Kelompok Saracen membuktikan bahwa Hoax adalah benar sebagai sebuah industri. Internet, membuat apa yang tidak mungkin menjadi mungkin, termasuk dalam mengarahkan konstruksi berpikir masyarakat menggunakan nalar-nalar sesat. Kebenaran yang sebelumnya dapat direlatifkan, dipertegas di era internet ; dapat dibeli dan dikonstruksi sesuai selera. 'Kebenaran' dapat menjadi monopoli pemodal besar minim etika dan moral karena kekuatan uang yang dia miliki. Menumbangkan siapa saja yang tidak sepaham atau mengancam eksistensi keberadaan usaha dan dirinya. Dari sudut pandang manapun, ini tidak fair dan merusak sendi-sendi kehidupan manusia yang berbudaya.
Di dunia politik, Hoax berseliweran setiap waktu. Meski beberapa pelakunya sudah ada yang diprodeokan. Namun tampaknya, itu belum menyurutkan semangat para pencipta dan penggemar Hoax. Mati satu tumbuh seribu.Â
Barangkali itulah kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya. Di dunia industri makanan dan minuman, Hoax juga tak kalah ramai. Salah satunya tentang aspartam yang dikabarkan tak aman bagi produk makanan dan minuman karena dapat menyebabkan pengerasan otak, hingga bahaya vitamin C apabila dikonsumsi bersamaan dengan udang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan BPPOM sudah membantah hoax terkait dengan aspartam, namun informasi Hoax tersebut tidak serta merta menghilang dari peredaran.
Hoax dapat menggantikan kebenaran dengan 'kebenaran' apabila terus dibiarkan. Â Ini berarti membiarkan kebodohan terus berlanjut. Jika terkait dengan upaya pembodohan, maka sudah semestinya dunia Pendidikan terusik. Hoax disebarkan massif, professional, sistematis dan terstruktur. Artinya, hoax bukanlah ancaman incidental. Hoax adalah ancaman kontinyu dan laten, sehingga tidak cukup hanya ditanggulangi secara reaktif. Hoax harus dihadang dengan sesuatu yang juga profesioanal, sistematis, terstruktur dan kontinyu. Lembaga Pendidikan memiliki perangkat-perangkat tersebut.
Hoax disebarkan secara massif dapat dicermati bagaimana hoax dengan cepat menyebar. Mereka yang menggeluti hoax adalah orang-orang yang aktif menggunakan social media dengan  memiliki banyak account dan follower.  Memiliki banyak follower, adalah syarat penting, karena hal itu adalah sesuatu yang sangat bernilai. Asset yang dapat mereka dijual. Kecerdasan mereka membangun opini dan mengarahkan followernya menunjukkan bahwa mereka memiliki keahlian secara professional. Mereka mampu memotong dan memutar balikkan fakta dengan argumentasi-argumentasi cerdas. Bahasa mereka mudah dipahami dan logis. Ini mendorong banyak pengguna social media baik follower atau bukan tergoda untuk memberikan like atau bahkan men-share info hoax tersebut.
Penguasaan mereka di dunia IT juga dapat dikategorikan mumpuni.Melalui dunia maya mereka membangun jaringan dan komunitas orang-orang yang memiliki pemahaman sama dengan mereka, baik secara sadar ataupun tidak. Mereka tidak perlu membentuk struktur organisasi formal, seperti layaknya struktur organisasi di dunia nyata. Organisasi mereka cair namun sesungguhnya mereka sangat terorganisir. Melalui dunia maya mereka menemukan komunitas. Membangun pengaruh untuk mempengaruhi melalui argumentasi-argumentasi setingan mereka. Melalui komunitas itu pulalah, hoax awalnya disebar. Menyusup ke kelompok-kelompok lain melalui grup-grup media social. Tak terbendung.
Hukum pasar menyatakan bahwa selama ada permintaan maka akan selalu hadir penawaran. Saya menduga, selama di dunia ini masih terdapat kompetisi di bidang apapun, maka hoax masih terus akan menjadi permintaan bagi orang-orang yang menyukai jalan pintas. Itu artinya, kontinyuitas hoax sebagai industri yang memenuhi kebutuhan atas  permintaan tersebut akan tetap ada.
Jika demikian, apakah lantas hal ini dibiarkan saja? Karena sekuat apapun hoax dihadang, keberadaannya akan tetap muncul. Kasusnya sama dengan penyakit, semakin banyak  dokter dan rumah sakit dibangun, toh penyakit tetap juga ada. Lantas apakah kita berhenti menghasilkan dokter-dokter baru dan berhenti membangun rumah sakit? Pilihannya saya yakin Anda semua mengerti. Membiarkan hoax, tentu bukanlah pilihan bijaksana. Apalagi setiap kita dibekali hati nurani dan akal budi untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk.Â
Sehingga apapun nanti hasilnya, hoax harus dihadang dan dikerdilkan. Pencerdasan melalui dunia Pendidikan yang melibatkan guru, adalah salah satu hal yang dapat dilakukan. Karena bagaimanapun juga, dunia pendidikan memiliki tanggungjawab dan peran yang sangat strategis.
Guru sebagai figur sentral  di lembaga Pendidikan atau sekolah, memiliki tanggungjawab professional dan moral dalam menghadang hoax. Sebab hoax merupakan upaya serius pembodohan. Memutar balikkan fakta, bahkan fakta ilmiah sekalipun. Sayangnya belakangan ini memang tidak mudah bagi guru untuk mengambil pengaruh. Meski itu hanya terbatas di kalangan siswa-siswinya sendiri. Guru sulit memenangi pertarungan pengaruh dengan internet di era milenial ini.. Namun bukan berarti guru tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak hal yang masih bisa dilakukan.
