Saat hari itu tiba, notifikasi di perangkat seluler pun muncul yang pengirimnya adalah kode jurnal kredit penanda gaji masuk. Tak lama kemudian, notifikasi jurnal kredit tersebut disusul dengan beberapa jurnal debit sehingga hanya menyisakan sedikit senyuman pelipur lara untuk menjalani sisa hari. Di hari itu yang tersisa mungkin hanyalah rasa syukur yang mendorong jiwa untuk tetap tenang dalam sebuah rencana penghematan besar. Ya, menerima sebuah keadaan yang terjadi dengan kerelaan untuk menerima dan menjalaninya.
Di hari lain, ketika jari-jemari sedang bergegas bersama jajaran huruf di keyboard komputer untuk menyelesaikan deadline, langkah kaki yang sudah sangat akrab di telinga mulai mendekat. Sesaat setelah langkah kaki tersebut berhenti, suara sepatu pun berganti menjadi kata-kata yang cukup meyakinkan untuk mengelus dada dan berkata dalam hati "Sabar, terima aja."
Ungkapan yang umum bagi budaya Jawa dalam menyikapi keadaan seperti contoh di atas disebut "nrimo." Istilah ini sangat erat kaitannya dengan unsur kesabaran dan kerelaan untuk menerima kondisi atau keadaan tertentu.
 Bahkan ada seorang antropolog yang bernama Niels Mulder mendefinisikan nrimo sebagai sikap menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil menumbuhkan kedamaian jiwa dan ketenangan emosi dengan meyakini bahwa semuanya sudah ditetapkan oleh Tuhan. Jadi sering muncul ungkapan "Sudah disyukuri aja!" atau "Sabar ajahh!" bahkan pada titik tertentu seseorang bisa menerima meskipun dalam keadaan terpaksa.
Contoh sebuah peristiwa nyata mengenai hal ini yaitu sebuah organisasi yang seorang pemimpinnya tergolong otoritatif, dan berbagai kebijakannya cenderung mencari nama bagi diri sendiri. Satu per satu staf mulai mengundurkan diri akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Dalam pengamatan terhadap kasus ini ternyata yang tidak mengundurkan diri mayoritas adalah orang yang berasal dari suku Jawa. Meskipun ada juga orang dari suku selain Jawa, tetapi memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda yaitu memilih NRIMO daripada konfrontasi dan mendatangkan risiko bagi pekerjaan mereka.
Contoh pengalaman pribadi yang pernah saya alami adalah ketika kehilangan uang dalam jumlah yang cukup besar. Setelah mengumpulkan bukti-bukti, kehilangan uang tersebut mengindikasikan pelakunya adalah anggota keluarga sendiri. Namun untuk tetap menjaga agar hubungan tetap baik dan tidak ada konflik, maka saya memutuskan untuk tidak melaporkan kejadian tersebut. Saya bukan berasal dari suku Jawa, tetapi dalam peristiwa ini saya merasa sikap tersebut menjadi pilihan terbaik. Belakangan saya sadar sikap tersebut tidak tepat.
Dari penelusuran beberapa literatur, falsafah Nrimo ini bisa berakar kuat khususnya bagi masyarakat berlatar belakang budaya Jawa adalah karena beberapa faktor berikut:
Yang pertama, karena Jawa dalam sejarah berada di bawah pimpinan kerajaan. Sehingga tata cara kehidupan orang jawa memiliki jiwa kehambaan atau pengabdian kepada pemimpin. Sikap tersebut dianggap positif untuk menunjukkan rasa hormat kepada otoritas.
Yang kedua karena kekuasaan penjajah belanda dan jepang di pulau jawa turut andil dalam membentuk sikap nrimo dalam masyarakat jawa khususnya masyarakat kelas bawah pada masa kolonial.
Yang ketiga keharmonisan relasi merupakan sesuatu hal yang penting bagi masyarakat jawa. Sehingga masyarakat jawa cenderung menghindari pertentangan, perdebatan atau perbedaan pendapat. Â
Namun ada dampak negatif yang harus diwaspadai dari perilaku nrimo ini.Â
Penganut Nrimo, sampai pada level yang ekstrim, dapat menyebabkan terhambatnya inisiatif. Biasanya orang-orang seperti ini takut mencoba hal baru dan selalu diikuti dengan rasa takut salah. Akibatnya hanya akan menjadi orang yang pasif dan menunggu perintah.
Selain itu perkembangan potensi juga terhambat. Penganut nrimo yang ekstrim cenderung menghindari masalah dan tidak siap menghadapi tantangan, perdebatan atau diskusi yang tajam. Padahal sebenarnya diskusi yang tajam, tantangan dan perdebatan yang baik bisa menghasilkan ide yang brilian.
Dampak negatif lain dari sikap nrimo bisa membuat orang bersikap tidak transparan. Di depan tampak setuju, senyum dan menerima. Tetapi beberapa waktu kemudian bisa melakukan pengkhianatan atau sering disebut "menusuk dari belakang" atau "musuh dalam selimut."
Yang lebih berbahaya lagi pada level nrimo yang ekstrim adalah para penganutnya bisa kompromi dengan sesuatu yang salah dan tidak memiliki keberanian untuk berpihak pada yang benar. Atau mungkin hanya diam saja dan tidak berbuat apa-apa ketika menemukan sesuatu yang salah.
Kesimpulan
Agar lebih bijak dalam menerapkan Nrimo sebaiknya kita mulai berpikir kritis. Memilah dan memilih tindakan yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran merupakan kebajikan yang lebih tinggi daripada hanya nrimo tetapi sebenarnya kompromi dengan sesuatu yang salah.
Butuh waktu untuk memiliki keberanian mengkonfrontasi sesuatu yang salah. Tetapi setidaknya berani mencoba merupakan langkah awal yang lebih baik daripada bersikap abai.
Jika dikelola dengan baik, perbedaan pendapat, perdebatan, ataupun konflik dapat menghasilkan ide brilian. Daripada sekedar nrimo, mari kita mencoba untuk menghasilkan sebuah terobosan yang lebih baik dengan setitik keberanian berkonfrontasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H