Ambarawa itu benar-benar tidak berdaya. Bahkan sudah sejak dari Semarang. Istrinya bilang ia masih bingung. Terkena guncangan ombak laut sedikit saja, ia lantas limbung dan terkapar, seperti menenggak whiski beberapa teguk.  

Karjo tak pernah naik kapal, bahkan bermimpi pun tidak. Tetapi kini, ia bukan hanya bermimpi, dia benar-benar ada di atasnya. Kapal yang akan membawanya ke tempat yang juga tak di kenalnya. Rekor pergi terjauhnya hanya sampai Alas Roban, tak pernah lebih dari itu. Namun keinginannya merubah nasib membuatnya ikut dalam pertaruhan ini.  Dia ingin kembali kelak sebagai seorang pemenang. Keteguhannya untuk meninggalkan Ambarawa mengkristal. Namun perlahan mencair saat beberapa hari berada di Semarang. Ternyata itu bukan kristal, tetapi es batu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun