Di zaman old, urusan telur sama ayam mana lebih dulu, masuk ke ranah banyak perdebatan. Mulai dari kajian absurd warung kopi, hingga diskusi mahasiswa filsafat di angkringan.
Menarik, karena tidak pernah berujung manis. Apapun hasilnya, tetap harus bayar berapa yang sudah dimakan dan apa yang diminum. Supaya besok acara gelar debat masih bisa berlangsung. Warung kopi dan angkringan, tetap bersedia dijadikan panggung. Caranya tidak membuat para pedagang penuh setia ini bangkrut.
Peserta diskusi ayam telur itu sportif. Bayar apa yang mesti dibayar, catet jika memang ngutang. Mereka fasih membedakan, mana bahan kajian dan mana kewajiban. Mengkaji apa yang perlu dikaji, menghormati apa yang telah digariskan. Beli mesti bayar, ngutang, catet dan lunasi saat ada kiriman.Â
Soal ngutang lagi, itu soal konsistensi. Persaudaraan tetap nomer satu. Mereka menghidupi filosofi; "ga ada loe nggak rame". Sepertinya mereka juga mampu membangun kesepakatan, jika memang harus tidak sepakat. Dan tidak meniadakan eksistensi para bakul minuman yang mensupport logistic. Sehingga segala bentuk pemikiran dapat dituangkan.
Di zaman now, zaman yang konon kabarnya dipenuhi pemikiran alay, fenomena ayam telur muncul kembali. Wujudnya mengalami penyesuaian. Jika dulu, ranahnya wacana, kajian yang meski tidak ilmiah, namun bernas. Kini mewujud pada ranah praktis pragmatis.
Bahkan persoalannya bukan lagi soal ayam dan telur, kurang hot. Menjadi asap dan api. Mau dikaji dari manapun yang ini pasti jauh lebih panas.
Caci maki bertebaran di laman-laman media social beberapa tahun belakangan ini. Satu isu disambut dengan isu berikutnya. Lebih membakar pakai hoax sesekali. Tidak lagi jelas mana ujung pangkalnya. Masing-masing mengklaim, hanya bereaksi atas apa yang terjadi. Semua menghindar jika dianggap penyebab. Ibarat telur, telur yang tidak berasal dari induk.
Ibarat asap, tidak berasal dari api. Ini bukti eksistensi ayam telur dalam wujud asap api. Mungkin ada beberapa kajian yang aktualisasinya dimanipulasi. Tetapi tetap, konsisten antara kajian dan tindakan praktis pragmatisnya, mbulet.
Bukankah kepekatan asap yang tidak lagi berapi adalah juga pembunuh? Anda bisa minta pendapat petugas PMK! Fakta mereka menunjukkan, asap pekat pada beragam peristiwa kebakaran di gang-gang sempit padat penduduk atau Gedung bertingkat, adalah penyebab utama kematian. Bukankah juga dalam asap pekat, semua hal jadi tidak jelas? Orang hanya dapat mengira dan menduga, apa yang sebenarnya terjadi.
Bingung mencari jalan keluar, jika ingin membebaskan diri. Dalam keadaan seperti itu, orang tidak lagi mampu berpikir jernih. Mengembangkan nalar dan membangun logika-logika dengan akal sehat. Terobos! Syukur ketemu jalan keluar, jika apes, sekarat.
Ironisnya para elit politik menikmati itu semua. Di dalam ketidakmampuan rakyat bernalar, mereka mengambil sekian banyak keuntungan. Menuntaskan segala kepentingannya. Berkuasa atau ingin berkuasa! Mereka mengipas dan membuat asap semakin tebal. Menyeringai, karena sate sebentar lagi mateng.
Caci maki atas dasar fakta-fakta hoax, jelas memengapkan. Tidak cukup hanya dengan elusan dada, itu tidak membuat lega. Perlu lebih banyak asupan oksigen atau jika bisa keluar dari zonanya. Tetapi apa mungkin? Apalagi sangat sulit mencari sumber darimana semua ini bermula. Semuanya berputar menghilangkan titik awal. Sehingga, jangan pernah berharap kepengapan ini akan segera teratasi.
Apalagi saya melihat para elit negeri ini, mentabukan sportifitas. Mulai meninggalkan kewajiban dan menghormati lawan sebagai kawan. Meninggalkan pemahaman sepakat untuk tidak sepakat. Lupa pada kewajibannya untuk mbayar apa yang semestinya dibayar. Nggak ada loe nggak rame pun tinggal kenangan.
Duh elit, kalian ini kan sebenarnya dibesarkan oleh era elegan. Di masa keadaban ayam dan telur. Bukan di era api dan asap yang menghanguskan. Apa itu hanya cerita kalian dulu? Ketika haus itu hanya soal es teh sama es cendolnya mbokde Darmi belakang kampus. Sementara kini, haus itu sudah menjadi soal proyek, jabatan dan kekuasaan.
Berhentilah mengipas, karena rakyatmu ini masih sering hanya bisa copas. Ajarilah kami, rakyatmu ini bernalar. Tetapi itupun jika kalian memang masih bisa menggunakan nalar. Bangunlah demokrasi yang bergizi seimbang. Nurani dan akal sehat.
Bukan dengan nurani somplak yang terserang antrax, dan akal-akalan yang kalian bilang sehat. Karena demokrasi itu bukan caci maki, apalagi argumentasi tanpa isi. Mari berdiskusi lagi seperti dulu, Â ketika perbedaan-perbedaan itu masih membuat semua kita tertawa. Â Setelahnya, tidak satupun diantara kita terluka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H