Internet memang mampu menampilkan banyak hal yang lebih menarik, tetapi guru memiliki kelas dengan otoritas penuh. Sebagian besar waktu siswa dia habiskan di sekolah, dalam banyak hal kondisi tersebut menempatkan guru sebagai figur yang memiliki banyak pengaruh. Pada posisi strategis itulah guru harus mampu mendayagunakan pengaruhnya. Menjadi panglima dalam upaya memerangi hoax, dengan bersikap terbuka tetapi kritis. Pada peran konvensionalnya guru harus mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi yang tidak konservatif. Guru tidak menjadi antithesis dari sebuah perubahan.Â
Guru dituntut mampu memahami jiwa jaman menggunakan perspektif yang tepat dan demokratis. Sehingga akan lebih mudah memahami pola pikir siswa-siswanya. Karena penyadaran akan sesuatu akan lebih mudah jika menggunakan 'bahasa' yang mereka pahami. Seperti ungkapan ; "Menyadarkan dengan menggunakan kesadaran mereka sendiri." Terlebih tiap jenjang Pendidikan memiliki 'bahasa' khasnya masing-masing, sesuai tahap-tahap perkembangan pola pikir.
Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang bersedia dikendalikan oleh orang lain. Sehingga bagi generasi milineal yang menyukai hal-hal yang instan, kata jangan ini atau jangan itu, justru memancing keingintahuan. Menjadi stimulus bagi mereka untuk mencari tahu. Internet menyediakan apa yang mereka perlukan, memuaskan kedahagaan mereka atas rasa ingin tahunya.Â
Sayangnya, tidak semua informasi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hoax bahkan seringkali justru menjadi rujukan bagi mereka yang sedang berusaha mencari informasi. Termasuk mereka-mereka para siswa yang sedang mencari jawaban atas keingintahuannya. Terlebih bagi mereka yang berada di jenjang SMP dan SMA.
Hoax dikemas secara rasional, meski data dan fakta yang mereka sampaikan palsu. Mereka juga jagoan dalam hal memanipulasi data dan memelintirkan fakta. Mereka tidak peduli dampak yang ditimbulkan, yang mereka pedulikan hanyalah kepentingan mereka dan pemberi modal.
Hoax sebenarnya memberi guru sebuah tantangan. Adakalanya siswa mempertanyakan penjelasan guru yang ternyata berbeda dengan apa yang mereka temukan dari dunia maya. Pada poin inilah sebenarnya guru memiliki peluang untuk mengajak siswanya berpikir analitis dan kritis. Mengajak mereka menganalisa dengan menggunakan beragam pendekatan ilmiah. Sebagai guru sejarah, saya sering mengajak siswa saya melakukan kritik sumber sebelum menggunakan informasi di internet sebagai sebuah rujukan.
Kritik sumber bertujuan menggali apakah sumber informasi yang diterima itu valid, akurat dan mengandung kebenaran apa tidak. Biasanya ini dikenal dengan istilah yang lebih populer sebagai proses check end recheck.Pertama kritik sumber bertujuan menguji apakah sumber yang diinginkan benar-benar sumber yang tepat berdasarkan beberapa hal. Misalnya apakah penulis artikel atau berita adalah orang yang tepat. Ahli dibidang yang ia tulis, ini dapat ditelusuri melalui search engine. Lantas dimuat oleh situs yang tepat, kredibel. Bisa dicermati dari konsistensi situs, perspektif situs, dan beberapa testimony atas situs tersebut. Jika berdasarkan penelusuran, penulis dan situsnya tidak ada 'persoalan' maka informasinya bisa saja akurat. Tetapi itu saja juga belum cukup.
Tahap kedua, kita juga mesti menguji apakah isi informasi masuk akal atau tidak. Pada tahap ini, kita bisa membandingkan dengan informasi --informasi sejenis. Saling bertentangan atau saling mendukung. Informasi mengandung pertanyaan-pertanyaan baru atau memang memaparkan maksud secara gamblang. Jika syarat ini terpenuhi, maka kemungkinan besar informasi tersebut benar adanya.
Hoax biasanya berisi informasi yang berlawanan dengan kebenaran-kebenaran umum. Keberadaannya menghadirkan kontroversi, perspektifnya mengarah pada kepentingan-kepentingan tertentu. Tidak semua informasi ada hoax-nya. Hanya pada fakta-fakta tertentu saja dan bernilai strategis, tentu bagi kepentingan pembuatnya. Sehingga sebagai pembaca, sebenarnya melalui intuisi dapat dengan segera menangkap kemana arah hoax itu dibuat.
Selain kritik sumber, sebagai pencari informasi kita juga mesti menggunakan intuisi dan hati nurani. Berani menerima kenyataan, karena tidak selalu bahwa kebenaran itu selaras dengan jalan pikiran kita. Itu jika memang kebenaran yang diinginkan. Karena harus diakui perspektif yang terlanjur nyangkut di kepala seseorang akan menggiring orang tersebut menerima informasi yang sesuai dengan jalan pikirannya saja. Tidak untuk yang lain. Jika itu yang terjadi, maka upaya apapun akan sia-sia.@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H