Caci maki atas dasar fakta-fakta hoax, jelas memengapkan. Tidak cukup hanya dengan elusan dada, itu tidak membuat lega. Perlu lebih banyak asupan oksigen atau jika bisa keluar dari zonanya. Tetapi apa mungkin? Apalagi sangat sulit mencari sumber darimana semua ini bermula. Semuanya berputar menghilangkan titik awal. Sehingga, jangan pernah berharap kepengapan ini akan segera teratasi.
Apalagi saya melihat para elit negeri ini, mentabukan sportifitas. Mulai meninggalkan kewajiban dan menghormati lawan sebagai kawan. Meninggalkan pemahaman sepakat untuk tidak sepakat. Lupa pada kewajibannya untuk mbayar apa yang semestinya dibayar. Nggak ada loe nggak rame pun tinggal kenangan.
Duh elit, kalian ini kan sebenarnya dibesarkan oleh era elegan. Di masa keadaban ayam dan telur. Bukan di era api dan asap yang menghanguskan. Apa itu hanya cerita kalian dulu? Ketika haus itu hanya soal es teh sama es cendolnya mbokde Darmi belakang kampus. Sementara kini, haus itu sudah menjadi soal proyek, jabatan dan kekuasaan.
Berhentilah mengipas, karena rakyatmu ini masih sering hanya bisa copas. Ajarilah kami, rakyatmu ini bernalar. Tetapi itupun jika kalian memang masih bisa menggunakan nalar. Bangunlah demokrasi yang bergizi seimbang. Nurani dan akal sehat.
Bukan dengan nurani somplak yang terserang antrax, dan akal-akalan yang kalian bilang sehat. Karena demokrasi itu bukan caci maki, apalagi argumentasi tanpa isi. Mari berdiskusi lagi seperti dulu, Â ketika perbedaan-perbedaan itu masih membuat semua kita tertawa. Â Setelahnya, tidak satupun diantara kita terluka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H