Sumatera belum tampak dimatanya, beragam persoalan muncul di kepalanya. Mungkin karena Ia  membawa banyak rombongan.  Enam kepala. Dia, Istri dan 4 anaknya. Ini semua membuatnya tertekan, namun tak mungkin membawanya kembali, malu. Galau, bingung, perasaan inilah yang membuatnya tak keruan., Bahkan hingga Kapal bersauh meninggalkan pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Kegelisahan membuatnya lemah, hingga terkapar saat laut menunjukkan kegarangannya. Mabuk!
Terus dilayani, membuatnya tak nyaman. Apalagi ia menerima pertolongan dari seseorang yang suaminya sendiri pun mengalami hal yang sama.
"Suami saya sudah mulai baikan kok mbah," Narti tetap bersikeras.
Tengah malam lautan mulai tenang, Tampomas II sudah jauh berada di tengah lautan. Tak ada kerlip lampu rumah-rumah nelayan yang kelihatan, yang terlihat hanya sorot mercuasuar di kejauhan, itupun hanya kerlip. Sebentar tampak, sebentar menghilang. Namun di langit sorot cahaya ribuan bintang sangat mengagumkan. Cahayanya mampu memberi ketenangan. Menyiratkan banyak harapan yang bisa ditautkan. Â Pesonanya menerbangkan angan siapa saja yang melihatnya, tak terkecuali mereka yang kini mulai kedinginan di serang angin malam lautan.
Narti belum juga memejamkan mata. Â Sesekali ia perhatikan suaminya yang sedari tadi mendengkur. Sayang, malam dengan jutaan pesona ini harus terlewatkan. Andainya saja Hartono tak mabuk laut, mungkin saat ini mereka sedang berada di haluan atau buritan untuk menikmati indahnya cinta. Cinta yang belum sempat mereka nikmati. Masa perkenalan hingga ke pernikahan mereka jalani dalam waktu yang sangat singkat.
Mereka saling mengenal saat Pakdenya Narti ngunduh mantu[2]. Tanpa banyak diplomasi saat itu Hartono langsung menunjukkan keseriusannya. Encik Palur itu bertekad tak mundur walau seandainya Ayah Narti tak memberi lampu hijau. Bukan apa-apa, beberapa kali orangtua Narti menolak lamaran, sementara Narti sudah mulai gelisah dengan gosip tetangga yang membicarakan dirinya sebagai perawan tua. Walau sesungguhnya usianya belum genap dua puluh tiga tahun. Itu karena  adiknya, Wahyuni telah lama menikah dan memiliki seorang putri. Hidup dan tumbuh dalam budaya Jawa, dilangkahi seperti itu sesungguhnya adalah 'bencana'. Dalam kepasrahan penuh, Narti terus memohon pada yang membuat kehidupan.
Tuhan sangat memahami kepasrahan Narti. Hartono adalah jawabannya, lamarannya mendapat restu. Padahal semuanya berlangsung kilat. Ini mungkin yang namanya  jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sirine kapal menghentak, mengejutkan mereka yang belum sempat menuntaskan mimpi. Rasanya baru sebentar mereka ditaklukkan sang malam, namun kini sudah mesti terbangun karena keriuhan. Ingin tahu apa yang terjadi, gontai Hartono dan Narti beranjak mencari informasi. Petugas kapal memberi tahu kalau kapal sudah sampai di Tanjung Pinang, menurunkan penumpang tujuan pulau Bangka.
Kerlip cahaya dipancarkan dari perahu perahu yang berlayar di sekitaran lambung Tampomas II, perahu-perahu itu begitu kecil terlihat dari atas kapal. "Surut, kapal tak bisa menepi!" berkali-kali awak kapal menjelaskan pada para penumpang yang hendak turun.Â
Perahu-perahu yang tampak kecil itulah harapan para penumpang untuk sampai daratan. Tangis mulai pecah diantara mereka, perempuan dan anak-anak. Tangis gemetar karena mesti meniti dan bergelantungan ditali-tali kapal menuju perahu-perahu tersebut. Salah melangkah, laut siap menjadi landasan pendaratan mereka. Beruntung malam ini langit  bersahabat. Jika hujan, tak tahu seperti apa licinnya tali-tali kapal yang akan mereka lalui itu.
Sebagian besar mereka yang turun adalah perantau dari Jakarta. Kulit mereka putih, mata mereka sipit. Sebagai perantau mereka dikenal tangguh dan ulet. Mungkin saja di tanah rantau mereka telah menjadi orang sukses. Namun sukses atau tidak, malam ini mereka tetap harus bergelantungan. Sebuah kenyataan begitu beratnya perjuangan pulang ke tanah leluhur. Dan di tanah leluhur ini mereka kembali menjadi diri mereka.