Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Hoax Bisa Dimulai dari Dalam Kelas

14 Oktober 2017   23:09 Diperbarui: 14 Oktober 2017   23:37 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru dituntut mampu memahami jiwa jaman menggunakan perspektif yang tepat dan demokratis. Sehingga akan lebih mudah memahami pola pikir siswa-siswanya. Karena penyadaran akan sesuatu akan lebih mudah jika menggunakan 'bahasa' yang mereka pahami. Seperti ungkapan ; "Menyadarkan dengan menggunakan kesadaran mereka sendiri." Terlebih tiap jenjang Pendidikan memiliki 'bahasa' khasnya masing-masing, sesuai tahap-tahap perkembangan pola pikir.

Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang bersedia dikendalikan oleh orang lain. Sehingga bagi generasi milineal yang menyukai hal-hal yang instan, kata jangan ini atau jangan itu, justru memancing keingintahuan. Menjadi stimulus bagi mereka untuk mencari tahu. Internet menyediakan apa yang mereka perlukan, memuaskan kedahagaan mereka atas rasa ingin tahunya. 

Sayangnya, tidak semua informasi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hoax bahkan seringkali justru menjadi rujukan bagi mereka yang sedang berusaha mencari informasi. Termasuk mereka-mereka para siswa yang sedang mencari jawaban atas keingintahuannya. Terlebih bagi mereka yang berada di jenjang SMP dan SMA.

Hoax dikemas secara rasional, meski data dan fakta yang mereka sampaikan palsu. Mereka juga jagoan dalam hal memanipulasi data dan memelintirkan fakta. Mereka tidak peduli dampak yang ditimbulkan, yang mereka pedulikan hanyalah kepentingan mereka dan pemberi modal.

Hoax sebenarnya memberi guru sebuah tantangan. Adakalanya siswa mempertanyakan penjelasan guru yang ternyata berbeda dengan apa yang mereka temukan dari dunia maya. Pada poin inilah sebenarnya guru memiliki peluang untuk mengajak siswanya berpikir analitis dan kritis. Mengajak mereka menganalisa dengan menggunakan beragam pendekatan ilmiah. Sebagai guru sejarah, saya sering mengajak siswa saya melakukan kritik sumber sebelum menggunakan informasi di internet sebagai sebuah rujukan.

Kritik sumber bertujuan menggali apakah sumber informasi yang diterima itu valid, akurat dan mengandung kebenaran apa tidak. Biasanya ini dikenal dengan istilah yang lebih populer sebagai proses check end recheck.Pertama kritik sumber bertujuan menguji apakah sumber yang diinginkan benar-benar sumber yang tepat berdasarkan beberapa hal. Misalnya apakah penulis artikel atau berita adalah orang yang tepat. Ahli dibidang yang ia tulis, ini dapat ditelusuri melalui search engine. Lantas dimuat oleh situs yang tepat, kredibel. Bisa dicermati dari konsistensi situs, perspektif situs, dan beberapa testimony atas situs tersebut. Jika berdasarkan penelusuran, penulis dan situsnya tidak ada 'persoalan' maka informasinya bisa saja akurat. Tetapi itu saja juga belum cukup.

Tahap kedua, kita juga mesti menguji apakah isi informasi masuk akal atau tidak. Pada tahap ini, kita bisa membandingkan dengan informasi --informasi sejenis. Saling bertentangan atau saling mendukung. Informasi mengandung pertanyaan-pertanyaan baru atau memang memaparkan maksud secara gamblang. Jika syarat ini terpenuhi, maka kemungkinan besar informasi tersebut benar adanya.

Hoax biasanya berisi informasi yang berlawanan dengan kebenaran-kebenaran umum. Keberadaannya menghadirkan kontroversi, perspektifnya mengarah pada kepentingan-kepentingan tertentu. Tidak semua informasi ada hoax-nya. Hanya pada fakta-fakta tertentu saja dan bernilai strategis, tentu bagi kepentingan pembuatnya. Sehingga sebagai pembaca, sebenarnya melalui intuisi dapat dengan segera menangkap kemana arah hoax itu dibuat.

Selain kritik sumber, sebagai pencari informasi kita juga mesti menggunakan intuisi dan hati nurani. Berani menerima kenyataan, karena tidak selalu bahwa kebenaran itu selaras dengan jalan pikiran kita. Itu jika memang kebenaran yang diinginkan. Karena harus diakui perspektif yang terlanjur nyangkut di kepala seseorang akan menggiring orang tersebut menerima informasi yang sesuai dengan jalan pikirannya saja. Tidak untuk yang lain. Jika itu yang terjadi, maka upaya apapun akan sia-sia.@

Rujukan ; 1 dan 2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun